Ramai-Ramai Investor Asing Kabur, China Tekor Ratusan Triliun

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
07 November 2023 17:55
Terungkap, Rahasia Orang China Sukses Bisnis & Kuasai Dunia
Foto: Infografis/ Terungkap, Rahasia Orang China Sukses Bisnis & Kuasai Dunia/ Ilham Restu
  • Neraca dagang China per Oktober 2023 terperosok lebih dalam dari perkiraan, bahkan Foreign Direct Investment (FDI) per kuartal tiga tahun ini tercatat defisit paling dalam sejak 1998.

  • Defisit FDI disinyalir terjadi akibat aksi "de-risking" atau pengurangan risiko oleh beberapa negara Barat, repatriasi pendapatan, serta tingkat suku bunga Tiongkok yang rendah.

  • Kondisi ekonomi China yang lesu padahal posisinya merupakan penggerak motor Asia serta sepertiga dunia menjadikan ancaman bagi perlambatan ekonomi global, tak terkecuali ke Indonesia. 

Jakarta, CNBC Indonesia - China lagi-lagi memberi kabar buruk. Data terbaru menunjukkan arus investasi asing di China mengalami defisit paling dalam secara kuartalan pada periode Juli-September 2023. China bahkan mencatat defisit pada kewajiban investasi langsung (foreign direct investment) untuk pertama kalinya  sejak 1998 atau lebih dari 25 tahun lebih.

Menurut data State Administration of Foreign Exchange (SAFE), FDI China pada periode Juli - September 2023 mencatatkan arus keluar sebesar US$ 65,8 miliar atau sekitar Rp Rp 1.028,2 triliun. Defisit tersebut memperpanjang tren negatif sejak kuartal III-2022 atau setahun terakhir.

Seperti diketahui, FDI terbagi dalam dua bagian yakni aset dan kewajiban. Kewajiban tersebut termasuk laba perusahaan asing yang tidak direpatriasi ataupun didistribusikan ke pemegang saham serta investasi asing pada lembaga keuangan.

Defisit pada aset FDI tercatat US$ 54 miliar atau sekitar Rp 843, 75 triliun sementara pada kewajiban tercatat defisit US$ 11,8 miliar atau sekitar Rp 184, 38 triliun.
Ini adalah kali pertama kewajiban aset pada FDI China ada di zona negatif sejak 1998 atau sejak China mencatat data tersebut.
Fakta ini mencerminkan keengganan asing untuk menanamkan modal kembali di Tiongkok.

Arus keluar investasi asing yang masih deras di Tiongkok terjadi lantaran ada aksi "de-risking" atau pengurangan risiko oleh negara-negara Barat yang menganggap China sebagai risiko akibat teknologi semikonduktor. Hal tersebut juga menjadi penyebab eskalasi perang dagang antara negeri Paman Sam dengan negeri Tirai Bambu yang masih berlanjut hingga kini.

Sebagaimana diketahui, pada Agustus lalu Amerika Serikat (AS) mengumumkan pembatasan lebih ketat terhadap investasi chip dan kecerdasan buatan dari Tiongkok. Lebih lanjut, China juga membalas pada September lalu dengan pelarangan penggunaan Iphone untuk pegawai pemerintah.

Lebih lanjut melihat investasi asing di bidang semikonduktor berdasarkan tujuannya, pangsa pasar Tiongkok telah menyusut dari 48% pada tahun 2018 menjadi 1% pada tahun 2022, menurut firma riset AS Rhodium Group.

Investasi asing yang lesu juga sebenarnya telah dimulai sejak kuartal I/2022 akibat diberlakukannya lockdown Zero-Covid-19 cases di Shanghai dan sekitarnya. Oleh karena itu, banyak perusahaan menarik investasi sebagai langkah antisipasi yang kemudian berlanjut hingga saat ini.

Melansir dari survei the Japanese Chamber of Commerce and Industry di China pada September lalu menyatakan hampir separuh responden tidak akan berinvestasi di China sama sekali pada 2023, sementara pada 2023 akan berinvestasi lebih sedikit.

Investasi asing ke China yang lesu tentunya akan berdampak domino pada ekonomi, pasalnya permintaan akan mata uang berkurang yang menyebabkan gangguan bagi pasar ekspor serta berimbas pada penyusutan neraca dagang.

Melansir data Biro Statistik Nasional China, neraca dagang per Oktober 2023 sebesar US$ 56,53 miliar. Nilai tersebut turun lebih dalam dari perkiraan pasar sebesar US$ 82 miliar dan dibandingkan bulan sebelumnya sebesar US$ 82,35 miliar, bahkan menjadi yang terendah sejak Februari tahun ini.



Ambruknya neraca dagang Tiongkok terjadi akibat ekspor yang terkontraksi sebesar 6,4% secara tahunan (yoy), lebih dalam dari perkiraan pasar yang proyeksi hanya berkontraksi sekitar 3,3% yoy. Padahal, impor sudah mulai membaik untuk pertama kalinya bisa tumbuh 3% yoy, berbanding terbalik dari konsensus pasar yang diproyeksi kontraksi 4,8% yoy.

China yang terkenal dengan julukan sang Naga Asia dengan kondisi neraca dagang dan investasi asing lesu saat ini menjadi satu ancaman bagi pertumbuhan ekonomi global. Berbicara data, kontribusi Tiongkok ini bahkan setara dengan pertumbuhan ekonomi sepertiga dunia. Tak terkecuali bagi Indonesia, kira-kira bagaimana dampaknya?

Lesunya Ekonomi China Jadi Ancaman Pertumbuhan Indonesia

Negeri Tirai Bambu sangat berpengaruh terhadap Indonesia lantaran memang menjadi negara tujuan ekspor yang paling besar. Ketika ekonomi negara tersebut lesu akan membuat industri terkontraksi sehingga permintaan atau impor jadi berkurang.

Industri yang melambat juga sudah tercermin dari PMI Manufaktur China yang jatuh ke fase kontraksi yakni 49,5 pada Oktober dari fase ekspansif 50,6 pada September. Padahal, China adalah motor ekonomi Asia dan berkontribusi sebesar 24% dari total ekspor Indonesia.

Bank Dunia juga pernah memperingatkan bahwa perlambatan ekonomi di China menjadi salah satu risiko yang bisa mengoreksi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Namun demikian, dampaknya lebih minim dibandingkan negara ASEAN lainnya, seperti Malaysia dan Thailand, mengingat kondisi manufaktur dalam negeri masih terjaga dalam level ekspansif.

Bank dunia juga mencatat efek dari simulasi perlambatan 1% di China berdampak pada penurunan 0,1 poin persentase di tingkat pertumbuhan Indonesia hingga penurunan hampir 0,6 poin persentase di Malaysia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation