
Kebijakan Suku Bunga Tinggi Mulai Dipertanyakan, RI Aman?

Jakarta, CNBC Indonesia - Keputusan bank sentral Amerika Serikat (AS) dan banyak negara yang mengerek suku bunga tinggi mulai dipertanyakan. Kebijakan tersebut dinilai mengganggu pertumbuhan ekonomi.
Salah satu pengkiritik keras kebijakan suku bunga tinggi di AS adalah peraih hadiah nobel bidang ekonomi Joseph E. Stiglitz. Dia menilai bahwa bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) salah mendiagnosa penyebab kenaikan inflasi di negaranya.
Kesalahan diagnosa terhadap inflasi itu membuat The Fed terus menaikkan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) secara cepat dan bertengger di level yang tinggi untuk jangka waktu panjang. Tujuannya untuk meredam permintaan agregat.
Sebagai informasi, inflasi AS mencapai 3,7% (year on year/yoy) pada September 2023, stagnan dibandingkan pada Agustus 2023. Angka inflasi sebenarnya jauh melandai dibandingkan pada Juni 2023 di angka 9,1% (yoy). Tingkat pengangguran AS naik menjadi 3,8% pada September 2023, dari 3,4% pada April 2023.
Untuk menekan inflasi, The Fed mengerek suku bunga sebesar 525 bps sejak Maret 2023. Pada Januari 2022, tercatat suku bunga The Fed sebesar 0-0,25% dan mengalami lonjakan yang signifikan hingga pada September 2023 berada di posisi 5,25-5,50%. Suku bunga The Fed saat ini juga merupakan level tertinggi selama lebih dari 22 tahun.
Kenaikan 525 basis poin (bps) ini terjadi hanya kurang dari dua tahun akibat kondisi global tidak pasti hingga tensi geopolitik yang belum juga mereda membuat inflasi sulit ditekan dan akhirnya The Fed memutuskan untuk menaikkan suku bunga.
Keputusan tersebut menuai kontra dari Joseph Stiglitz yang mengungkapkan bahwa The Fed dinilai tidak tepat dalam mengambil keputusan.
"Menaikkannya terlalu cepat, dan terlalu jauh, menunjukkan kesalahan diagnosa. Mereka meyakini bahwa inflasi ini hasil dari agregat demand yang kuat," ujar Stiglitz dalam program Money Talks CNBC Indonesia dikutip Selasa (12/9/2023).
Ketimbang disebabkan permintaan agregat yang kuat, Stiglitz menganggap, inflasi yang tinggi di Amerika Serikat cenderung disebabkan masalah pasokan (supply side).
Oleh sebab itu, ia menekankan, cara mengendalikan inflasi yang disebabkan pasokannya yang terganggu tidak bisa memanfaatkan metode kenaikan suku bunga acuan yang hanya mematikan ekonomi karena mengurangi permintaan, karena pasokannya yang bermasalah.
"Tidak ada alasan untuk mematikan perekonomian. Itu tidak akan sepadan dengan keuntungannya. Kita sebenarnya bisa menaikkan upah pekerja tanpa menyebabkan inflasi yang besar," tuturnya. Pasokan yang terganggu salah satunya tercermin dari tingginya harga komoditas khususnya harga minyak dunia pada 2022 dan 2023.
Pada akhir Februari 2022, Harga minyak brent pada pasar ICE sempat menyentuh harga US$ 100/barel. Hal ini ditengarai akibat kekhawatiran terganggunya pasokan minyak, mengingat Rusia merupakan salah satu negara penghasil minyak utama dunia.
Head of Industry and Regional Research Bank Mandiri, Dendi Ramdani mengatakan tingginya harga minyak dunia menunjukkan supply minyak global terganggu. Sementara produksi Rusia itu kisaran 11 juta barel per hari atau sekitar 10% dari produksi minyak dunia.
Tidak sampai disitu, dilansir dari CNN, menurut Badan Energi Internasional (IEA), permintaan minyak global diperkirakan meningkat sebesar 2,2 juta barel per hari menjadi 102 juta barel per hari pada tahun 2023. Namun produksi minyak global diperkirakan hanya meningkat 1,5 juta barel per hari menjadi 101,5 juta barel.
Kesenjangan pasokan tersebut diperburuk oleh pengurangan produksi yang dilakukan oleh The Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC+), sebuah aliansi produsen utama dunia.
Pengurangan produksi OPEC+ adalah pendorong utama di balik kenaikan harga minyak, namun lonjakan tersebut juga "didukung oleh kuatnya permintaan di negara-negara maju," Edward Gardner, ekonom komoditas di Capital Economics
Gardner memperkirakan pasar minyak global akan berubah dari surplus pasokan sebesar 800.000 barel per hari pada paruh pertama tahun ini menjadi defisit 1,2 juta barel per hari pada paruh kedua.
Dengan kondisi perekonomian AS yang masih mampu bertahan di tengah ketatnya suku bunga, Stiglitz berpendapat bahwa soft landing ekonomi yang coba dirancang oleh The Fed mungkin akan membuahkan hasil, namun hal ini merupakan akibat dari "kesalahan" kebijakan lain yang menguntungkan, kali ini dari pemerintah dalam bentuk Undang-Undang Pengurangan Inflasi.
Tidak hanya Stiglitz, CEO bank raksasa JPMorgan Chase, Jamie Dimon, memperingatkan tentang bahaya mengunci prospek perekonomian, Selasa (24/10/2023). Ini terkait dengan jejak manuver bank sentral Amerika Serikat (AS), Federal Reserve (The Fed).
"Saya ingin menunjukkan bahwa bank sentral 18 bulan lalu 100% salah. Saya akan sangat berhati-hati tentang apa yang mungkin terjadi tahun depan," tegasnya
Komentar tersebut mengacu pada prospek The Fed pada awal tahun 2022 dan sebagian besar tahun sebelumnya. Saat itu, pejabat The Fed bersikeras bahwa lonjakan inflasi hanya bersifat "sementara".
Pejabat The Fed, menurut proyeksi bulan Maret 2022, secara kolektif memperkirakan suku bunga utama mereka akan naik menjadi hanya 2,8% pada akhir tahun 2023. Namun saat ini, suku bunga utama berada di level 5,25-5,50% atau jauh lebih tinggin dibandingkan proyeksi.
Argentina dan Eropa Juga Sengsara Karena Suku Bunga Tinggi
Bank Sentral Argentina kembali mengerek tingkat suku bunga acuannya menjadi 133% pada 12 Oktober 2023. Suku bunga tersebut melompat jauh dari 40% pada Januari 2022.
Langkah kebijakan pengetatan moneter yang agresif diambil bank sentral, seiring dengan kesulitan yang dihadapi pemerintah Argentina dalam mengatasi inflasi. Pada Oktober 2023, inflasi Argentina masih menembus level 138%, level tertinggi dalam kurun waktu 30 tahun terakhir.
Lonjakan suku bunga membuat ekonomi Argentina terkontraksi sebesar 4,9% (yoy) pada kuartal II-2023. Ini adalah kontraksi pertama dalam sembilan kuartal terakhir.
Ekonomi Eropa juga mulai kena imbas dari suku bunga tinggi. Suku bunga acuan Eropa sudah terbang ke 4,5% pada Oktober 2023, level tertingginya dalam 22 tahun. Kenaikan suku bunga menjadi salah satu alasan ambruknya ekonomi Eropa dari tumbuh 4,3% pada kuartal IV-2021 menjadi 0,5% pada kuartal II-2023.
Ekonomi Jerman bahkan terkontraksi pada kuartal II-2023.
Bagaimana dengan RI?
Bank Indonesia (BI) sudah mengerek suku bunga acuan sebesar 250 bps sejak Agustus 2022 menjadi 6,00% pada Oktober 2023. BI bahkan mengerek suku bunga secara agresif pada September, Oktober, November 2022 masing-masing sebesar 50 bps.
Meski suku bunga tinggi, ekonomi Indonesia masih mampu tumbuh tinggi di kisaran 5% sepanjang kuartal IV-2021 hingga kuartal II-2023.
Namun, Pertumbuhan kredit perbankan jatuh dari 11,95% pada Oktober 2022 menjadi 8,96% pada September 2023.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)