
BI Kagetin Pasar, Suku Bunga Masih BIsa Naik Lagi?

- Bank Indonesia memutuskan untuk menaikkan suku bunga menjadi 6%
- Kenaikan suku bunga BI di luar ekspektasi pasar dan didorong perubahan market global yang sangat cepat
- Suku bunga global saat ini bergerak ke tiga arah yakni mengetatkan, menahan, dan melonggarkan suku bunga
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) secara mengejutkan memutuskan untuk menaikkan suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 6,00% pada Kamis (19/10/2023). Kenaikan yang mengejutkan ini menandai perubahan yang sangat cepat di ekonomi global, termasuk dalam menentukan suku bunga. Beberapa bank sentral juga secara mengejutkan menaikkan suku bunga tetapi banyak pula yang memilih bertahan atau bahkan memangkasnya.
Hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG BI), BI 7 days reverse repo rate (BI7DRR) menetapkan untuk mengerek suku bunga ke level 6%. Suku bunga Deposit Facility juga naik menjadi 5,25%, dan suku bunga Lending Facility menjadi 6,75%. Keputusan ini berbeda dengan mayoritas proyeksi pelaku pasar yang memperkirakan bank sentral RI tersebut masih akan menahan suku bunga acuan di level 5,75%.
Kenaikan kemarin menjadi yang pertama sejak Januari 2023. BI sebelumnya mengerek suku bunga sebesar 225 bps dari 3,50% pada Juli 2022 menjadi 5,75% pada Januari 2023. BI kemudian menahan suku bunga acuan di 5,75% pada Februari-September 2023.
Kenaikan suku bunga ini berbanding terbalik dengan konsensus CNBC Indonesia. Dari 14 institusi yang terlibat dalam pembentukan konsensus, 13 instansi/lembaga memperkirakan BI akan menahan suku bunga di level 5,75%. Suku bunga Deposit Facility kini berada di posisi 5,00%, dan suku bunga Lending Facility sebesar 6,50%.
Satu lembaga memperkirakan kenaikan suku bunga sebesar 25 basis points (bps) menjadi 6,0%.
Gubernur BI Perry Warjiyo menyampaikan kenaikan suku bunga dilakukan untuk memperkuat kebijakan stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak mengingat tingginya ketidakpastian global serta sebagai langkah preemptive dan forward looking untuk mitigasi dampaknya terhadap inflasi barang impor atau imported inflation sehingga inflasi tetap terkendali dalam sasaran 3 plus minus 1% pada 2023 dan 2,5 plus minus 1% pada 2024.
Selain itu, tensi geopolitik yang kian memanas yang datang dari perang Israel dan Palestina membuat harga minyak sulit turun bahkan harga pangan masih tetap tinggi. Apalagi hingga saat ini, perang Rusia dan Ukraina belum juga usai. Hal tersebut membuat inflasi meningkat dan semakin sulit diturunkan sehingga kenaikan suku bunga menjadi solusinya.
Selain itu, kenaikan suku bunga BI ini juga merespon dari potensi hawkish dari bank sentral Amerika Serikat (The Fed) di akhir 2023. Perry mengatakan bahwa ada probabilitas sekitar 40% bahwa The Fed akan menaikkan suku bunganya sebesar 25 bps di Desember 2023. The Fed akan menggelar pertemuan pada awal November mendatang.
Terlebih lagi di negara maju termasuk AS juga mengisyaratkan suku bunga yang akan tetap tinggi dalam jangka waktu yang cukup lama (higher for longer). Oleh karena itu, kenaikan suku bunga BI memberikan angin segar bagi pasar keuangan domestik untuk mencegah derasnya capital outflow termasuk mencegah pelemahan nilai tukar rupiah yang terjadi belakangan ini.
BI Berubah Haluan dengan Cepat, Potensi Naik Masih Ada?
Kenaikan suku bunga kemarin merupakan pembalikan arah yang cukup drastis dari kebijakan BI. Pasalnya, Perry sebelumnya berkali-kali menegaskan tidak akan menggunakan jalan menaikkan suku bunga untuk menjaga rupiah. Stabilitas rupiah akan ditempuh melalui intervensi pasar. Namun, perubahan dunia yang cepat membuat BI berbalik arah.
Perry menjelaskan ekonomi dunia dihadapkan pada situasi yang sulit. Suku bunga acuan global yang tinggi akan diikuti oleh kenaikan yield obligasi pemerintah negara maju imbas tingginya kebutuhan pembiayaan utang dan kenaikan premi risiko jangka panjang (term premia).
Fenomena kebijakan suku bunga acuan global yang tinggi di berbagai bank sentral dunia, khususnya di negara-negara maju saat ini membuat tenor suku bunga imbal hasil surat berharga negaranya antara tenor jangka pendek dan jangka panjang bersaing.
"Kalau kawan-kawan melihat suku bunga yield us treasury, obligasinya Paman Sam (AS) kalau sekarang tinggi sekitar 5,2%, tapi 10 tahun sekitar 4,8%, dan 20 tahun,30 tahun juga naik," kata Perry, dalam konferensi pers, Kamis (19/10/2023).
Perry menegaskan, pada bulan lalu, khususnya pada September 2023, fenomena ini belum muncul. Sebab, saat suku bunga acuan The Fed atau Fed Fund Rate naik dan bertahan di level tinggi, imbal hasil surat berharga negara di berbagai negara untuk tenor jangka panjang belum ikut bergerak naik.
"Sekarang term premia yang naik, sehingga suku bunga jangka panjang juga mulai bergerak naik. Kenapa demikian? karena kebutuhan pembiayaan utang pemerintah dari negara-negara maju," ucap Perry.
Ekonom Bank Danamon Irman Faiz mengatakan keputusan BI menaikkan suku bunga bulan ini mengejutkan. Pasalnya, dia memperkirakan BI baru akan hawkish pada bulan mendatang atau setelah rapat The Fed.
Dia memperkirakan ke depan BI masih ada tendensi untuk kembali menaikkan suku bunganya jika The Fed mengubah terminal ratenya. Dia menambahkan kenaikan suku bunga akan berdampak besar untuk menarik dana asing masuk ke pasar keuangan dalam negeri.
"Jika The Fed tidak mengubah terminal ratenya, maka kenaikan suku bunga BI bulan ini menjadi yang terakhir" ujar Irman, kepada CNBC Indonesia.
Kepala ekonom Bank Mandiri, Andry Asmoro, juga mengakui terkejut dengan langkah BI mengerek suku bunga bulan ini. Namun, dia menjelaskan situasi global saat ini memang dipenuhi ketidakpastian.
Dia menjelaskan volatilitas di pasar keuangan masih akan tinggi ke depan karena besarnya kekhawatiran mengenai perlambatan ekonomi global, suku bunga tnggi, dan tensi geopolitik di Timur Tengah. Dari dalam negeri, inflasi sudah jauh melandai dan ada di sasaran BI di 2-4%.
Menurutnya, suku bunga BI saat ini tidak akan cukup menarik jika situasi global semakin suram dan The Fed mengerek suku bunga.
"Kami melihat fokus BI saat ini adalah nilai tukar. Ke depan, kami memperkirakan suku bunga saat ini tidak cukup menarik dalam mempertahankan daya tarik aset rupiah dan mengundang capital inflow," tutur Andry, dalam catatannya.
Ekonom DBS, Radhika Rao, juga memperkirakan masih ada potensi kenaikan suku bunga acuan BI ke depan jika The Fed mengerek suku bunga. Kenaikan suku bunga juga dibutuhkan untuk menopang kinerja Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) yang mulai defisit pada kuartal II-2023.
"Kenaikan suku bunga saat ini adalah untuk menarik kembali investor. BI melihat ada potensi kenaikan The Fed di Desember yang bisa membuat rupiah kembali tertekan. Dengan latar belakang ini, ada risiko sekali lagi naik suku bunga BI sehingga di akhir tahun menjadi 6,25%," ujar Radhika dalam catatannya DBS Flash Bank Indonesia guns for rupiah stability with a surprise hike
Dia menambahkan BI baru akan menahan suku bunga pada semester I-2024.
Suku Bunga Global Menuju 3 Arah yang Berbeda
Suku bunga global kini bergerak ketiga arah yang berbeda yakni ketat, longgar, dan bertahan. Pergerakan yang berbeda tersebut didasari oleh perkembangan inflasi di masing-masing negara, kebutuhan untuk mendongrak pertumbuhan, serta menjaga stabilitas mata uang.
Beberapa bank sentral memilih bersikap hawkish cenderung ingin menaikkan suku bunganya secara umum karena inflasi masih sangat tinggi.
Secara umum negara-negara yang memiliki tingkat kemakmuran yang tinggi, infrastruktur teknologi yang canggih, serta tingkat keamanan militer yang kuat, atau yang dikenal negara maju relatif memiliki suku bunga yang lebih rendah dibandingkan negara berkembang.
Sementara negara yang masih dalam tahap perkembangan ekonomi dan pembangunan manusia yang belum mencapai target yang diinginkan atau yang disebut negara berkembang memiliki suku bunga yang cukup tinggi/lebih tinggi dibandingkan negara maju karena agar imbal hasilnya cukup menarik bagi investor.
Bank sentral Argentina dan Turki sebagai negara berkembang terlihat masih cukup hawkish. Suku bunga bank sentral Argentina menjadi 133% pada 12 Oktober 2023 atau melesat 9.300 bps dari 40% pada Januari 2022. Sementara bank sentral Turki mengerek suku bunga sebesar 500 bps menjadi 30% pada September 2023. Artinya, suku bunga Turki melonjak 2.150 bps dari 8,5% pada Mei 2023 menjadi 30% pada September tahun ini.
Hal tersebut dilakukan oleh kedua negara tersebut karena inflasi yang masih sangat tinggi dan untuk menjaga kestabilan mata uang masing-masing negara. Argentina dan Turki yang masing-masing mencatat inflasi sebesar 138,3% dan 61,53% pada September 2023.
Bank sentral Rusia bahkan menaikkan suku bunga hingga 100 bps menjadi 13% pada September. Dengan kenaikan tersebut maka suku bunga sudah melonjak 350 bps sejak pertengahan Agustus lalu. Langkah agresif ini diambil karena inflasi melonjak ke 6% (yoy) pada September 2023, dari 2% pada April tahun ini.
Berbeda halnya dengan negara-negara yang memiliki tingkat inflasi yang relatif stabil atau sudah sesuai target bank sentralnya, maka cenderung untuk menahan suku bunganya agar pertumbuhan ekonomi tetap terjaga.
Kebijakan untuk menahan suku bunga juga dilakukan Jepang, Korea Selatan, Malaysia, Thailand, Afrika Selatan, Australia, hingga Arab Saudi. Bank sentral Korea Selatan sudah menahan suku bunga di level 3,5% selama lima pertemuan terakhir sementara suku bunga Australia sebesar 4,1% sudah bertahan dalam empat bulan terakhir.
Bank sentral India sudah mempertahankan suku bunga 6,5% pada empat pertemuan terakhir dan mengisyaratkan akan tetap mempertahankan suku bunga tetap tinggi dan likuiditas yang ketat untuk membawa inflasi mendekati target 4%.
Sementara bank sentral Malaysia (BNM) sudah menahan suku bunga di level 3% dalam dua pertemuan terakhir karena pertumbuhan ekonomi dan inflasi terus menurun.
Jepang menjadi contoh langka karena sudah mempertahankan suku bunga ultra rendah -0,1% sejak 2016 meskipun inflasi Negeri Sakura memanas setahun terakhir. Suku bunga ultra rendah dipertahankan untuk mengerek pertumbuhan Jepang. Terbukti Produk Domestik Bruto (PDB) kuartal-II 2023 tercatat sebesar 4,8% secara tahunan.
Sedangkan beberapa negara lainnya justru menurunkan suku bunganya demi fokus pada pertumbuhan ekonomi. Sebagai contoh China yang Indeks Harga Konsumen (IHK) yang sangat rendah bahkan sempat mengalami deflasi dan pertumbuhan ekonomi yang tidak sesuai target pemerintah sehingga roda perekonomian relatif lambat/lesu. Dengan suku bunga yang rendah, maka diharapkan rakyat mau untuk melakukan konsumsi sehingga perekonomian dapat tumbuh.
Banco Central Do Brasil memangkas suku bunga sebesar 50 bps pada Agustus dan September 2023 sehingga suku bunga kini ada di angka 12,75%.
Inflasi memang naik menjadi 5,19% pada September 2023, dari 4,61% pada Agustus. Namun, angkanya masih di batas target pemerintah yakni 5%. Berbeda dengan negara lain, mata uang real Brasil menguat tajam 4,5% sepanjang tahun ini karena lonjakan surplus neraca perdagangan.
Surplus perdagangan Brasil menyentuh US$ 8,9 miliar pada September 2023 yang menjadi rekor tertingginya dalam sejarah. Surplus ditopang lonjakan ekspor minyak, jagung, baja, hingga kedelai.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)