Kampanye Pileg & Pilpres 2024

Fakta Sejarah! Banyak Dibantu AS, Rupiah Perkasa Saat Pemilu

Revo M, CNBC Indonesia
28 November 2023 14:55
Infografis, Pergerakan Grafik Nilai Rupiah Sepekan
Foto: Infografis/ Pergerakan Rupiah Sepekan/ Edward Ricardo Sianturi

Jakarta, CNBC Indonesia - Masa kampanye Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah dimulai hari ini, Selasa (28/11/2023) hingga 10 Februari 2024. Kendati kerap menimbulkan kekhawatiran, hingar bingar pemilu justru lebih banyak berdampak positif ke nilai tukar rupiah.  Selama masa kampanye, mata uang Garuda justru perkasa terhadap dolar Amerika Serikat (AS).

Sejak Pilpres 2004 hingga Pilpres 2019, rupiah dua kali mengalami depresiasi yakni pada 2004 dan 2014 serta mengalami apresiasi pada 2009 dan 2019 terhadap dolar AS. Namun, pergerakan mata uang rupiah tak hanya ditopang oleh faktor dalam negeri, seperti pemilu. Pergerakan mata uang Garuda sangat dipengaruhi oleh kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed)

Pada 2004, rupiah mengalami pelemahan sebesar 0,35% walaupun volatilitasnya telah menurun sepanjang masa kampanye 1 Juni hingga 1 Juli 2004 atau sekitar 30 hari.

Faktor eksternal penyebab lemahnya rupiah yakni sikap bank sentral AS (The Fed) yang hawkish dengan menaikkan suku bunganya. Bahkan sepanjang 2004, The Fed menaikkan suku bunganya sebanyak lima kali yang akhirnya membuat dolar AS menguat signifikan.

Selain itu, tekanan terhadap rupiah lebih disebabkan karena masih tingginya permintaan valas oleh beberapa pelaku domestik (bandwagon effect) sebagai akibat dari efek rambatan penguatan dolar AS secara global.|

Kendati tekanan terhadap rupiah cukup dominan, namun pelemahan rupiah cukup dapat ditahan oleh adanya penjualan valas yang meningkat dari kalangan nasabah eksportir bank dalam negeri serta masih menariknya interest rate differential.

Lebih lanjut, data ekonomi AS yang tidak terlalu positif membuat dolar AS sempat mengalami koreksi sehingga membuat nilai tukar rupiah tidak terlalu ambruk.

Berbeda halnya dengan momen kampanye Pilpres 2009 yang terjadi 2 Juni hingga 4 Juli atau sekitar 32 hari. Rupiah mengalami apresiasi 0,44% terhadap dolar AS.

Sentimen positif di pasar keuangan global telah mendorong apresiasi nilai tukar. Penguatan nilai tukar ditopang oleh meningkatnya pasokan valas sejalan dengan aliran masuk modal asing.

Momen Pilpres yang terkendali juga menumbuhkan minat investasi terhadap aset di pasar keuangan emerging markets, termasuk Indonesia.

Sebagai catatan, dana asing melimpah ke Emerging Market pada 2009 setelah The Fed menggelontorkan stimulus melalui kebijakan Quantitative Easing (QE) untuk membangkitkan ekonomi yang dihajar Krisis Mortgage. Kebijakan mulai diberlakukan sejak Bulan Maret 2009-Desember 2013.
Dana asing yang melimpah itu membuat nilai tukar rupiah menguat.

Pada pilpres 2014, rupiah kembali ambruk bahkan lebih parah dibandingkan pilpres 2004 yakni sebesar 0,76% selama masa kampanye 4 Juni - 5 Juli atau sekitar 31 hari.

Tekanan depresiasi terhadap nilai tukar rupiah meningkat pada bulan Juni 2014. Rupiah secara rata-rata melemah 3,03% (mtm) dari bulan sebelumnya menjadi Rp11.892/US$. Secara point to point (ptp), rupiah terdepresiasi sebesar 1,52% dan ditutup pada level Rp11.85/US$.

Di samping berlanjutnya ketidakpastian pasar keuangan global dan defisit neraca perdagangan pada bulan April 2014, pergerakan nilai tukar dipengaruhi oleh perilaku investor yang menunggu hasil Pemilihan Umum Presiden 2014.

Alasan lain melemahnya rupiah yakni dari sisi eksternal khususnya The Fed yang mulai mengurangi quantitative easing, atau kala itu populer dengan sebutan tapering.

Tekanan rupiah pada kuartal II-2014 tercermin pada indikator eksternal. Yield obligasi, CDS & VIX Index, serta spread positif dari NDF-onshore spot rate sebagai cerminan tekanan nilai tukar tampak meningkat. Namun, di tengah berbagai tekanan tersebut, volatilitas nilai tukar rupiah tetap terjaga dibuktikan dengan volatilitas nilai tukar pada kuartal II-2014 tercatat menurun dibandingkan dengan volatilitas pada kuartal sebelumnya.

BIFoto: VIX & CDS
Sumber: Bank Indonesia

Sementara di masa kampanye pilpres 2019 tepatnya pada 23 September 2018 hingga 13 April 2019, rupiah terbang 5,15% terhadap dolar AS.

Rupiah pada kuartal IV-2018, secara point to point menguat sebesar 3,63% dibandingkan dengan level akhir kuartal III-2018, ditopang Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mencatat surplus. Penguatan rupiah berlanjut pada Januari 2019 yang mencapai 2,92% dan terus terjadi pada Februari 2019.

Tren penguatan rupiah pada awal 2019 ditopang aliran masuk modal asing ke pasar keuangan domestik seiring terjaganya fundamental ekonomi domestik dan tetap tingginya daya tarik aset keuangan domestik serta berkurangnya ketidakpastian pasar keuangan global.

Dana asing mengalir deras setelah The Fed memangkas suku bunga sebanyak tiga kali sepanjang 2019 dari  2,25-2,50% menjadi di kisaran 1,5%-1,75%. Suku bunga dipangkas karena The Fed khawatir dengan dampak besar perang dagang AS-China ke ekonomi AS>

Selain itu, imbal hasil aset keuangan domestik juga masih tetap menarik bagi investor asing. Perekonomian domestik yang kondusif tersebut antara lain tercermin dari rilis data pertumbuhan PDB Indonesia kuartal IV-2018 sebesar 5,18%, yang merupakan pencapaian tertinggi dalam lima tahun terakhir.

BIFoto: Capital Flow
Sumber: Bank Indonesia

Di sisi eksternal, pelemahan mata uang dolar AS terhadap berbagai mata uang dunia terjadi akibat ekspektasi arah kebijakan The Fed yang less hawkish, optimisme negosiasi dagang antara AS-China sehingga menurunkan kekhawatiran trade tension, serta dinamika politik di AS yang kemudian mendorong pelemahan dolar AS di pasar keuangan global.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation