
Dividen Bank akan Dibatasi, Investor Untung Atau Buntung?

Jakarta, CNBC Indonesia - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru saja menerbitkan ketentuan pengaturan pembagian dividen perbankan. Hal ini telah memicu diskusi pro dan kontra di kalangan investor serta memunculkan pertanyaan tentang dampak aturan tersebut terhadap pemegang saham perbankan RI.
Ketentuan itu diatur pada Pasal 108 dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 17 Tahun 2023 tentang Penerapan Tata Kelola bagi Bank Umum (POJK Tata Kelola), yang baru diterbitkan pada Selasa (19/9/2023). Aturan ini berlaku pada tanggal diundangkan atau 14 September 2023.
Mengutip salinan peraturan tersebut, disebutkan bahwa bank wajib memiliki kebijakan dividen dan mengkomunikasikan kebijakan dividen kepada pemegang saham.
Kebijakan yang dimaksud itu paling sedikit memuat, pertimbangan Bank dalam pembagian dividen, besaran dividen yang diberikan, mekanisme persetujuan usulan pembagian dividen, dan periode pengkinian kebijakan dividen.
Selain itu, bank juga wajib mengkomunikasikan usulan rapat umum pemegang saham (RUPS) terkait penundaan pembayaran dividen, menghentikan pembayaran dividen yang telah disetujui, menghentikan pembayaran dividen yang diangsur atau menghentikan pembayaran dividen secara bertahap, dan/atau menarik kembali pembayaran dividen kepada pemegang saham pengendali, dalam hal bank mengalami permasalahan kondisi keuangan.
OJK menetapkan, rencana pembagian dividen harus mengutamakan kepentingan bank dan dicantumkan dalam rencana bisnis bank (RBB). Dalam penetapan pembagian dividen, OJK mewajibkan bank untuk mempertimbangkan aspek eksternal dan internal. Perhitungan dividen wajib didasarkan atas kinerja profitabilitas yang dihasilkan bank dengan wajar.
Lebih lanjut, POJK ini menetapkan bahwa OJK berwenang untuk menginstruksikan dan/atau memerintahkan bank untuk menunda, membatasi, dan/atau melarang pembagian dividen bank. Otoritas juga dapat memerintahkan bank untuk menyelenggarakan RUPS pembatalan terkait pembagian dividen bank.
Dijelaskan bahwa kewenangan OJK tersebut dilakukan dengan mempertimbangkan aspek eksternal dan internal dan/atau kondisi bank dalam upaya penguatan permodalan dan/atau penanganan permasalahan bank.
Lantas, bagaimana dampaknya terhadap investor?
Pro-Kontra
Sisi positif dari aturan ini adalah bahwa beleid tersebut dapat membantu memitigasi risiko terkait pembagian dividen yang berlebihan.
Aturan ini dapat mencegah bank-bank ini dari membagikan dividen yang terlalu besar, yang pada gilirannya dapat membantu menjaga dan bahkan memperkuat kestabilan permodalan bank. Ingat, permodalan yang solid bersifat sangat krusial bagi perbankan.
Dalam situasi keuangan yang tidak pasti, permodalan yang kuat dapat membantu mencegah potensi kebangkrutan atau masalah serius dalam sistem perbankan.
Bagi investor jangka panjang, aturan ini dapat dianggap sebagai perlindungan terhadap investasi mereka. Dengan memastikan bahwa bank-bank memiliki modal yang cukup untuk menghadapi risiko ekonomi yang tidak terduga, aturan ini dapat membantu menjaga nilai investasi saham perbankan.
Aturan ini mendorong bank-bank untuk membuat keputusan dividen yang lebih bijak. Mereka harus mempertimbangkan kinerja profitabilitas mereka secara cermat sebelum membagikan dividen. Ini berarti, dividen yang dibagikan lebih mungkin didasarkan pada kinerja yang kuat.
Namun, ada beberapa kontra terhadap aturan ini.
Salah satu konsekuensi langsung dari aturan ini adalah bahwa investor yang mengandalkan dividen dari saham perbankan sebagai sumber pendapatan berpotensi menerima pembayaran yang lebih rendah. Hal ini dapat merugikan investor, terutama mereka yang bergantung pada pendapatan pasif.
Maklum, dividen sering kali menjadi sumber pendapatan tetap bagi investor, terutama mereka yang mengandalkan investasi jangka panjang.
Selain itu, investor yang mencari investasi yang memberikan imbal hasil yang lebih tinggi mungkin beralih ke instrumen investasi lain di luar sektor perbankan. Hal ini dapat mengurangi minat investor pada saham perbankan dan dalam kasus ekstrem bisa mempengaruhi likuiditas pasar.
Walaupun memang, angka dividen yang dibagikan emiten perbankan, terutama bank besar, sudah cukup besar saat ini dan sejauh ini perbankan RI masih memiliki permodalan yang di tengah angka rasio pembayaran dividen (dividend payout ratio/DPR) yang terbilang besar.
Singkatnya, perlu diingat, aturan ini bertujuan untuk menjaga kestabilan sektor perbankan, yang pada gilirannya dapat menguntungkan seluruh pasar saham. Sebuah sektor perbankan yang stabil dapat membantu menjaga kepercayaan investor dan mencegah krisis keuangan yang lebih besar.
Oleh karena itu, aturan ini dapat dianggap sebagai langkah preventif yang penting untuk menjaga stabilitas sektor perbankan dan juga ekonomi secara keseluruhan.
Berkaitan dengan itu, penting bagi investor untuk mempertimbangkan secara cermat implikasi aturan ini dan mengadopsi strategi investasi yang sesuai dengan tujuan dan toleransi risiko mereka.
Rasio Dividen Bank
Menurut penelusuran CNBC Indonesia Research, sejumlah emiten bank, terutama empat bank terbesar, memang cenderung meningkatkan rasio pembayaran dividen setidaknya selama 5 tahun terakhir.
Emiten bank Grup Djarum PT Bank Central Asia Tbk (BBCA), misalnya, meningkatkan DPR dari 32% untuk tahun buku 2018, ke 48% untuk 2019 dan 2018, hingga sempat 57% untuk tahun buku 2021.
Terakhir, BBCA mematok DPR sebesar 51% dari total laba tahun buku 2022. Total dividen per saham (DPS) teranyar yang dibagikan BBCA mencapai Rp205/saham.
Kemudian, emiten bank BUMN PT Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk (BBRI) yang memiliki DPR tertinggi dibandingkan 3 bank kakap lainnya. Pada tahun buku 2018, BRI memiliki DPR 50%. Jumlah tersebut naik sekitar 35% sejak tahun buku 2021 menjadi 85%.
Pada tahun buku 2022, BBRI kembali mempertahankan rasio pembayaran dividen sebesar 85% dari laba bersih perusahaan. Apalagi, BRI menjadi bank dengan perolehan laba bersih terbesar seantero Tanah Air dengan nilai Rp51,17 triliun selama 2022.
Angka tersebut melesat 64,71% secara tahunan (YoY) dibandingkan pada 2021 yang sebesar Rp31,06 triliun. Torehan ini menjadikan BRI mencatatkan rekor perolehan laba tertinggi dalam sejarah perbankan Indonesia.
Hal yang mirip juga terjadi di bank pelat merah lainnya, PT Bank Negara Indonesia (Persero) Tbk (BBNI) yang sejak tahun buku 2018-2021 konsisten membagikan dividen dengan angka DPR 25%, kemudian meningkatkan rasio pembayaran menjadi 40% seiring kenaikan laba yang signifikan.
BNI membukukan laba bersih sebesar Rp 18,3 triliun sepanjang 2022. Angka ini naik 68% dibandingkan laba bersih tahun 2021.
Sementara, dibandingkan tiga bank lainnya, bank BUMN PT Bank Mandiri (Persero) Tbk (BMRI) cenderung konsisten dalam hal rasio pembayaran dividen. Usai mencatatkan DPR 45% untuk tahun buku 2018, sejak 2019 hingga 2022 Bank Mandiri mematok DPR di angka 60%.
Apabila ditilik secara imbal hasil dividen atau dividend yield, dalam 5 tahun terakhir, BMRI dan BBRI memiliki yield yang terbesar, yakni masing-masing 4,15% dan 3,51%. Sedangkan, BBNI memiliki dividend yield 2,58% dan BBCA sebesar 1,88%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(trp/trp)