
Hantu Lama Kembali Bergentayangan, RI Dalam Bahaya?

Jakarta, CNBC Indonesia - Transaksi berjalan Indonesia pada kuartal III-2023 tercatat kembali defisit dalam dua kuartal beruntun. Kembalinya defisit membuat Indonesia terancam kembali dihantui pengalaman buruk pada 2013 di mana Indonesia 'dibuang' investor.
Bank Indonesia (BI) kemarin, Selasa (21/11/2023), merilis neraca transaksi berjalan pada kuartal III-2023 menorehkan defisit senilai US$900 juta atau sekitar Rp3,91 triliun (US$ 1=Rp15.450). Nilai tersebut setara dengan 0,2% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Defisit ini jauh menurun dibandingkan dengan defisit US$2,2 miliar (Rp33,9 triliun) atau 0,6% dari PDB pada triwulan sebelumnya.
Seperti diketahui, transaksi berjalan terdiri dari neraca barang dan jasa, pendapatan primer, dan pendapatan sekunder.
Menyempitnya transaksi berjalan ditopang oleh membaiknya neraca barang dan jasa serta pendapatan primer. Surplus dagang meningkat menjadi US$ 10, 27 miliar pada kuartal II-2023, dari US$ 61,97 miliar pada kuartal II-2023.
Defisit pada neraca jasa menyempit menjadi US$ 4,11 miliar pada Juli-September 2023, dari US$ 4,73 miliar pada April-Juni 2023. Defisit pada pendapatan primer mengecil menjadi US$ 8,49 miliar pada kuartal III-2023, dari US$ 9,16 miliar pada kuartal II-2023.
Surplus neraca perdagangan nonmigas meningkat didukung oleh perbaikan permintaan beberapa komoditas ekspor, terutama besi dan baja, di tengah tren harga komoditas yang masih turun. Sementara itu, defisit neraca perdagangan migas meningkat sejalan dengan kenaikan harga minyak dunia.
Perbaikan neraca transaksi berjalan turut ditopang oleh penurunan defisit jasa, yang didukung oleh peningkatan kunjungan wisatawan mancanegara seiring dengan pemulihan sektor pariwisata yang terus berlangsung. Selain itu, defisit neraca pendapatan primer juga menurun sejalan dengan pembayaran imbal hasil kepada investor asing yang lebih rendah.
Mengapa Defisit Transaksi Berjalan Menjadi Kekhawatiran?
Defisit transaksi berjalan memberikan dampak yang negatif bagi perekonomian suatu negara.
Seperti yang diketahui, transaksi berjalan sendiri merupakan gambaran arus uang yang keluar masuk melalui sektor-sektor riil. Sementara transaksi di sektor riil ini lebih bertahan lama, tidak mudah keluar dan masuk dengan cepat. Berbeda dengan sektor keuangan, seperti saham, di mana investor bisa dalam satu kedipan mata menarik modal dari Indonesia.
Neraca transaksi berjalan merupakan salah satu indikator penting dalam menunjukkan performa makroekonomi suatu negara dari sisi eksternal, yang juga merupakan cerminan dari perekonomian internal, seperti ekspor dan impor di sektor rill, serta penerimaan dan pengeluaran di sektor fiskal (pemerintah).
Saat neraca transaksi berjalan mengalami defisit (Current Account Deficit/CAD), ada lebih banyak uang yang keluar dari Indonesia ketimbang yang masuk. Apalagi jika jumlahnya sangat besar, artinya banyak sekali uang yang berhamburan ke luar negeri atau dengan kata lain, negara tersebut kekurangan dana tabungan untuk investasi domestik, sehingga harus meminjam/berutang ke negara lain.
Defisit transaksi berjalan juga bisa menandai besarnya defisit transaksi berjalan karena impor yang membengkak. Kondisi ini membuat pasokan dolar di sebuah negara menipis karena kebutuhan impor lebih tinggi dibandingkan pasokan dari ekspor.
Dalam jangka panjang karena defisit neraca transaksi berjalan dapat membawa pada kondisi krisis ekonomi yang serius. Indonesia pernah mengalami hal tersebut pada 2013-2014.
Sejak kuartal I-2010 hingga kuartal III-2023 terdapat total 55 kuartal dan hanya 16 kali atau sekitar 29% transaksi berjalan Indonesia mengalami surplus dengan surplus terpanjang terjadi secara beruntun pada kuartal I-2010 hingga kuartal III-2011 (sebanyak 7 bulan beruntun) dan kuartal III-2021 hingga kuartal I-2023 (sebanyak 7 bulan beruntun).
Sedangkan rekor defisit terpanjang terjadi selama 35 kuartal beruntun yang terjadi sejak kuartal IV-2011 hingga kuartal II-2020 dengan defisit terbesar terjadi pada kuartal II-2013 sebesar US$10,12 miliar.
Defisitnya transaksi berjalan dikhawatirkan menekan rupiah sehingga Bank Indonesia (BI) harus mengerek suku bunga. Bila suku bunga meningkat, maka aktivitas ekonomi bisa diperlambat. Harapannya impor barang bisa turun dan mengurangi beban pada transaksi berjalan.
BI pernah melakukannya pada 2013-2014 dengan mengerek suku bunga secara agresif sebesar 200 bps dari 5,75% pada Januari 2013 menjadi 7,75% pada Januari 2014.
Di lain sisi, transaksi berjalan yang defisit juga dapat menjauhi minat investor asing dalam berinvestasi di Indonesia dan menekan rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS).
Kondisi ini membuat Indonesia rentan dari tekanan eksternal jika terjadi goncangan di pasar global serta ketidakpastian meningkat seperti kenaikan suku bunga di AS. Contoh paling nyata adalah pada 2013 di mana Indonesia masuk The Fragile Five, negara yang dibuang investor karena berisiko setelah defisit transaksi berjalan menembus sebesar US$ 10,1 miliar, atau 4,4% dari PDB.
RI Pernah Dibuang Investor karena Defisit Transaksi Berjalan Bengkak
Indonesia sebagai bagian dari The Fragile Five tergolong sebagai emerging markets dengan potensi ekonomi yang luar biasa namun sangat rentan 'digoyang' akibat memiliki fundamental yang rapuh diukur dari keseimbangan eksternal yaitu neraca pembayaran.
Neraca pembayaran Indonesia begitu tergantung kepada arus modal di sektor keuangan alias hot money yang sangat fluktuatif. Uang panas ini bisa datang dan pergi sesuka hati, sulit untuk diharapkan bisa berdimensi jangka panjang.
Ketergantungan terhadap hot money disebabkan oleh transaksi berjalan (current account) yang masih defisit. Artinya, pasokan valas yang berjangka panjang dari ekspor-impor barang dan jasa seret.
Misalnya ketika periode Taper Tantrum. Sebagai catatan, selepas krisis keuangan 2007-2008, The Fed mulai berpikir bahwa perekonomian Negeri Paman Sam mulai pulih. Dilemparlah wacana dimulainya proses pengetatan kebijakan moneter, yaitu dengan menaikkan suku bunga acuan yang kala itu sudah mendekati 0%.
Ternyata masa kegalauan itu berlangsung selama nyaris tiga tahun, karena Federal Funds Rate baru dinaikkan pada Desember 2015. Selama 2013 sampai akhir 2015, The Fed maju-mundur dan melempar berbagai sinyal yang membuat pelaku pasar dalam tanda tanya.
Selama masa kebingungan itu, investor memburu dolar AS dengan harapan The Fed segera menaikkan suku bunga acuan. Arus modal terkonsentrasi di mata uang Negeri Adidaya, negara lain hanya kebagian remah rengginang.
Karena The Fragile Five itu sangat tergantung kepada arus modal di pasar keuangan, mata uang mereka melemah sangat dalam. Khususnya rupiah pada 2013 anjlok 26,27% terhadap dolar AS atau yang terparah dibandingkan dengan keempat negara lainnya (India, Brasil, Afrika Selatan, dan Turki).
Biang kerok lemahnya mata uang Garuda dan dibuang oleh investor asing pada 2013 yakni transaksi berjalan yang defisit. Pada 2013, defisit transaksi berjalan Indonesia begitu parah hingga mencapai kisaran 4% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Sekarang transaksi berjalan Indonesia masih tekor, tetapi sudah membaik di kisaran minus 2-3% PDB.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)