
Dolar AS Kini Rp15.400, Muncul Suara BI Rate Dipangkas Jadi 6%

Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diselenggarakan pada Selasa dan Rabu pekan ini (20-21 Juli 2024). Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) yang diproyeksikan pasar masih akan ditahan di level saat ini meski sudah mulai ada suara untuk BI memangkas suku bunganya.
BI rate terakhir kali dinaikkan pada April 2024 dan ditahan pada pertemuan Mei hingga Juli di level 6,25%.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 13 lembaga/institusi mayoritas memproyeksikan bahwa BI masih akan menahan suku bunganya di level 6,25%. Sementara terdapat satu institusi yang memperkirakan BI akan menurunkan suku bunganya sebesar 25 (basis poin/bps) kali ini.
Sebelumnya, pada RDG BI Juli lalu, BI mempertahankan suku bunganya di level 6,25% yang secara konsisten sesuai dengan kebijakan moneter yang pro-stability sebagai langkah pre-emptive dan forward looking untuk memastikan tetap terkendalinya inflasi dalam sasaran 2,5±1% pada 2024 dan 2025.
Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan hal tersebut dilakukan untuk memperkuat efektivitas stabilisasi nilai tukar rupiah dan menarik aliran masuk modal asing. Sementara itu, kata dia, kebijakan makroprudensial dan sistem pembayaran tetap pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
"Kebijakan makroprudensial longgar terus ditempuh untuk mendorong kredit atau pembiayaan perbankan kepada dunia usaha dan rumah tangga," kata dia.
Sementara saat ini, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS cenderung jauh mengalami penguatan bahkan pada perdagangan hari ini (20/8/2024), rupiah sempat menyentuh level Rp15.460/US$ atau terendah sejak 29 Desember 2023.
Perjalanan rupiah yang mengalami apresiasi terjadi setelah mencapai puncaknya pada 21 Juni 2024 yang sempat menyentuh level Rp16.400an/US$ dan kemudian menguat hingga pertengahan Juli 2024.
Selang dua minggu setelahnya, rupiah sedikit mengalami depresiasi dan nyaris masuk ke level psikologis Rp16.300/US$.
Pada awal Agustus hingga hari ini, rupiah terlihat sangat perkasa bahkan berada di bawah level Rp15.500/US$.
Hal ini tak lepas dari perekonomian AS yang tampak terus melandai dari sisi inflasi (baik konsumen maupun produsen) hingga data ketenagakerjaan yang terpantau semakin mendingin.
Suara pemangkasan suku bunga oleh bank sentral AS (The Fed) pun semakin santer terdengar baik sebesar 25 hingga 50 bps. Bukan tanpa alasan, mengingat Kondisi perekonomian di AS sudah semakin memburuk.
Menanggapi potensi cut rate yang semakin besar itu, indeks dolar AS (DXY) terpantau anjlok dengan sangat dalam dari yang semula di angka 106 pada akhir Juni 2024 dan saat ini berada di bawah level 102 bahkan tak sampai dua bulan.
Director & Chief Investment Officer Fixed Income Manulife Aset Manajemen Indonesia, Ezra Nazula mengatakan bahwa meningkatnya optimisme pemangkasan suku bunga The Fed yang semakin mendekat, tercermin di pasar US Treasury (UST), dimana imbal hasil UST tenor pendek turun lebih banyak dibanding tenor panjang, dan selisih imbal hasil antara tenor 10Y dan 2Y semakin menipis, berada pada level terendah sejak kenaikan FFR agresif di 2022. Perubahan ekspektasi suku bunga juga terlihat dampaknya pada dolar AS yang mulai melemah terhadap mata uang lainnya.
Rupiah Terus Menguat
Rupiah yang terus mengalami penguatan ini tak lepas dari derasnya dana asing yang masuk ke pasar keuangan domestik, khususnya melalui Surat Berharga Negara (SBN) dan Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI) karena menawarkan imbal hasil yang tinggi bahkan di atas 7%.
Data transaksi yang dirilis BI per 12-15 Agustus 2024 menunjukkan tercatat investor asing beli neto Rp9,67 triliun (beli neto Rp7,36 triliun di pasar SBN, Rp2,18 triliun di pasar saham dan Rp0,13 triliun di SRBI).
Selama tahun 2024, berdasarkan data setelmen sampai dengan 15 Agustus 2024, investor asing tercatat jual neto Rp11,54 triliun di pasar SBN, sedangkan beli neto Rp179,37 triliun di SRBI dan beli neto Rp3,36 triliun di pasar saham.
Sementara berdasarkan data setelmen sampai dengan 15 Agustus 2024 pada semester-II 2024, investor asing tercatat beli neto di SRBI sebesar Rp49,02 triliun, di pasar SBN sebesar Rp22,42 triliun, dan di pasar saham sebesar Rp3,02 triliun.
Menanggapi rupiah yang terus menunjukkan performa yang baik ini, Treasury and Global Market Head Sales Bank Mega, Donny Lukito memproyeksi BI masih akan menahan level BI Rate dalam Rapat Dewan Gubernur BI Agustus 2024.
Sejalan dengan Bank Mega, Department Head of Macroeconomics and Financial Market Research Bank Mandiri, Dian Ayu Yustina juga menilai ruang BI untuk memangkas BI Rate cukup terbuka. Namun dengan mempertimbangkan level inflasi dan nilai tukar rupiah yang masih dalam tekanan maka suku bunga BI diramal masih akan tetap 6,25%.
Level rupiah yang ada saat ini lebih didorong capital inflow yang sangat terpengaruh sentimen pasar, sementara dari sisi fundamental kondisi surplus perdagangan yang terus menyusut harus tetap diwaspadai BI dampaknya ke nilai tukar.
Head of Research Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro menyampaikan jika The Fed dan BI melonggarkan suku bunganya, maka hanya akan memicu tekanan inflasi kembali dan memaksa bank sentral untuk kembali bersikap hawkish.
Satria pun memperkirakan akan terjadi akan terjadi peningkatan volatilitas karena sebagian besar penguatan rupiah baru-baru ini lebih disebabkan oleh aliran dana jangka pendek dan short-covering, bukan karena faktor fundamental. Hal ini tercermin dari ekspor kumulatif dari 10 komoditas utama Indonesia sebenarnya turun 5,8% dibandingkan tahun lalu.
Namun suara pemangkasan suku bunga BI sudah mulai muncul dari United Overseas Bank (UOB) yang memperkirakan menjadi 6% atau turun 25 bps.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)