CNBC Indonesia Research

Perang Israel-Hamas: Akankah Krisis Minyak 1973 Terulang?

Riset, CNBC Indonesia
10 October 2023 06:40
INFOGRAFIS, Cadangan Migas Indonesia Menipis Dari Tahun Ke Tahun
Foto: Infografis/Cadangan Migas Indonesia/Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga minyak mentah dunia kembali mendidih akibat perang Israel vs Hamas. Perang dikhawatirkan menjerumuskan dunia ke dalam krisis akibat lonjakan harga minyak seperti pernah yang terjadi pada 1973. 

Pada Senin (9/10/2023), harga minyak mentah WTI dibuka melejit 2,97% di posisi US$85,25 per barel, sedangkan minyak mentah brent dibuka melesat 2,21% ke posisi US$86,45 per barel.

Harga minyak brent ditutup di posisi US$ 88,2 per barel atau terbang 4,28% sementara harga minyak WTI terbang 4,35% ke posisi US$ 86,38 per barel.

Konflik militer di Timur Tengah mengerek harga minyak dan imbal hasil obligasi pemerintah Amerika Serikat (AS) alias US Treasury. Israel menggempur daerah kantong Palestina di Gaza pada Minggu (8/10), menewaskan ratusan orang sebagai pembalasan atas salah satu serangan paling berdarah dalam sejarahnya ketika kelompok Islam Hamas membunuh 700 warga Israel dan menculik puluhan lainnya.

Amukan pejuang Hamas Palestina di kota-kota Israel pada Sabtu (7/10) adalah serangan paling mematikan sejak serangan Mesir dan Suriah dalam perang Yom Kippur 50 tahun lalu dan mengancam akan memicu konflik lain dalam konflik yang telah berlangsung lama.

Sementara laporan ketenagakerjaan AS yang meningkat pada bulan September meningkatkan pertaruhan angka inflasi pada akhir minggu ini.

Liburan di Jepang memberikan kondisi yang tipis namun tawaran awal adalah untuk obligasi dan safe haven yen Jepang dan emas, dengan euro sebagai pihak yang mengalami penurunan terbesar.

"Risikonya adalah harga minyak yang lebih tinggi, kemerosotan ekuitas, dan lonjakan volatilitas yang mendukung dolar dan yen, serta melemahkan mata uang yang berisiko," menurut analis di CBA dalam sebuah catatan, dikutip dari Reuters.

Secara khusus, ada kemungkinan pasokan dari Iran akan terganggu.

"Mengingat ketatnya pasar minyak fisik pada kuartal keempat tahun 2023, pengurangan langsung ekspor minyak Iran berisiko mendorong kontrak berjangka Brent di atas US$100/bbl dalam jangka pendek."

Kuatnya laporan ketenagakerjaan AS telah memenuhi ekspektasi bahwa suku bunga akan tetap tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama, dengan ujian besar lainnya akan datang dari data harga konsumen bulan September.

Perkiraan median adalah kenaikan sebesar 0,3% pada data utama dan inti, yang akan menyebabkan laju inflasi tahunan sedikit melambat.

Risalah pertemuan terakhir The Federal Reserve (The Fed) akan dirilis minggu ini dan akan membantu mengukur seberapa serius anggotanya dalam mempertahankan suku bunga, atau bahkan menaikkan suku bunga lagi.

Pasar tampaknya berpikir perkembangan di Timur Tengah akan bergantung pada kenaikan suku bunga The Fed lebih lanjut, dan mungkin akan mempercepat pelonggaran kebijakan tahun depan.

Sejarah yang Berima?

Di kalangan pelaku pasar, seringkali muncul ungkapan, yang dikutip dari salah satu penulis beken dunia, sejarah tidak berulang, tetapi kadangkala berima.

Pelaku pasar langsung melihat adanya kesejajaran antara krisis minyak Oktober 1973 dan kejadian Oktober 2023.

Belum lagi, seperti disebut kolumnis Javier Blas di Bloomberg News, Sabtu (7/10), ini beriringan dengan peringatan 50 tahun krisis minyak dunia pertama pada 1973.

Walaupun mungkin, kemiripan tersebut hanya sebatas serangan tiba-tiba Israel yang diiringi kenaikan harga minyak mentah.

Menurut Javier, tidak seperti 1973, perekonomian global tidak akan terkena dampak embargo minyak Arab lagi yang akan membuat harga satu barel minyak mentah naik tiga kali lipat.

Namun, menyitir Javier, kita tidak bisa meremehkan kemungkinan dunia menghadapi harga minyak yang lebih tinggi untuk jangka waktu yang lebih lama.

Pada 1973, produsen minyak Timur Tengah (OPEC) mengembargo pasokan dari AS dan negara-negara Barat lainnya setelah mereka membantu Israel selama perang Arab-Israel tahun itu. Setahun kemudian, OPEC mengangkat embargo tersebut. Tapi, karena harga minyak telanjur terbang, kemudian membuat inflasi melambung tinggi.

Kala itu, persediaan minyak langsung berkurang, dan orang di AS bahkan mengantri di pompa bensin untuk membeli bensin.

Sebelum embargo, harga satu barel minyak diperdagangkan sekitar US$2,90, sebelum akhirnya naik empat kali lipat menjadi US$11,65 per barel pada Januari 1974. Hal ini menyebabkan kenaikan harga bensin reguler di AS dari rata-rata 39 sen per galon sebelum krisis menjadi 53 sen pada 1974, meningkat sekitar 36% dalam waktu kurang dari setahun.

Situasinya berubah-ubah, tergantung pada respons Israel terhadap serangan Hamas dan Iran. Namun, ada beberapa kesimpulan awal yang ditarik oleh Javier Blas.

Pertama, Krisis ini berbeda dari 1973. Negara-negara Arab tidak bersatu menyerang Israel, hanya menyaksikan.

Kedua, pasar minyak saat ini berbeda; permintaan lebih moderat, dan Saudi dan Uni Emirat Arab memiliki kapasitas cadangan.

Ketiga, OPEC tidak ingin harga minyak melonjak drastis, mereka puas dengan kenaikan moderat.

Keempat, respons Israel atau keterlibatan Iran bisa dorong harga minyak naik.

Kelima, kemungkinan pengurangan ekspor minyak Iran karena sanksi AS bisa mengerek harga.

Keenam, Rusia dan Venezuela bisa mendapat manfaat dari situasi ini.

Ketujuh, kesepakatan diplomatik Saudi-Israel tertunda, dan rekonsiliasi Saudi-Iran terhambat.

Kedelapan, AS memiliki Cadangan Minyak Strategis (Strategic Petroleum Reserve/SPR) untuk meredakan lonjakan harga minyak.

Dampak perang terhadap harga minyak pernah diwanti-wanti Bank Dunia dalam laporannya Global Economic Prospects edisi Juni.  Pada tahun 1973, inflasi global meroket hingga 10,3% karena lonjakan harga minyak. Inflasi Indonesia pada tahun tersebut bahkan menembus 23,30%.

Harga minyak mentah melonjak empat kali lipat menyusul embargo negara eksportir minyak mentah dunia OPEC pada Oktober 1972. Embargo dilancarkan sebagai bentuk protes atas bantuan senjata yang diberikan Negara Barat kepada Israel dalam perang Israel-Suriah-Mesir.

Embargo berakhir pada Maret 1974 tetapi kenaikan hara minyak sudah terlanjur ditransmiksikan kepada harga produk lainnya yang membuat inflasi menjulang.

"Gangguan rantai pasokan global melambungkan inflasi pada periode 1970an. Pada periode 1970an, terjadi dua guncangan pada harga minyak yang melemahkan pertumbuhan global," tulis Bank Dunia.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(trp/trp)
Tags


Related Articles

Most Popular
Recommendation