Harga Batu Bara Ambles, Saham Emiten Mana Paling Boncos?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
04 December 2023 17:05
FILE PHOTO: A tug boat pulls a coal barge along the Mahakam River in Samarinda, East Kalimantan province, Indonesia, March 2, 2016. REUTERS/Beawiharta/File Photo
Foto: REUTERS/Beawiharta/File Photo

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara yang terus terus terkoreksi membuat emiten mengalami penyusutan laba yang semakin dalam dan berpotensi menjatuhkan harga saham. Padahal, level harga batu bara saat ini masih relatif lebih tinggi jika dibandingkan level harga rendah pada siklus sebelumnya.

Pada Kuartal-III 2023, terdapat beberapa saham batu bara yang mulai terpantau mencatatkan kerugian. Saham batu bara yang mulai merugi diantaranya, PT Atlas Resources Tbk (ARII) mencatatkan kerugian sebesar Rp 47 miliar dan PT Bumi Resources Tbk (BUMI) yang rugi Rp 325 miliar untuk periode Juli-September 2023.

Penyebab kerugian perusahaan batu bara ini disebabkan oleh beberapa faktor. Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Batu Bara (APBI), Hendra Sinadia, harga saat ini memang dapat dikatakan tinggi dari sudut pandang siklus batu bara sebelumnya tetapi perbedaannya kali ini ongkos biaya produksi juga mengalami kenaikan.

Hendra menjelaskan kenaikan ongkos salah satunya datang dari biaya kontraktor yang semakin mahal dan beban usaha.
"
 Biaya kontraktor pertambangan yang semakin mahal, tingkat pengupasan tanah yang semakin besar, kenaikan royalti, pajak, kebijakan DHE (Devisa Hasil Ekspor), depresiasi rupiah yang membuat ongkos impor makin besar membuat kinerja keuangan bottom line perusahaan batu bara tergerus," ujar Hendra, saat dihubungi CNBC Indonesia, pekan lalu.

Hal ini selaras dengan data laporan keuangan beberapa perusahaan batu bara yang mengalami penyusutan laba bersih. Sebagai contoh, ARII masih mampu mencatat kenaikan pendapatan menjadi Rp 1,034 triliun dibanding kuartal sebelumnya (quarter on quarter/qoq), namun beban pokok produksi ARII sebesar Rp 1,033 triliun.

Hal ini menjadikan laba kotor ARII hanya sebesar Rp 829 juta, jatuh 98,6% (qoq). Tipisnya laba kotor ARII tidak mampu menopang beban usaha ARII yang melonjak 304,7% menjadi Rp 85,7 miliar (qoq).

Hal ini mengindikasikan perusahaan tidak mampu mengefisiensikan beban usahanya, di tengah tipisnya laba kotor perseroan. Alhasil, ARII mencatatkan rapor merah pada kuartal-III 2023 ini.

Proyeksi & Equilibrium Baru Harga Batu Bara 2024 & 2025

Sebagai catatan, harga batu bara 2024 diperkirakan akan kembali mengalami penurunan untuk rata-rata sepanjang tahun depan. Ahmad Zuhdi, Analis Industri Pertambangan PT Bank Mandiri (Persero) Tbk menyatakan
"Kami perkirakan [harga batu bara akan berada di kisaran level] US$ 117 per ton," kepada CNBC Indonesia.

Nilai tersebut lebih rendah dibanding rata-rata-rata sepanjang 2023 yang berada di US$ 175 per ton. Tidak hanya itu, perkiraan tersebut terhitung sebagai yang terendah sejak 8 Juni 2021 atau 2 tahun lebih. Selain itu, perkiraan tersebut juga masih di bawah penutupan perdagangan akhir pekan lalu, Jumat (1/2/2023) di level US$ 134,55 per ton, menurut data Refinitiv.

Terbentuknya equilibrium harga batu bara ke depan sejalan proyeksi Zuhdi. Kebijakan pelonggaran keuangan ke depan akan mendorong terbentuknya kisaran harga baru di level tinggi untuk jangka waktu lebih lama.

Zuhdi juga memproyeksi harga akan bertahan tinggi pada 2025. "Di 2025 kami perkirakan baru akan balik ke equilibrium baru sekitar US$ 80-100 per ton," imbuhnya.

"Saya rasa sangat mungkin ada equilibrium baru. Tapi mungkin tidak setinggi ini, mengingat produksi dari negara eksportir seperti Indonesia dan Australia meningkat lebih cepat dari demandnya karena china masih dalam tren recovery," katanya.

Selain itu, Zuhdi menambahkan terkait adanya inisiatif dari dua negara konsumen batu bara terbesar untuk stockpiling atau penimbunan. "Terdapat inisiatif dari negara konsumen besar untuk stockpiling, walaupun ekonomi mereka masih recovery (china dan india)," lanjutnya.

Tingginya pasokan memungkinkan harga batu bara semakin tergerus ke depan. Hal ini diperparah dengan biaya produksi yang semakin mahal yang memungkinkan berbagai perusahaan batu bara lainnya mengalami kerugian meski harga saat ini relatif tinggi dibanding siklus sebelumnya.

 

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation