
Perang Israel Vs Hamas: Ini Bocoran Saham Untung dan Buntung

- Perang antara kelompok Hamas dan pasukan Israel makin memanas potensi memicu masalah rantai pasokan global, yang pada akhirnya dapat mengganggu jalur pengiriman dan dapat menaikkan kembali harga energi.
- Ketika harga energi mengalami kenaikan drastis, maka saham-saham energi terutama di sektor minyak dan gas bumi (migas) serta batu bara akan diuntungkan.
- Sebaliknya, jika perang meluas dan mengganggu jalur pengiriman, sektor berorientasi impor seperti konsumer dan farmasi akan tidak diuntungkan.
Jakarta, CNBC Indonesia - Panasnya konflik antara militan Hamas dari Palestina dengan militer Israel kembali muncul pada Sabtu dini hari pekan lalu, yakni pada pukul 06:30 WIB. Faksi Palestina tersebut memulai serangan multi-cabang dengan ribuan roket yang ditujukan hingga Tel Aviv dan Yerusalem, beberapa diantaranya melewati sistem pertahanan Iron Dome dan menghantam bangunan.
Konflik keduanya pun masih berlangsung hingga hari ini dan belum ada tanda-tanda mereda. Konflik ini menambah daftar konflik yang berkepanjangan di kedua negara tersebut dan tentunya di kawasan Timur Tengah.
Konflik Israel-Hamas pun membuat ketidakpastian di global kembali meningkat. Padahal saat ini, pasar sedang dilanda ketidakpastian akibat era suku bunga tinggi, inflasi yang masih membandel di beberapa negara, dan belum berakhirnya perang Rusia-Ukraina berserta dampak-dampaknya.
Timur Tengah memang memiliki sejarah panjang konflik dan ketegangan, yang seringkali memberikan dampak pada pasar global.
Namun, penting untuk dicatat bahwa peristiwa geopolitik terbaru, seperti perang Rusia ke Ukraina sebelumnya, telah menunjukkan bahwa pasar keuangan dapat tetap kokoh meskipun adanya gangguan global yang signifikan. Ketahanan ini sebagian disebabkan oleh fakta bahwa para investor lebih memprioritaskan faktor lainnya, seperti laju pemulihan ekonomi dari pandemi Covid-19, kebijakan moneter bank sentral negara utama, daripada konflik geopolitik.
Seperti sedikit disinggung di atas, salah satu faktor kunci yang perlu dipertimbangkan adalah dampak ekonomi dari konflik Israel-Hamas terhadap saham sektor minyak dan gas bumi (migas) di Indonesia.
Seperti yang terlihat pada Senin awal pekan ini dan Selasa lalu, harga minyak telah bereaksi terhadap konflik. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) dan harga minyak mentah Brent mengalami kenaikan yang signifikan.
Pada perdagangan Senin lalu misalnya, minyak WTI ditutup melesat 4,34% ke posisi US$ 86,38 per barel, begitu juga dengan harga minyak Brent ditutup melejit 4,22% ke posisi US$ 88,15 per barel.
Meski begitu, penguatan harga minyak tak berlangsung lama. Mulai perdagangan Rabu pekan ini, penguatannya cenderung terpangkas bahkan mulai melemah. Pada Rabu lalu, Brent dan WTI masing-masing terkoreksi 2% lebih.
Walaupun kemudian minyak mentah melorot, kenaikan harga si emas hitam di awal pekan telah dan dapat mempengaruhi sektor migas Indonesia, meskipun secara tidak langsung, karena hal tersebut berhubungan langsung dengan pasar minyak global.
Selain harga minyak mentah, harga batu bara juga mendapat dorongan dari sentimen konflik Israel-Hamas. Meski komoditas ini tidak memiliki hubungan langsung terhadap konflik kedua negara tersebut, tetapi karena harga minyak yang sempat melonjak, membuat batu bara juga banyak diburu.
Berdasarkan data dari Refinitiv pada pekan ini, harga batu bara Newcastle untuk kontrak November 2023 melonjak 6,46% ke posisi US$ 150,75 per ton per akhir perdagangan September 2023, dari sebelumnya pada akhir pekan lalu di US$ 141,6 per ton.
Kenaikan harga batu bara disebabkan oleh naiknya harga gas alam akibat ketegangan geopolitik. Apalagi, adanya kabar bahwa Israel telah memotong ekspor gas ke Mesir tentu menjadi salah satu pendorong naiknya harga gas.
Harga batu bara sangat dipengaruhi oleh pergerakan harga gas alam sejak Perang Rusia-Ukraina meletus Februari lalu.
Dengan melesatnya harga batu bara, tentunya saham-saham batu bara di Indonesia pun ikut terdongkrak, meski di penghujung akhir pekan ini juga terpantau terkoreksi seperti halnya di saham-saham migas RI.
Beberapa perusahaan energi Tanah Air, baik sektor migas maupun batu bara yang potensi mendapat keuntungan dari kondisi saat ini antara lain yakni PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS), dan PT AKR Corporindo Tbk (AKRA).
Untuk MEDC dan PGAS potensi diuntungkan dari kenaikan harga komoditas dan gas, sementara AKRA akan lebih diuntungkan dari peningkatan demand sejalan dengan bisnisnya sebagai distributor minyak bumi.
Emiten lain yang juga akan diuntungkan adalah yang terkait energi ramah lingkungan, seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN), dll. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa kenaikan sahamnya sudah terlalu masif selama beberapa bulan ini sehingga perlu diantisipasi adanya risiko sudah mulai rawan koreksi.
Selain itu di saham batubara, ada seperti PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG), PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), PT Harum Energy Tbk (HRUM), dll potensi kembali diuntungkan karena permintaan masih akan meningkat walau harga batubara tak se-atraktif tahun lalu.
Saham 'Buntung' Saat Perang Terjadi
Meski begitu, jika perang di Timur Tengah meluas, maka tentunya juga akan berdampak kepada perekonomian dan sosial, terutama di Timur Tengah yang lebih dahulu akan terkena dampaknya, kemudian negara-negara lain yang bermitra dengan Timur Tengah.
Dalam sejarah sebelum era modern setelah pandemi Covid-19, perang memang membuat sengsara banyak orang. Mulai dari melonjaknya harga pangan karena adanya embargo-embargo, harga energi yang membuat harga bahan bakar juga melonjak, dan angka kematian akibat perang yang cukup besar.
Saat perang terjadi bahkan diprediksi meluas, maka akan cenderung berimbas negatif ke pasar saham. Memang dengan adanya konflik di Timur Tengah, ini menjadi sentimen positif bagi saham-saham energi, tetapi hal tersebut hanya bersifat sementara dan investor cenderung bermain aman dengan memburu aset safe haven.
Ketika investor cenderung bermain aman, maka beberapa saham akan dihindari dan hal tersebut akan membuat saham tersebut terkoreksi parah serta akan mempengaruhi kinerjanya.
Secara sektoral, sektor yang berorientasi impor akan mengalami dampak yang lebih besar jika perang meluas. Hal ini karena ketika adanya perang, maka jalur pengiriman cenderung akan terganggu.
Apalagi, jalur pengiriman tersebut melewati kawasan konflik, sehingga mau tidak mau harus memutar melewati daerah yang tidak terjadi konflik. Ketika hal ini terjadi, maka biaya pengiriman akan membengkak karena beberapa barang ekspor-impor tidak cukup lama bertahan seperti barang pangan.
Ketika sektor berorientasi impor terganggu akibat perang, maka saham-saham yang akan terdampak pada hal ini tentunya seperti saham farmasi yang sebagian besar bahan bakunya masih impor.
Mayoritas saham sektor farmasi kurang bergairah dan kurang likuid, oleh sebab itu mesti cermat dalam memilih saham-saham farmasi. Adapun untuk contoh saham farmasi yakni mulai dari PT Kalbe Farma Tbk (KLBF), PT Kimia Farma Tbk (KAEF), PT Tempo Scan Pacific Tbk (TSPC), dan lain-lainya.
Selain saham farmasi, saham konsumer non-primer, terutama di barang makanan dan minuman juga berpotensi terdampak dari masalah impor. Hal ini karena beberapa saham konsumer juga menggunakan bahan baku impor sehingga jika rantai impor terganggu juga akan mempengaruhi kinerjanya.
Adapun untuk saham konsumer yang produknya masih bergantung impor yakni Grup Indofood seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF) dan PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP).
Untuk ICBP sendiri, karena bahan baku gandum untuk produksi Indomie masih impor, maka jika perang meluas dan membuat harga gandum kembali naik, maka potensi dampaknya pun cukup besar mulai dari naiknya harga Indomie hingga hal-hal lainnya.
Kemudian, saham yang bergerak pada sektor bahan baku produsen besi dan baja juga akan terancam karena bahan baku dari produk mineral tersebut juga tidak semuanya ada di Indonesia, alias tetap harus impor.
Selain saham-saham yang berhubungan dengan impor, ada saham lainnya yang berpotensi terdampak dari meluasnya perang, meski dampaknya tidak langsung, yakni saham teknologi.
Saham teknologi juga rentan dengan adanya krisis termasuk akibat dari meluasnya perang. Hal ini karena ketika perang meluas hingga terindikasi menyebabkan krisis, maka investor cenderung bermain aman dan menghindari saham-saham teknologi yang terkenal akan tingginya volatilitas.
Meski di pandemi Covid-19 saham teknologi justru unjuk gigi, tetapi nyatanya setelahnya malah kinerjanya mulai melambat.
Di tahun 2022 saja, saat invasi Rusia ke Ukraina dimulai, startup mengalami tahun yang suram nyaris di seluruh metrik, mulai dari investasi yang anjlok hingga banyaknya perusahaan yang gagal melakukan pencatatan publik.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(chd/chd)