CNBC Indonesia Research

10% Warganya Lansia, Jepang Bersiap Hadapi 'Kiamat' Baru

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
18 September 2023 09:10
Photo: Issei Kato/Reuters/Newscom
Foto: Photo: Issei Kato/Reuters/Newscom
  • Jumlah penduduk berusia 80 tahun ke atas untuk pertama kalinya melebihi 10% populasi Jepang.
  • Ini memperkuat proyeksi oleh Riset kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional Jepang di mana populasi negara ini akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2056.
  • Terlebih fenomena 'resesi seks' bahkan enggan punya anak masih menyelimuti jepang hingga kini.

Jakarta, CNBC Indonesia - Jepang tengah menghadapi hal yang memang sudah di prediksi sebelumnya. Dimana pada April 2023 lalu, Institut Riset Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional Jepang pernah meramalkan bahwa populasi Jepang akan turun jauh.

Hal ini dibuktikan pula pada data terbaru, jumlah penduduk berusia 80 tahun ke atas untuk pertama kalinya melebihi 10% populasi Jepang, menurut data pemerintah pada Minggu (17/8/2023), ketika negara dengan proporsi penduduk lanjut usia tertinggi di dunia terus bergulat dengan masyarakat yang menua dengan cepat.

Jumlah penduduk dalam kelompok usia meningkat sebesar 270.000 dari tahun sebelumnya menjadi 10,1% dari total populasi Jepang yang berjumlah sekitar 124,6 juta jiwa, kata Kementerian Dalam Negeri dan Komunikasi menjelang Hari Penghormatan Lansia pada hari ini Senin, (18/9/2023).

Dalam rekor lain, mereka yang berusia 65 tahun ke atas, yang didefinisikan sebagai lansia di Jepang, mencakup 29,1% dari total populasi sebanyak 36,2 juta jiwa, yang berarti negara ini masih memiliki proporsi kelompok usia lanjut usia terbesar di dunia, menurut data yang dirilis pada Jumat (15/9/2023).

Orang-orang berjalan melintasi penyeberangan pejalan kaki di distrik Shibuya dalam cuaca panas dan lembab Kamis, 13 Juli 2023, di Tokyo. (AP Photo/Eugene Hoshiko)Foto: Orang-orang berjalan melintasi penyeberangan pejalan kaki di distrik Shibuya dalam cuaca panas dan lembab Kamis, 13 Juli 2023, di Tokyo. (AP/Eugene Hoshiko)
Orang-orang berjalan melintasi penyeberangan pejalan kaki di distrik Shibuya dalam cuaca panas dan lembab Kamis, 13 Juli 2023, di Tokyo. (AP Photo/Eugene Hoshiko)

Italia dan Finlandia berada di peringkat kedua dan ketiga, dengan jumlah penduduk berusia 65 tahun ke atas mencapai 24,5% dan 23,6% dari populasi mereka.

Perempuan merupakan 56,6% dari populasi lansia di Jepang, berjumlah 20,5 juta jiwa dibandingkan laki-laki, yang mencapai 15,7 juta jiwa. Perbedaan tersebut mencerminkan perempuan memiliki rata-rata harapan hidup yang lebih panjang.

Mereka yang berusia 75 tahun ke atas berjumlah 16,1% dari total populasi, atau 20,05 juta orang, melampaui angka 20 juta untuk pertama kalinya.

Sementara itu, 25,2% lansia di Jepang sudah bekerja pada tahun 2022, dan jumlahnya meningkat selama 19 tahun berturut-turut menjadi 9,12 juta, yang merupakan sebuah rekor baru. Lansia merupakan 13,6% dari total angkatan kerja di negara ini.

Pemerintah Jepang Sudah 'Ketar-ketir'

Pemerintah Jepang telah berjuang untuk mencegah penurunan populasi agar tidak berdampak buruk pada perekonomian, sembari menanggapi kebutuhan mendesak dan terus meningkat dari warga lanjut usia, dimana banyak di antara mereka yang hidup sendirian dan membutuhkan dukungan pribadi.

Sebagaimana yang telah diprediksi sebelumnya, pada 2056 Institut Riset Kependudukan dan Jaminan Sosial Nasional Jepang meramalkan bahwa populasi negara ini akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2056.

Sementara jumlah kelahiran akan turun di bawah 500.000 pada tahun 2059 jika jumlah kelahiran per wanita secara garis besar tidak berubah.

Jepang mungkin menjadi lebih lemah sebagai bangsa jika populasinya menyusut. Kebijakan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi populasi yang menurun perlu segera diimplementasikan untuk menghindari nasib tersebut.

Untuk diketahui, perkiraan populasi Jepang direvisi setiap lima tahun, berdasarkan sensus nasional. Revisi terbaru adalah yang pertama dalam 6 tahun, karena pandemi Covid-19.

Sebelumnya pada tahun 2017 riset kependudukan tersebut memperkirakan populasi Jepang akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2053, angka ini 3 tahun lebih awal dari perkiraan terbaru.

Perubahan tersebut dilakukan karena semakin banyaknya warga negara asing yang masuk ke Jepang yang diperkirakan meningkat menjadi 160.000 per tahun dari 70.000 per tahun, menggunakan rata-rata dari tahun 2016 hingga 2019.

Jepang mungkin menjadi lebih lemah sebagai bangsa jika populasinya menyusut. Kebijakan untuk mempertahankan pertumbuhan ekonomi dalam menghadapi populasi yang menurun perlu segera diimplementasikan untuk menghindari nasib tersebut.

Untuk diketahui, perkiraan populasi Jepang direvisi setiap lima tahun, berdasarkan sensus nasional. Revisi terbaru adalah yang pertama dalam 6 tahun, karena pandemi Covid-19.

Sebelumnya pada tahun 2017 riset kependudukan tersebut memperkirakan populasi Jepang akan turun di bawah 100 juta pada tahun 2053, angka ini 3 tahun lebih awal dari perkiraan terbaru.

Perubahan tersebut dilakukan karena semakin banyaknya warga negara asing yang masuk ke Jepang yang diperkirakan meningkat menjadi 160.000 per tahun dari 70.000 per tahun, menggunakan rata-rata dari tahun 2016 hingga 2019.

Komposisi demografi negara juga akan semakin diwarnai oleh turunnya angka kelahiran dan penuaan penduduk. Pangsa populasi di bawah 14 tahun akan turun di bawah 10% pada tahun 2050, menurun menjadi sekitar 10,4 juta orang dari 15 juta pada tahun 2020.

Pertumbuhan ekonomi Jepang juga akan dipengaruhi oleh pergeseran demografi. Sebuah laporan tahun 2020 oleh konsultan internasional McKinsey & Co. mencatat bahwa Jepang perlu meningkatkan produktivitas tenaga kerjanya 2,5 kali lipat pada tahun 2030 untuk mempertahankan tingkat pertumbuhannya saat ini.

Apalagi Fenomena 'Resesi Seks' Masih Mengancam Jepang

Jepang belakangan tengah dihadapkan pada fenomena resesi seks. Ironisnya, resesis eks kini mulai berujung pada krisis populasi hingga menyebabkan banyaknya sekolah tutup di negeri itu.

Istilah 'resesi seks' secara spesifik mengacu pada turunnya mood pasangan melakukan hubungan seksual, menikah dan punya anak. Pada akhirnya, resesi seks bisa berimbas pada penurunan populasi suatu negara, karena kondisi rendahnya angka perkawinan dan keengganan untuk berhubungan seks.

Melansir dari Reuters, awal April lalu hanya ada dua orang siswa bernama Eita Sato dan Aoi Hoshi menjadi satu-satunya dan lulusan terakhir di SMP Yumoto, di Desa Ten-ei, Prefektur Fukushima, utara Jepang. SMP itu sendiri akan ditutup secara permanen, setelah 76 tahun berdiri.

Fenomena tutupnya sekolah terjadi akibat angka kelahiran di Jepang anjlok lebih cepat dari yang diperkirakan. Jumlah ini meningkat terutama di daerah pedesaan seperti Ten-ei, area ski pegunungan dan mata air panas di prefektur Fukushima yang telah merasakan depopulasi.

Fenomena ini memberikan pukulan telak bagi sekolah umum yang lebih kecil. Padahal ini seringkali menjadi jantung kota dan desa pedesaan.

Menurut data pemerintah, sekitar 450 sekolah tutup setiap tahun. Antara tahun 2002 dan 2020, hampir 9.000 sekolah menutup pintu mereka selamanya, sehingga sulit bagi daerah terpencil untuk memikat penduduk baru yang berusia lebih muda.

Pemerintah Jepang tentunya tak tinggal diam dengan fenomena ini.Perdana Menteri Fumio Kishida telah menjanjikan langkah-langkah untuk meningkatkan angka kelahiran. Termasuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak.

Ia juga mengatakan menjaga lingkungan pendidikan sangat penting. Sayangnya sedikit yang telah membantu sejauh ini.

Selain itu, pemerintah juga mengupayakan dengan memberikan layanan kecerdasan untuk menjodohkan warganya, layanan ini dapat digunakan untuk menemukan pasangan yang cocok.

Untuk diketahui, survei yang dilakukan National Institute of Population dan Social Security Research ditemukan bahwa, hampir seperlima pria Jepang dan 15% wanita tidak tertarik menikah. Angka tersebut adalah yang tertinggi sejak 1982. Hampir sepertiga pria dan seperlima wanita Jepang di usia 50-an tak pernah menikah.

Menurut pakar dari Harvard, Mary Brinton, meningkatnya angka perjaka dapat dibendung dengan usaha yang efektif, seperti menyeimbangkan antara waktu kerja dan keluarga. Populasi Jepang akan menurun hingga separuh dari populasi yang ada jika dalam setengah abad tren semacam resesi seks tak bisa diatasi.

Pemerintah Jepang mencatat total tingkat kesuburan di Jepang terus menurun selama bertahun-tahun. Pada 2005, statistik sempat pulih dari tingkat terendah melalui angka 1,26 pada 2005. Lalu, pada 2021 tingkat tersebut meningkat di angka 1,30. Namun, pada 2021 juga jumlah kelahiran bayi di Jepang mencapai titik terendah, yaitu 811.622.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation