Wall Street Merana, Akankah September Menjadi Bulan Terburuk?

mza, CNBC Indonesia
28 September 2023 21:14
Ilustrasi Wall Street. (AP/J. David Ake)
Foto: (AP/J. David Ake)

Jakarta, CNBC Indonesia - Bursa Amerika Serikat (AS) Wall Street dibuka kompak di zona merah pada perdagangan Kamis (28/9/2023), seiring sentimen era suku bunga tinggi yang masih akan terus dipertahankan.

Dow Jones dibuka terkoreksi 0,05% di posisi 33.519,44, sementara S&P 500 melemah 0,11% di posisi 4.269,81, begitu juga dengan Nasdaq turun 0,44% diposisi 13.037,40.

Imbal hasil obligasi pemerintah AS bertenor 10 tahun yang menjadi acuan mencapai level tertinggi baru dalam 15 tahun pada awal perdagangan Kamis karena data yang dirilis pada hari ini menunjukkan pasar tenaga kerja masih ketat dengan klaim pengangguran yang lebih kecil dari perkiraan.

Pasar saham telah mengambil isyarat dari pasar obligasi akhir-akhir ini dengan lonjakan suku bunga yang meningkatkan kekhawatiran terhadap resesi dan mengirim ekuitas ke posisi terendah baru. S&P 500 mencapai level terendah sejak Juni pada minggu ini karena imbal hasil 10-tahun mencapai level tertinggi sejak 2007.

Saham Micron Technology turun lebih dari 4% setelah perkiraan pendapatan yang lemah untuk kuartal ketiga. Saham-saham perusahaan teknologi besar seperti Microsoft, Apple dan Amazon juga turut terkoreksi.

Perdagangan besok akan menandai akhir dari bulan dan kuartal perdagangan yang kelam. Pada penutupan hari Rabu, kinerja Dow Jones turun 3,4% pada bulan ini. S&P 500 diperkirakan menurun 5,2% bulan ini. Nasdaq menjadi yang terburuk bulan ini dengan kerugian masing-masing 6,7%.

Investor akan mengalihkan perhatian mereka pada pembacaan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi terbaru yang akan dirilis pada hari Jumat. Pembacaan PCE adalah indikator inflasi Federal Reserve.

Data Trading Economics menunjukkan inflasi AS berada di 3,7% pada Agustus dan 3,2% pada Juli. Kenaikan harga dalam dua bulan terakhir ini masih jauh dari target dari The Fed yang mengharapkan inflasi berada di 2%.

Salah satu faktor inflasi AS masih tinggi diakibatkan harga minyak telah meningkat dalam dua bulan terakhir, ditambah dengan efek dasar dari tahun lalu, yang mendorong inflasi lebih tinggi.

Data inflasi AS sebagai indikator utama kebijakan suku bunga menunjukkan belum adanya perbaikan. Hal ini menjadikan potensi The Fed masih akan agresif dengan suku bunganya ke depan.

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation