Harga Batu Bara Terbang 7%: Tak Cuma Perang, Ini Pemicunya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara terus menguat tiga hari beruntun, bersiap untuk kembali menembus level psikologis US$ 150 per ton pasca terkoreksi 7 hari beruntun.
Kenaikan ini tidak hanya diakibatkan kenaikan harga energi pasca meletusnya perang Israel Vs Hamas, tetapi juga terdampak masalah pasokan yang terbatas di tengah kemungkinan lonjakan permintaan berbagai negara di dunia.
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle kontrak November ditutup di posisi US$ 148,35 per ton atau naik 1,71% pada perdagangan Selasa (10/10/2023).
Penguatan kemarin memperpanjang tren positif harga batu bara yang sudah menguat sejak Jumat pekan lalu. Dalam tiga hari terakhir, harga batu bara sudah terbang 6,8% atau hampir 7%.
Sentimen kenaikan harga batu bara tidak hanya disebabkan oleh perang Israel-Hamas. Eropa yang bersiap menghadapi musim dingin dan penggunaan pembangkit listrik yang mulai meningkat menjadikan adanya peningkatan impor yang mendorong harga.
Tidak hanya itu, Eropa yang telah menaikkan tingkat produksi periode September belum mampu memenuhi pasokan. Melansir Power-Technology, produksi listrik tenaga batu bara di Eropa tumbuh sekitar 9% pada bulan September, yang berarti total pembangkitan batu bara mencapai 23,6 terawatt-hour (TWh), naik dari 21,6TWh pada Agustus.
DBX, penyedia data batu bara menyatakan peningkatan penggunaan listrik Eropa lebih tinggi dibanding penurunan impornya.
Eropa sedang berupaya untuk menghentikan pembangkit listrik tenaga batu bara secara bertahap karena berupaya memenuhi target iklimnya. Namun, harga gas yang tinggi telah mendorong perluasan pembangkitan batubara untuk menjamin keamanan pasokan.
Beralih ke sentimen terpanas pekan ini, perang antara Israel dan Hamas. Konflik yang terjadi di di Timur Tengah ini akan mengganggu pasokan energi global mengingat kawasan ini merupakan salah satu pusat minyak dan gas (migas) dunia.
Kekacauan ini memungkinkan terjadinya berkurangnya pasokan migas dan adanya tensi antar negara pendukungnya. Israel memiliki hubungan yang erat dengan AS yang merupakan produsen terbesar minyak dan gas global. Sedangkan, Hamas mendapat dukungan dari Iran yang juga memiliki peran penting terhadap pasokan energi global.
Beralih ke Australia, pekerja di dua fasilitas gas alam cair (LNG) milik Chevron memutuskan untuk kembali melakukan pemogokan pada hari Jumat. Ini karena serikat pekerja merasa bahwa perusahaan minyak AS tersebut tidak memenuhi kesepakatan untuk mengakhiri mogok.
Menurut laporan Reuters, pekerja malam di fasilitas Gorgon dan Wheatstone milik Chevron memilih untuk memulai kembali mogok dalam pertemuan sore hari, seperti yang diungkapkan oleh Offshore Alliance, koalisi dua serikat pekerja, dalam sebuah pernyataan.
Keputusan ini mengikuti langkah serupa yang diambil oleh rekan-rekan mereka dalam pertemuan kurang dari 24 jam sebelumnya, dengan sebagian besar pekerja di fasilitas tersebut memilih untuk melakukan mogok.
Ancaman terhadap pasokan gas berpotensi meningkatkan harga komoditas penggantinya, yakni batu bara. Gangguan dalam pasokan gas dapat mendorong pembangkit untuk beralih ke sumber energi yang lebih murah, sehingga meningkatkan harga batu bara.
Kondisi ini mungkin memicu aksi beli panik untuk memastikan pasokan energi di berbagai negara. Di sisi lain, harga batu bara juga telah mengalami fase jenuh jual pekan lalu, yang bisa mendorong kenaikan harga.
Ada potensi peningkatan permintaan batu bara di Jerman karena pemerintahnya memberikan izin untuk menghidupkan kembali beberapa unit pembangkit listrik tenaga batu bara sebagai upaya menghindari kekurangan listrik di musim dingin ini, terutama dengan menurunnya impor gas alam dari Rusia.
Sementara itu, di Asia sebagai pusat batu bara global, S&P Global Commodity Insight melaporkan bahwa permintaan untuk batubara termal kemungkinan akan tetap stabil karena persediaan di Tiongkok meningkat untuk musim dingin setelah liburan Golden Week.
Permintaan yang kuat dari India diantisipasi menjelang festival mendatang, yang dapat mendorong permintaan untuk batu bara Indonesia yang sesuai dengan kualifikasi yang dibutuhkan oleh India.
Pada 12-14 Oktober, serikat pekerja melakukan pemogokan yang mungkin mempengaruhi produksi batubara Coal India Ltd dan berpotensi meningkatkan impor.
Di Indonesia, kekhawatiran terkait sisi penawaran masih ada karena beberapa perusahaan pertambangan menunggu persetujuan pemerintah untuk merevisi kuota produksi tahun ini. Meskipun begitu, Indonesia mencatatkan kenaikan ekspor sebesar 6% secara bulanan menjadi 28,86 juta ton pada bulan September. Diperkirakan harga batu bara termal Indonesia akan naik dalam waktu dekat karena Tiongkok akan memulai pembelian setelah liburan panjang.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)