Macro Insight

Ringgit Ambruk, Mantan PM Malaysia Usul Solusi Ala Soeharto?

Revo M, CNBC Indonesia
06 November 2023 06:25
FILE PHOTO: A Malaysia Ringgit note is seen in this illustration photo June 1, 2017.     REUTERS/Thomas White/Illustration/File Photo
Foto: REUTERS/Thomas White

Jakarta, CNBC Indonesia - Mantan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad mengusulkan agar nilai tukar ringgit dipatok di harga yang sama. Hal ini ia sampaikan pasca ringgit terus ambruk terhadap dolar Amerika Serikat (AS). Praktek serupa sebenarnya sudah pernah dilakukan Malaysia dan Indonesia hampir tiga dekade lalu.

Dilansir dari Refinitiv, ringgit melemah sejak Januari 1998 yakni di angka MYR4,79/US$. Sementara di tahun ini saja, ringgit telah terdepresiasi sekitar 8% terhadap dolar AS.
Pada penutupan perdagangan pekan lalu, Jumat (3/11/2023), ringgit Malaysia ditutup di posisi MYR 4,726/US$1 atau menguat 0,76%. ringgit

Ringgit jatuh 1,46% pada Oktober 2023, ambruk 1,22% pada September, dan rontok 2,88% pada Agustus. Sepanjang tahun ini, ringgit jatuh 7,41% atau lebih dalam dibandingkan 2022 yang tercatat 5,67%.
Pelemahan ringgit jauh lebih buruk dibandingkan rupiah (-1,05%) ataupun Bahth (-2,37%).

Anjloknya ringgit menyebabkan aset-aset Malaysia menderita tahun ini karena melonjaknya suku bunga AS yang menyedot dana kembali ke negara AS yang merupakan negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Bank Negara Malaysia (BNM) telah mempertahankan suku bunga utama sebesar 3% sejak Juli 2023, menempatkan indeks tersebut pada rekor diskon hingga batas atas acuan bank sentral AS (The Fed). Pada saat yang sama, pertumbuhan yang melambat di China, mitra dagang terbesar Malaysia, telah membebani ekspor negara tersebut.

Para pembuat kebijakan Malaysia tetap berkomitmen untuk memastikan penyesuaian ringgit secara tertib, kata Gubernur Bank Negara Malaysia Abdul Rasheed Ghaffour pekan lalu. "Kami telah berada di pasar, dan jika diperlukan, kami akan terus berada di pasar," katanya.

Di lain sisi, Mantan Perdana Menteri Dr Mahathir Mohamad mengatakan negaranya harus mempertimbangkan mematok mata uangnya yang melemah terhadap dolar, mengulangi kebijakan yang ia terapkan saat Krisis Keuangan Asia pada akhir tahun 1990an.

"Ini adalah sesuatu yang harus dipertimbangkan," kata Mahathir dalam sebuah wawancara pada hari Rabu (1/11/2023) di kantornya di Putrajaya, dikutip dari Bloomberg.

Kendati demikian, BNM tidak menanggapi permintaan komentar mengenai potensi patokan ringgit pada hari Rabu.

Sepanjang tahun ini atau year to date hingga 2 November 2023 dengan basis mata uang masing-masing negara, ringgit Malaysia tercatat melemah 7,4% sementara baht Thailand turun 4%, dong Vietnam terdepresiasi 3,9%, dan rupiah Indonesia melemah 1,8%.

Dengan kemerosotan nilai tukar ringgit dengan kinerja terburuk di negara-negara berkembang di Asia tahun ini, Mahathir mengatakan bahwa ada kemungkinan ringgit melemah hingga menyentuh level MYR5/US$.

"Bayangkan saja dampaknya terhadap biaya hidup Anda," katanya, seraya menambahkan bahwa mematok mata uang akan membantu mengurangi tekanan harga.

Kebijakan Mahatir 1998

Pada saat Asian Financial Crisis tahun 1997-1998, Mahatir yang menjabat sebagai Perdana Menteri menjadi yang pertama kali menolak dana talangan dari Dana Moneter Internasional (IMF). Dia malah memperkenalkan kontrol modal (capital control) pada September 1998 dan kemudian mematok ringgit pada MYR3,8/US$, sebuah kebijakan yang tetap berlaku hingga tahun 2005.

Beberapa hal yang dilakukan pemerintah Malaysia pada 1998 yakni kebijakan nilai tukar tetap, fiskal yang ekspansif, dan suku bunga rendah. Dibanding meliberalisasi struktur kebijakan ekonominya, pemerintah Malaysia justru mengontrol arus modal yang keluar dan masuk ke Malaysia.

Dengan kebijakan kontrol modal, pemerintah berusaha mencegah pelarian ringgit ke luar negeri dan mengembalikan ringgit yang berada di luar negeri kembali ke Malaysia. Pemerintah memberi batas waktu hingga sebulan, sejak diimplementasikannya kebijakan kontrol modal pada awal September 1998, bagi pemegang ringgit di luar negeri untuk mengembalikan ringgitnya ke Malaysia.

Tidak sampai di situ, segala transaksi valas (valuta asing) yang terkait dengan ringgit dilarang dilakukan di luar Malaysia. Semua warga negara asing harus mendepositokan ringgitnya ke lembaga perbankan dan tidak boleh ditarik selama satu tahun. Warga negara Malaysia dilarang membawa ringgit ke luar negeri melebihi MYR1.000. Mereka juga dilarang menjual ringgit lebih dari MYR10.000. Warga negara asing hanya boleh membawa keluar atau menerima ringgit dari luar negeri maksimal MYR1.000. Terakhir, kegiatan ekspor-impor tidak boleh menggunakan ringgit.

Hal tersebut ia lakukan karena pada saat itu, ringgit anjlok dan menambah tekanan pada cadangan devisa negara tersebut. Untuk diketahui, pada Januari 1998, ringgit sempat menyentuh titik terlemahnya yakni sekitar MYR4,88/US$.

IMF, yang pada saat itu menyebut nilai tukar ringgit sebagai "langkah kemunduran", kemudian mengakui bahwa nilai tukar ringgit adalah "jangkar stabilitas" yang membantu pemulihan perekonomian.

"Investor asing sangat senang," kata Mahathir dalam wawancara.

Kebijakan Kontrol Nilai Tukar ala Soeharto 
Seperti halnya Malaysia, Indonesia juga pernah memberlakukan manajemen nilai tukar yang terkontrol di era Soeharto. Mantan Deputi Senior Bank Indoensia Miranda S Goeltoem dalam jurnal Manajemen Nilai Tukar di Indonesia dan Permasalahannya menjelaskan Indonesia mengontrol nilai tukar dalam dua periode yang berbeda:

1. Sistem Nilai Tukar Tetap (1970-1978)

Sistem ini diberlakukan sesuai dengan Undang-undang No. 32 tahun 1964, Indonesia menganut sistem nilai tukar tetap dengan kurs resmi Rp250 per 1 US$, lebih rendah dibandingkan RP 45/US$1.

Pad periode ini devisa juga dikontrol secara ketat di mana eksportir diwajibkan menjual hasil devisanya kepada bank devisa untuk selanjutnya dijual kepada pemerintah, dalam hal ini Bank Indonesia.

Sistem pengendalian nilai tukar membuat rupiah kerap overvalued sehingga malah membuat daya saing produk Indonesia melemah di pasar internasional.
Pemerintah sempat melakukan devaluasi sebanyak tiga kali. Di antaranya adalah pada 17 April 1970 dengan kurs sebesar Rp378 per 1 US$, tanggal 23 Agustus 1971 dengan kurs sebesar Rp415 per 1 US$ serta 15 November 1978 dengan kurs sebesar Rp625 per 1 US$.

2. Sistem nilai tukar mengambang terkendali (1978-Juli 1997)

Sistem ini memungkinkan nilai tukar rupiah dipatok dengan floating atau mengambang terhadap sekeranjang mata uang (basket of currencies) negara-negara mitra dagang utama Indonesia.

Pemerintah akan menetapkan kurs indikasi dan membiarkan kurs bergerak di pasar dengan spread tertentu. Pemerintah kemudian akan menjaga volatilitas rupiah dengan melakukan intervensi jika rupiah bergerak terlalu tajam di atas atau di bawah spread. Sistem ini berakhir pada 1997 setelah Krisis Moneter menghantam Asia Tenggara.

Rupiah terus mengalami depresiasi tajam sehingga menembus Rp2.650 per 1 US$ pada awal Agustus 1997.
Pemerintah kemudian tidak melakukan intervensi lagi dan nilai tukar mengambang bebas (flexible exchange rate.

Krisis Moneter 1997/1998 bermula dari Thailand yang meninggalkan kebijakan nilai tukar tetapnya (fixed exchange rate) terhadap dolar AS pada Juli 1997.

Kebijakan tersebut membuat banyak perusahaan menjadi gagal bayar karena nilai mata uang yang melemah. Krisis menjalar ke negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia.

Krisis menjatuhkan nilai tukar rupiah dari Rp 2.500 menjadi Rp 16.900 per dolar AS. Krisis juga membuat inflasi Indonesia melonjak hingga 77% sementara ekonomi terkontraksi 13% lebih.

Indonesia harus membayar mahal atas terjadinya krisis 1997/1998 yakni runtuhnya pemerintahan hingga krisis politik dan sosial yang mengakibatkan kerusuhan massal.
Krisis moneter bahkan sampai menjalar ke ranah politik dan sosial hingga menjatuhkan kepemimpinan Presiden Soeharto yang sudah berlangsung 32 tahun.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(rev/rev)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation