
Langka! Hanya 6 Mata Uang Ini yang Perkasa Lawan Dolar

Jakarta, CNBC Indonesia - Mayoritas nilai tukar rupiah tengah terkapar di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Namun, beberapa mata uang justru perkasa di hadapan dolar, seperti peso Kolombia, peso Meksiko, real Brazil, zloty Polandia, franc Swiss, dan forint Hungaria justru terapresiasi terhadap dolar AS.
Dolar AS melambung sejak tahun lalu setelah bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) mengerek suku bunga secara agresif. Suku bunga naik 525 bps daru 0,00-0,25% pada Februari 2022 menjadi 5,25-5,5% pada saat ini. Indeks dolar bahkan terus melambung dari kisaran pada 95 pada Februari 2022 menjadi 106 pada saat ini.
Salah satu korban keperkasaan dolar adalah mata uang Garuda. Nilai tukar rupiah sudah melemah terhadap dolar AS bahkan secara mingguan telah melemah selama delapan minggu terakhir. Sementara itu, pada penutupan perdagangan kemarin (23/10/2023), rupiah tercatat berada di angka Rp15.930/US$ atau melemah 0,38% dan sempat hampir menyentuh level psikologis baru Rp16.000/US$.
Berbeda dengan rupiah dan puluhan mata uang lain, enam mata uang justru menguat tajam terhadap dolar AS yakni peso Kolombia, peso Meksiko, real Brasil, zloty Polandia, franc Swiss, dan forint Hungaria.
Mata uang Meksiko saat ini berada di posisi level terkuat terhadap dolar AS dalam hampir delapan tahun selama musim panas. Suku bunga yang tinggi di Meksiko yakni 11,25% menjadi salah satu pemanis bagi investor untuk masuk ke negara tersebut.
Penguatan peso diperkirakan akan terus berlanjut, karena aliran uang terus masuk ke negara tersebut masih tinggi dalam memanfaatkan imbal hasil yang lebih besar.
kenaikan peso Meksiko juga terjadi berhubungan erat dengan remitansi, di mana pekerja kebanyakan mengirimkan ke keluarganya dari AS sehingga umumnya menggunakan dolar AS. Berdasarkan riset BBVA, remitansi meningkat selama 38 bulan terakhir hingga Juni 2023 sebesar US$30,2 miliar atau 9,9% lebih tinggi dibandingkan semester-I 2022.
Namun, kenaikan peso justru memicu banyak masalah, terutama buat mereka yang menggantungkan hidupnya pada remitansi. Dilansir dari CNBC International, melonjaknya peso telah mengikis daya beli rumah tangga di Meksiko yang bergantung pada pengiriman uang dari luar negeri. Kenaikan mata uang ini berarti setiap dolar yang dikirim pulang menghasilkan peso lebih sedikit dibandingkan sebelumnya.
Ditambah dengan inflasi di dalam negeri, daya beli pengiriman uang akan turun tahun ini dibandingkan tahun lalu untuk pertama kalinya dalam satu dekade.
Sementara peso Kolombia tercatat mengalami apresiasi yang signifikan khususnya akibat kenaikan harga minyak dunia. Sebagai informasi, di Kolombia, ekstraksi minyak dan gas mewakili 40% ekspor, 20% pendapatan fiskal, dan 76% dana yang dialokasikan ke pemerintah daerah.
Tidak sampai di situ, suku bunga acuan Kolombia pun cukup tinggi meskipun inflasi telah menurun dengan signifikan dan beruntun. Suku bunga Kolombia pun tercatat jauh lebih tinggi dibandingkan dengan suku bunga AS. Alhasil peso Kolombia mengalami apresiasi yang sangat signifikan.
Sebagai catatan, suku bunga acuan Kolombia sebesar 13,25% dan sudah ditahan selama beberapa bulan berturut-turut. Sementara suku bunga AS saat ini jauh lebih rendah dibandingkan Kolombia yakni sebesar 5,25-5,50%.
Real Brazil juga mengalami apresiasi sekitar 5% (year to date/ytd) tak lepas karena lonjakan surplus neraca perdagangan. Surplus perdagangan Brasil menyentuh US$8,9 miliar pada September 2023 yang menjadi rekor tertingginya dalam sejarah. Surplus ditopang lonjakan ekspor minyak, jagung, baja, hingga kedelai.
Mata uang lainnya yang menguat di tengah ketidakpastian global yakni franc Swiss. Sepanjang tahun ini, franc Swiss terapresiasi sekitar 3,7% karena merupakan safe haven asset dan menjadi pilihan investor.
Ada banyak alasan mengapa franc Swiss menguat. Swiss kuat secara ekonomi dengan surplus transaksi berjalan yang besar, sehingga meningkatkan permintaan franc. Surplus transaksi berjalannya setidaknya mencapai 5% dari produk domestik bruto (PDB) dalam 20 dari 23 tahun terakhir.
Untuk diketahui, pada awal tahun 1920-an, franc dicirikan oleh stabilitas moneter dan politik, sementara di banyak negara lain, pengabaian sistem mata uang berbasis logam secara de facto sering dieksploitasi untuk membiayai negara. Reputasi ini yang diperoleh selama beberapa dekade masih bergema hingga saat ini. Keinginan investor terhadap stabilitas mata uang dinyatakan dalam investasi valuta asing di Swiss National Bank (SNB).
Hal lainnya yang menarik dari franc yakni lokasi bisnis yang jika dapat dipertahankan produktivitasnya dalam kategori yang tinggi, maka status franc sebagai safe haven terus berlanjut, mata uang Swiss mungkin akan tetap menjadi hard currency selama bertahun-tahun mendatang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)