Laba Saham ABMM Jagoan Lo Kheng Hong Ambruk! Siklus Berakhir?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
01 December 2023 15:17
Dok Dizamatra Powerindo
Foto: Dok Dizamatra Powerindo

Jakarta, CNBC Indonesia - PT ABM Investama Tbk (ABMM) mulai menunjukkan akhir dari siklusnya yang tercermin dari labanya yang terus tergerus dan membuat pelaku pasar menilai harga sahamnya yang layak mengalami penurunan.

Kinerja keuangan ABMM

Laba ABMM kuartal-III 2023 tercatat anjlok 42,6% menjadi Rp 669 miliar. Penurunan laba bersih ABMM terjadi, di tengah pendapatan perseroan yang mengalami lonjakan 2,3% dibanding tahun sebelumnya.

Hal ini mengindikasikan peningkatan penjualan ABMM tidak lebih baik dibandingkan dengan peningkatan beban perseroan. Penurunan kinerja bottom line ABMM terjadi seiring dengan harga komoditas batu bara yang menunjukkan tren penurunan harga.

Persoalan ini menyebabkan secara margin keuntungan ABMM semakin tergerus. Profitabilitas ABMM terkoreksi pada kuartal-III 2023 menjadi yang terendah dalam beberapa kuartal terakhir.

Margin laba kotor (GPM) ABMM tersisa 22%, margin laba usaha/operasi (OPM) turun menjadi 18%, dan margin laba bersih (NPM) menyusut menjadi 11%.

Penurunan kinerja ini juga disebabkan oleh pembelian saham yang baru saja dilakukan ABMM pada PT Golden Energy Mines Tbk (GEMS). Perusahaan batu bara dari grup Sinarmas ini mengalami penurunan laba bersih 55,4% menjadi Rp 981 miliar. Hal ini menyebabkan pencatatan laba bersih ABMM juga ikut tergerus mengingat kepemilikannya mencapai 30%.

Kinerja Operasional

 

Sumber: Presentasi Public Expose

Secara operasional, faktor yang tidak kalah penting sebagai penyebab penurunan kinerja laba bersih ABMM yaitu salah satu tambang miliknya yang menyisakan cadangan batu bara cukup tipis.

Melansir data laporan keuangan kuartal-III 2023 ABMM, tambang milik anak usahanya PT Tunas Inti Abadi (TIA) terpantau menyisakan cadangan batu bara 1,62 juta ton. Nilai ini cukup kecil, mengingat produksi batu bara TIA pada 2022 lalu mencapai 3,41 juta ton.

Artinya, cadangan batu bara ABMM hanya tersisa kurang dari 9 bulan ke depan. Selain itu, tambang TIA merupakan penopang kinerja perseroan, pasalnya secara kalori dan harga jual dari produk batu baranya memiliki kualitas yang lebih tinggi.

Sumber: Laporan Keuangan ABMM

Sepanjang Januari-September 2023, tambang TIA hanya mampu memproduksi 1,9 juta ton batu bara menurun dibanding tahun lalu yang mencapai 2,5 juta ton. Selain itu, penurunan harga batu bara global juga menyebabkan penurunan harga jual rata-rata dari US$ 70,2 per ton menjadi US$ 62,7 per ton.

Tambang TIA dapat menjual batu bara dengan harga lebih tinggi dibanding sister company nya yaitu MIFA yang hanya mampu menjual batu bara dengan harga US$ 41,3 per ton.

Penurunan harga batu bara menyebabkan jatuhnya kinerja

Penurunan kinerja ABMM memungkinkan akan terus berlanjut pada beberapa kuartal ke depan, mengingat harga batu bara yang terus menurun pasca normalisasi harga.

Sebelumnya, kenaikan harga disebabkan oleh perang Rusia-Ukraina dan inflasi yang menyebabkan harga komoditas melonjak, ditambah pemangkasan produksi semasa pandemi covid-19 yang menurunkan permintaan industri.

Selain itu, faktor kenaikan ini disebabkan oleh tingkat investasi di bidang bahan bakar fosil yang juga terus menurun untuk menuju emisi nol. Persoalan disrupsi rantai pasok batu bara menyebabkan kenaikan harga signifikan saat recovery ekonomi setelah covid-19.

Harga batu bara ICE Newcastle melonjak menjadi US$ 450 per ton pada September 2022.

Namun, harga sudah mulai memasuki normalisasi, meski terhitung masih berada di level tinggi. Sayangnya, harga bertahan di level tinggi tidak terjadi untuk batu bara dengan kalori rendah, karena rendahnya kalori menghasilkan karbon yang lebih tinggi. Sehingga, beberapa negara lebih memilih batu bara dengan kualitas lebih tinggi meski harus membayar lebih.

Layakkah Investasi?

Penurunan kinerja ABMM pada kuartal-III 2023 ini memungkinkan sebagai pertanda akhir dari siklus batu bara. Harga batu bara di level rendah sudah terjadi dalam beberapa bulan terakhir seiring kenaikan suku bunga untuk mengendalikan inflasi.

Hal ini semakin dikhawatirkan, mengingat era suku bunga tinggi akan bertahan lama atau biasa disebut "higher for longer". Hal ini memungkinkan siklus batu bara yang akan berakhir, kecuali terdapat suatu fenomena yang memungkinkan adanya disrupsi batu bara kembali.

Analis komoditas Bank Mandiri menyatakan bahwa harga batu bara diperkirakan akan berada di level US$ 117 per ton untuk 2024 dan akan kembali turun pada 2025 dengan equilibrium baru berada di kisaran US$ 80-100 per ton.

"Selain itu, ada inisiatif dari negara konsumen besar untuk stockpiling walaupun ekonomi mereka masih recovery (china dan india)," kata Zuhdi.

Penurunan harga batu bara dapat menyebabkan kinerja keuangan perseroan semakin terkoreksi. Alhasil, valuasi perseroan harga dan laba bersih atau Price to Earning Ratio (PER) semakin mahal.

Berdasarkan hal tersebut, terdapat kemungkinan harga batu bara terus menurun dan kinerja akan terus menurun. Penurunan kinerja keuangan merupakan salah satu indikator utama penurunan harga sahamnya.

 

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation