Uang Melimpah, Kredit Tak Jalan: Ada Apa dengan Ekonomi RI?
Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor keuangan Indonesia mencatatkan fenomena menarik jelang akhir tahun 2025. Di satu sisi, likuiditas di pasar sangat melimpah berkat stimulus pemerintah, namun di sisi lain, penyaluran kredit ke sektor riil belum berjalan optimal.
Data terbaru Bank Indonesia menunjukkan nilai fasilitas kredit yang belum ditarik oleh nasabah (undisbursed loan) mencapai Rp 2.509,4 triliun per November 2025.
Angka ini terbilang cukup tinggi, mencakup sekitar 23,18% dari total plafon kredit perbankan. Artinya, bank sudah menyediakan dana dan menyetujui pinjaman, tetapi debitur belum menggunakannya.
Efektivitas Stimulus Dipertanyakan
Kondisi ini menjadi perhatian karena pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, baru saja menyuntikkan dana stimulus sebesar Rp 276 triliun ke perbankan.
Tujuan utama stimulus ini adalah mendorong bank agar lebih agresif menyalurkan kredit. Harapannya, dunia usaha akan menggunakan dana tersebut untuk ekspansi bisnis, yang pada akhirnya memacu pertumbuhan ekonomi.
Namun, tingginya angka undisbursed loan mengindikasikan bahwa dana tersebut belum terserap maksimal oleh sektor riil. Transmisi kebijakan dari sektor keuangan ke sektor produksi tampaknya mengalami hambatan.
Penyebab Utama: Sikap Hati-Hati Perusahaan
Penyebab utama dari penumpukan kredit ini bukan dari sisi ketersediaan dana, melainkan dari sisi permintaan. Pelaku usaha tampaknya masih mengambil sikap menunggu (wait and see).
Ketidakpastian proyeksi ekonomi di tahun 2026 membuat korporasi menahan rencana ekspansi. Mereka cenderung menunda penggunaan plafon kredit jika belum ada kepastian peningkatan permintaan pasar.
Selain itu, banyak perusahaan besar saat ini memiliki posisi kas internal yang cukup kuat.
Mereka lebih memilih mendanai operasional dan belanja modal menggunakan laba ditahan perusahaan sendiri. Langkah ini dinilai lebih efisien dibandingkan menarik utang bank yang memiliki beban bunga.
Kredit Mikro Turun
Sinyal perlambatan ekonomi tidak hanya terpancar dari kehati-hatian korporasi raksasa, namun juga telah merambat ke segmen akar rumput atau UMKM. Hal ini tercermin jelas dari kinerja penyaluran kredit (disbursement) dua bank pelat merah terbesar, Bank Mandiri dan PT Bank Rakyat Indonesia (BRI) yang mencatatkan kontraksi signifikan.
Berdasarkan data kinerja keuangan Bank Mandiri, penyaluran kredit baru di segmen Small (Kecil) mengalami kejatuhan drastis hingga minus 53,1% secara YoY.
Segmen Mikro yang menjadi penyangga ekonomi kerakyatan juga terkoreksi dalam sebesar minus 26,6% yoy. Secara keseluruhan, total pencairan kredit baru di bank berlogo pita emas ini tergerus minus 15%.
Foto: Mandiri Disbursement |
Kondisi serupa juga terjadi di "raja UMKM", Bank Rakyat Indonesia (BRI). Berdasarkan data penyaluran kuartalan produk Kupedes (Kredit Umum Pedesaan), tren penurunan terlihat konsisten sepanjang tahun 2025.
Pada Kuartal III-2025, penyaluran Kupedes tercatat hanya Rp 25,2 triliun, turun 12,5% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp 28,8 triliun. Angka ini bahkan jauh di bawah level kejayaan Q1-2023 yang sempat menyentuh Rp 59,3 triliun.
Kejatuhan angka disbursement di dua bank Himbara ini menjadi indikator kuat bahwa daya beli dan kemampuan ekspansi pelaku usaha kecil sedang terpukul hebat. Bank tampaknya mulai mengerem penyaluran (risk aversion) karena melihat risiko gagal bayar yang meningkat di kalangan pedagang pasar dan pengusaha mikro.
Foto: Disbursement Kredit Segmen Mikro BRI |
Swasta Melesat Saat Himbara Terjepit
Di tengah lesunya penyaluran kredit mikro bank pelat merah, data mengejutkan justru datang dari bank swasta terbesar nasional, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA).
Bertolak belakang dengan tren kontraksi di bank Himbara, BCA justru mencatatkan pertumbuhan positif di sektor UKM (Small Medium Enterprise/SME).
Berdasarkan laporan kinerja terbaru, portofolio kredit SME BCA per September 2025 tumbuh solid sebesar 7,7% secara tahunan (YoY) menjadi Rp 129,3 triliun.
Tak hanya itu, segmen Komersial BCA juga masih mampu tumbuh 5,7% yoy, dan Korporasi melesat 10,4% yoy. Hijau di semua lini bisnis BCA ini menciptakan kontras yang menyilaukan jika disandingkan dengan penurunan 53,1% di segmen Small milik Bank Mandiri atau kontraksi 12,5% pada Kupedes BRI.
Foto: Load Disbursement BCA |
Dampak Bagi Perekonomian
Fenomena ini memiliki implikasi dua arah bagi ekonomi nasional.
Dampak Negatif
1.Pertumbuhan ekonomi berpotensi tidak secepat yang ditargetkan
Dana stimulus yang seharusnya menciptakan efek berganda (multiplier effect) melalui belanja modal dan penciptaan lapangan kerja, kini tertahan di sistem keuangan.
2. Efisiensi perbankan bisa terganggu
Bank tetap harus menanggung biaya dana (cost of funds) atas simpanan nasabah, namun pendapatan bunga kredit tidak optimal karena pinjaman tidak ditarik. Hal ini dapat menekan margin pendapatan bank.
Dampak Positif
Di sisi lain, kondisi ini menunjukkan bahwa sektor korporasi memiliki ketahanan likuiditas yang baik. Besarnya fasilitas kredit yang belum terpakai berfungsi sebagai dana cadangan (buffer).
Jika terjadi kebutuhan mendadak atau gejolak ekonomi, perusahaan memiliki akses pendanaan siap pakai tanpa perlu proses pengajuan baru yang memakan waktu. Ini meminimalkan risiko gagal bayar korporasi.
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)
Foto: Mandiri Disbursement
Foto: Disbursement Kredit Segmen Mikro BRI
Foto: Load Disbursement BCA