Newsletter

Huru-Hara di Amerika Bikin Investor Pening, RI Ikut Deg-Degan

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
Selasa, 19/09/2023 06:00 WIB
Foto: Infografis/Testimoni bos the fed lambungkan bursa wall street/Aristra Rahadian Krisabella
  • Pasar keuangan Tanah Air merana kemarin, karena investor cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara, terutama The Fed.
  • Wall Street ditutup cenderung mendatar, juga karena investor menanti sikap The Fed pada pekan ini.
  • Pasar global akan memantau ketat sikap beberapa bank sentral yang akan mengumumkan suku bunga acuannya pada pekan ini.

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Tanah Air pada perdagangan Senin (18/9/2023) awal pekan terpantau merana, karena investor cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara.

Menurut data dari Bursa Efek Indonesia (BEI), IHSG pada perdagangan kemarin ditutup 0,67% ke posisi 6.936,08. IHSG pun belum berhasil mencetak level psikologis 7.000 hingga kemarin.

Nilai transaksi indeks pada perdagangan kemarin mencapai sekitar Rp 11 triliun, dengan melibatkan 21 miliaran saham yang berpindah tangan sebanyak 1,3 juta kali. Sebanyak 184 saham menguat, 350 saham melemah, dan 217 saham lainnya stagnan.

Investor asing kembali mencatatkan aksi jual bersih (net sell) mencapai Rp 1,35 triliun di seluruh pasar pada perdagangan kemarin. Namun di pasar reguler, asing mencatatkan beli bersih (net buy) sebesar Rp 358,57 miliar.

Sedangkan di bursa Asia-Pasifik, pada kemarin secara mayoritas juga melemah. Hanya Shanghai Composite China yang berhasil menguat kemarin.

Berikut pergerakan IHSG dan bursa Asia-Pasifik pada perdagangan Senin kemarin.

Sedangkan untuk mata uang rupiah pada perdagangan kemarin lagi-lagi ditutup terkoreksi di hadapan dolar Amerika Serikat (AS). Berdasarkan data Refinitiv, rupiah mengakhiri perdagangan kemarin di posisi Rp 15,365/US$, turun 0,1% di pasar spot.

Namun, rupiah tidak sendirian. Mayoritas mata uang Asia juga terpantau kembali terkoreksi di hadapan The Greenback kemarin. Kecuali dolar Hong Kong, yen Jepang, won Korea Selatan, dan peso Filipina yang mamu melawan The Greenback. Berikut pergerakan rupiah dan mata uang Asia pada perdagangan Senin kemarin.

Sementara di pasar surat berharga negara (SBN), pada perdagangan kemarin harganya melemah, terlihat dari imbal hasil (yield) yang kembali naik.

Melansir data dari Refinitiv, imbal hasil (yield) SBN tenor 10 tahun yang merupakan SBN acuan negara terpantau naik 0,3 basis poin (bp) menjadi 6,733%.

Yield berlawanan arah dari harga, sehingga naiknya yield menunjukkan harga obligasi yang sedang melemah, demikian juga sebaliknya. Satuan penghitungan basis poin setara dengan 1/100 dari 1%. Ketika yield naik, maka tandanya investor sedang melepas SBN.

Investor cenderung cenderung wait and see menanti keputusan suku bunga acuan dari bank sentral di beberapa negara.

Adapun bank sentral utama yang akan mengumumkan kebijakan suku bunga pada pekan ini yakni mulai dari bank sentral China (People's Bank of China/PBoC), kemudian bank sentral Amerika Serikat (AS) atau Federal Reserve (The Fed), bank sentral Inggris (Bank of England/BoE), dan bank sentral Jepang (Bank of Japan/BoJ).

Tak hanya itu saja, Bank Indonesia (BI) juga akan mengumumkan kebijakan suku bunga acuannya pada pekan ini, tepatnya pada Kamis mendatang.

Pasar global menganalisis serangkaian data ekonomi yang beragam menjelang keputusan kebijakan bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan diumumkan pada Rabu waktu AS atau Kamis dini hari waktu Indonesia (21/9/2023).

Para trader akan mencari wawasan tentang bagaimana pemikiran para pembuat kebijakan tentang inflasi. Tak heran jika pelaku pasar ingin mengamankan keuntungan terlebih dahulu dalam jangka pendek.

Selain itu, semakin mendekati pertemuan The Fed, pelaku pasar juga akan cenderung bersikap konservatif dengan mengalokasikan lebih banyak kas sementara.

Kendati demikian, ada potensi kebijakan The Fed mulai melonggar pada bulan ini. Hal ini karena pelaku pasar mulai melihat ada sejumlah alasan yang dinilai cukup kuat untuk mempertahankan suku bunga.

Utamanya, inflasi inti (core consumer price index/CPI) AS periode Agustus 2023 yang sudah melandai sesuai ekspektasi di 4,3% yoy dari sebelumnya 4,7% yoy.

Tak hanya itu, persoalan resesi AS yang sempat santer terdengar pada tahun lalu sudah mulai dilupakan pasar.

Melansir poling Reuters juga menunjukkan peluang terjadi resesi AS pada tahun ini sempat diukur pada Oktober 2023 mencapai 70%, tetapi sekarang nilainya sudah semakin melandai, terakhir pada Agustus 2023 peluang AS bisa resesi di kisaran 40%.

Pasar memperkirakan resesi yang potensi terjadi di AS akan lebih ringan dari yang diperkirakan sebelumnya.

Dengan resesi ringan ditambah inflasi inti yang semakin melandai, suku bunga The Fed potensi semakin optimis ditahan. Hal ini juga didukung dengan perhitungan peluang The Fed menahan suku bunga mencapai 99%, menurut CME Fedwatch Tool.

Sedangkan dari dalam negeri, BI akan menggelar Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 20-21 September dan akan mengumumkan hasilnya pada Kamis, 21 September siang.

Konsensus pasar dalam Reuters memperkirakan BI akan kembali mempertahankan suku bunga acuannya di level 5,75%. Jika ekspektasi pasar tersebut benar, maka BI sudah menahan suku bunga acuannya selama tujuh bulan terakhir.


(chd/chd)
Pages