
Saham BBCA Rontok: Dibayangi Beban Kinerja atau Hantu BLBI?

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga saham emiten bank swasta terbesar RI, PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) masih loyo, padahal Bank Indonesia (BI) sudah menurunkan suku bunga sampai empat kali tahun ini.
Gerak saham BBCA selama seminggu terakhir bisa dibilang beda sendiri karena malah terkontraksi dibandingkan saham bank KBMI IV lain yang sudah mulai manggung seperti PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) yang sudah mulai manggung. Begini perbandingan-nya :
Jika ditarik lebih jauh sampai perdagangan Kamis (21/8/2025), sejak awal tahun saham BBCA juga masih dalam zona merah sekitar 13%. Bisa dibilang 2025 menjadi tahun yang sulit bagi emiten bank swasta ini.
Secara sektoral, industri perbankan juga tengah menghadapi periode yang menantang. Suku bunga tinggi yang berlangsung lama menekan pendapatan melalui kenaikan beban bunga.
Di saat yang sama, kondisi ekonomi yang sulit, mulai dari melemahnya daya beli masyarakat hingga tergerusnya kelas menengah, ikut memperberat situasi. Akibatnya, pertumbuhan dana pihak ketiga tidak mampu mengimbangi laju penyaluran kredit.
Merespons hal ini, perbankan mengambil langkah lebih konservatif dengan memperketat strategi agar kualitas dan risiko kredit tetap terjaga.
Oleh karena itu, kami melihat beberapa hal yang menunjukkan BBCA tahun ini dalam mode hati-hati menjadi alasan dibalik penurunan harga saham-nya selama ini :
BBCA Naikkan Guidance Cost of Credit
Salah satu hal paling mencolok yang menunjukkan BBCA sedang konservatif adalah langkah manajemen menaikkan guidance Cost of Credit (CoC) pada tahun ini.
Kami mencatat pada paruh pertama 2025, beban provisi BBCA naik cukup tinggi, yakni 43% secara tahunan (yoy), bahkan di kuartal II saja lonjakannya 81% yoy Kenaikan provisi ini membuat CoC BBCA naik ke 0,5% dari sebelumnya 0,3% di semester I/2024.
CoC bisa dianggap sebagai biaya "asuransi" bank untuk mengantisipasi kredit macet. Semakin tinggi CoC, artinya bank harus menyediakan dana cadangan lebih besar untuk menutup potensi gagal bayar nasabah.
Manajemen BBCA menegaskan bahwa penambahan provisi ini merupakan langkah proaktif guna memperkuat bantalan menghadapi ketidakpastian ekonomi.
Peningkatan cadangan juga sejalan dengan naiknya rasio kredit bermasalah (NPL gross) yang mencapai 2,2% pada kuartal II/2025, dari posisi 2,0% pada kuartal sebelumnya dan 1,8% pada akhir 2024.
Dari sisi segmentasi, penurunan kualitas aset terutama terjadi pada kredit usaha kecil dan menengah (SME) serta kredit konsumer.
Meski demikian, kedua segmen ini masih mencatatkan pertumbuhan kredit masing-masing sebesar 11% yoy untuk SME dan 8% yoy untuk konsumer pada paruh pertama tahun ini. BBCA memperkirakan laju pertumbuhan kredit dari kedua segmen tersebut berpotensi melambat pada semester II/2025, seiring meningkatnya risiko gagal bayar.
Laba Bank BCA Hanya Tumbuh Satu Digit di Semester I/2025
Imbas dari peningkatan beban untuk menahan risiko kredit macet ini kemudian membebani pertumbuhan profitabilitas BBCA.
Selama setengah tahun ini, BBCA mencatat laba bersih senilai Rp29 triliun, meningkat 8% secara tahunan (yoy). Sekilas, pertumbuhan positif memang bagus, tetapi kalau dilihat secara historis dalam basis kuartalan pertumbuhan ini cenderung melambat.
Sudah empat kuartal beruntun, pertumbuhan laba BBCA terus melambat. Pada kuartal II/2025, laba BBCA yang diatribusikan ke pemilik entitas induk hanya tumbuh 6,2% QoQ.
Kalau ditarik lebih panjang lagi, ternyata pertumbuhan laba BBCA terkini sudah mendekati level terendah pada kuartal akhir 2023 yang hanya tumbuh 3,7% QoQ.
Setelah 20 Tahun Kasus Utang BBCA Mencuat
Di luar capaian fundamentalnya, dalam jangka pendek ini penurunan saham BBCA nampaknya juga kena dampak dari kontroversi terkait penjualan saham dalam rangka penyelesaian Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang kasusnya sudah bergulir lebih dari dua dekade.
Isu ini memicu sorotan publik, termasuk dari sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), yang mendorong pemerintah untuk menuntaskan perkara tersebut. Bahkan, muncul desakan agar pemerintah mengambil alih 51% saham BBCA tanpa kompensasi.
Dalam pusaran isu ini, nama Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara) ikut terseret. Namun, CEO Danantara, Rosan Roeslani, secara tegas menampik dugaan keterlibatan perusahaannya dalam rencana akuisisi mayoritas saham BCA.
Menanggapi tuduhan yang beredar, Corporate Secretary BCA, I Ketut Alam Wangsawijaya, memberikan klarifikasi. Ia membantah tudingan bahwa akuisisi 51% saham BCA oleh Grup Djarum dari Grup Salim dengan nilai Rp5 triliun merupakan pelanggaran hukum. Menurutnya, angka Rp117 triliun yang kerap dikutip publik adalah total aset perusahaan, bukan nilai pasar.
"Nilai pasar ditentukan dari harga saham di bursa dikalikan dengan jumlah saham beredar," jelas Ketut.
Ia menambahkan, saat proses strategic private placement berlangsung, kapitalisasi pasar BCA di bursa sekitar Rp10 triliun.
Oleh karena itu, nilai transaksi 51% saham yang diperoleh konsorsium FarIndo melalui tender dianggap sesuai dengan kondisi pasar kala itu.
Ketut juga menegaskan bahwa BCA tidak memiliki kewajiban utang Rp60 triliun kepada negara. Angka tersebut, katanya, merujuk pada obligasi pemerintah yang dicatat sebagai aset di neraca bank, dan seluruhnya telah diselesaikan pada 2009 sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(tsn/tsn)
