Suku Bunga Selangit - NPL Bengkak, BPR Berguguran!

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
24 November 2023 14:55
Cover Fokus, kecil, thumbnail, luar, bpr
Foto: cover topik/BPR/edward ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Selama satu dekade jumlah Bank Perkreditan Rakyat (BPR) terus menyusut hingga lebih dari 200 bank. Hal tersebut disinyalir karena risiko kredit macet yang membengkak akibat suku bunga terlampau tinggi dan tata kelola bisnis yang buruk .

Melansir data Statistik Perbankan Indonesia oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), jumlah BPR hingga Agustus 2023 tersisa 1412 bank. Jumlah tersebut berkurang 233 bank dibandingkan 2013 lalu sebanyak 1635 bank.

Berkurangnya jumlah BPR ini tak lepas dari kinerja keuangan yang memburuk dimana risiko kredit macet BPR ini membengkak akibat suku bunga kredit yang nilainya sangat tinggi.

Berdasarkan data OJK, risiko kredit macet BPR hingga Agustus 2023 telah mencapai 10,13%. Pada periode yang sama suku bunga kredit untuk modal kerja dari BPR terpantau sangat tinggi, mencapai 21,56% sementara bunga rata-rata deposito hanya mendapatkan 5,88%.

Dari data di atas, bisa diibaratkan dengan asumsi tanpa memperhitungkan biaya lain-lain, jika seorang nasabah menaruh uang Rp100 juta di deposito BPR maka keuntungan yang didapat sekitar Rp5,88 juta. Tapi kalau debitur atau seseorang yang mau pinjam uang Rp100 juta, mereka harus membayar bunga sebanyak Rp21,56 juta.

Ongkos pinjaman tersebut masih terlampau mahal, bahkan nilainya bisa hampir dua kali lipat dibandingkan dengan n industrinya. Dimana pada Agustus 2023, suku bunga kredit untuk UMKM mencapai 11,1%.

Oleh karena itu, suku bunga kredit BPR dinilai sangat berat bagi debitur yang posisinya juga seorang pelaku usaha. Apalagi secara porsi BPR ini biasanya menyalurkan kredit bagi pelaku usaha mikro, menengah, dan kecil. Padahal segmen usaha tersebut hingga kini masih banyak yang terdampak pandemi.

Menelisik lebih dalam pada suku bunga kredit yang tertinggi ditetapkan BPR ada sektor pertanian, perburuhan, dan kehutanan yang mencapai 25,73%. Kemudian diikuti sektor jasa perorangan yang melayani rumah tangga dan kegiatan usaha yang belum diketahui batasannya, masing-masing mencapai 23,87% dan 23,13%.

Selain dari kinerja yang buruk, faktor tata kelola yang tak memadai yang menyebabkan fraud juga menjadi faktor banyak BPR dicabut izin oleh OJK.

"Sebagian besar masalah BPR bukan karena adanya masalah ekonomi, namun justru karena integritas pemilik ataupun pemegang saham atau pengurus saham yang tidak disiplin, sehingga terjadi fraud" ungkap Didik Madiyono, anggota Dewan Komisioner Bidang Program Penjaminan Simpanan dan Resolusi Bank LPS.

Rentetan risiko domino dari risiko kredit macet bengkak, suku bunga yang terlalu tinggi hingga tata kelola buruk ini bisa menyebabkan tren penyusutan jumlah BPR berlanjut ke depan. Kepala Eksekutif Pengawas Perbankan OJK, Dian Ediana Rae mengatakan berdasarkan kajian otoritas dalam 5 tahun ke depan jumlah BPR akan berkurang hingga lebih dari 400 entitas. Dengan demikian, diperkirakan hanya akan tersisa 1.000 BPR pada 2027.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation