Pasar keuangan hari ini nampaknya akan bergejolak. Selengkapnya mengenai proyeksi pasar keuangan bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini
IHSG pada perdagangan kemarin, Rabu (13/9/2023) IHSG bergerak cukup volatile, pada awal sesi sempat terjadi penguatan ke titik tertinggi di 6944,92 sekitar 20 menit tetapi setelah itu terjerembab cukup lama dalam zona merah hingga ke titik terendah 6903,25.
Menjelang closing hanya dalam beberapa menit IHSG menguat kembali ke posisi akhir di 6935,47. Dengan begitu jika dibandingkan dari opening IHSG hanya naik 0,02% saja dalam sehari.
Penguatan IHSG kemarin kontras dengan pelemahan yang terjadi hari sebelumnya sebesarnya 0,42% di posisi 6933,96. Akan tetapi, secara teknikal IHSG masih sulit untuk menguat ke level psikologis 7000.
Sepanjang perdagangan kemarin nilai transaksi yang tercatat pada IHSG sebesar Rp10,95 triliun, dengan volume sebesar 19.10 miliar lembar yang setara dengan frekuensi 1,21 juta kali. Ada sekitar 234 saham yang menguat, kemudian 298 melemah, sementara sisanya 221 saham bergerak stagnan. Investor asing mencatatkan net sell sebesar Rp 1,76 triliun rupiah kemarin.
Sementara itu, bursa Asia ditutup beragam di mana indeks Hang Seng Hong Kong melemah 0,09%, Shanghai Composite Index terjun 0,45%, indeks KOSPI melandai 0,07% tetapi indeks Straits Times Singapura menguat 0,14%.
Beralih ke pergerakan rupiah yang berbanding terbalik dengan laju IHSG, mata uang Garuda terpantau melemah tipis 0,20% ke posisi Rp15.365/US$ pada akhir perdagangan Rabu (13/9/2023). Posisi ini memperpanjang tren pelemahan rupiah sejak 1 September 2023 dan merupakan posisi terlemah sejak 16 Maret 2023 atau hampir enam bulan terakhir.
Pelemahan rupiah terjadi karena ditekan indeks dolar Amerika Serikat (AS) yang masih perkasa. Hingga perdagangan kemarin, Indeks dolar AS menguat tajam ke 104,71, posisi tersebut merupakan yang tertinggi dalam tiga hari terakhir.
Penguatan indeks dolar AS sejalan dengan sikap pelaku pasar yang berhati-hari akan rilis data inflasi Amerika Serikat (AS) yang diperkirakan naik kembali.
Kemudian pada pergerakan imbal hasil Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang menjadi acuan pasar masih terpantau di lepas investor. Nilainya pada akhir perdagangan Rabu (13/9/2023) naik 3 basis poin (bps) ke posisi 6,68%. Kenaikan yield obligasi tersebut menunjukkan SBN seakan makin murah, pasalnya kenaikan yield hubungannya dengan harga berbanding terbalik, dampaknya harga obligasi jadi turun yang membuatnya semakin dibuang asing.
Pasar obligasi sebenarnya pada dua hari lalu sempat mendapat sentimen positif dari Surat Berharga Negara Syariah (SBNS) yang diluar dugaan mendapat permintaan tinggi dengan serapan pemerintah di atas target.
Nilai permintaan SBNS yang masuk pada lelang 12 September 2023 lalu mencapai Rp31,33 triliun, lebih besar dari lelang sukuk terakhir sebesar Rp21,28 triliun. Serapan pemerintah pada lelang kali ini mencapai Rp9 triliun, melampaui target indikatif yang ditentukan sebelumnya yaitu Rp6 triliun.
Hanya saja, hasil positif dari lelang tersebut tak menjadi sentimen yang menular ke SBN acuan 10 tahun karena sikap pasar yang berhati-hati pada ketidakpastian eksternal yang meningkat akhir-akhir ini.
Bursa AS Wall Street mengakhiri perdagangan dengan beragam pada Rabu (13/9/203). Indeks Dow Jones melemah 0,2% atau 70,46 poin ke 34.575,53.
Sementara itu, indeks Nasdaq menguat 0,29% atau 39,97 poin ke 13.813,59 dan indeks S&P 500 menanjak 0,12% atau 5,54 poin ke 4.467,44.
Penutupan pada perdagangan kemarin masih lebih baik dibandingkan hari sebelumnya di mana tiga indeks semuanya anjlok.
Indeks Dow Jones melemah setelah AS mengumumkan data inflasi kemarin. Sementara itu kenaikan Nasdaq dan S&P ditopang penguatan beberapa saham. Saham Tesla (TSLA) menguat 1,43% sementara Amazon (AMZN) terbang 2,56% kemarin.
Pergerakan Wall street dibayangi rilis data inflasi AS pada periode Agustus. AS mengumumkan inflasi sebesar 3,7% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada Agustus 2023, naik dari inflasi pada bulan sebelumnya sebesar 3,2% YoY. Inflasi tersebut adalah yang tertinggi dalam tiga bulan terakhir dan hampir dua kali lipat lebih tinggi dari target bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed).
Berdasarkan data yang dirilis Biro Statistik Ketenagakerjaan AS dari dikutip Trading Economics, Rabu (13/9/2023) kenaikan inflasi tersebut menjadi yang kedua kali dalam setahun terakhir, setelah dalam 12 bulan berturut-turut mencatatkan penurunan indeks harga konsumen (IHK).
Nilai inflasi tersebut juga lebih tinggi dibandingkan konsensus pasar yang proyeksi naik sebesar 3,6% YoY. Sementara inflasi inti berhasil melandai sesuai ekspektasi ke 4,3% YoY dibandingkan periode bulan sebelumnya sebesar 4,7%.
Namun, secara keseluruhan nilai inflasi umum dan inti masih jauh di atas target bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) di angka 2%.
Bursa wall street yang ditutup beragam dengan mayoritas menguat pasca rilis data inflasi yang semakin memanas menjadi satu fenomena yang di luar kebiasaan. Pasalnya, bursa biasanya langsung kompak merah saat inflasi di laur ekspektasi.
Pelaku pasar masih perlu memantau efek domino selanjutnya yang potensi terjadi di kemudian hari mengingat masih ada pertemuan the Fed pada pekan depan.
"Data inflasi membuat kita sulit mengatakan jika inflasi akan melandai. Pasar selama ini tidak menangkap adanya perubahan sikap dari The Fed. Kemungkinan The Fed baru akan berubah di November," tutur Vincent Reinhart, analis dari Dreyfus and Mellon, dikutip dari Reuters.
Nilai inflasi yang masih naik akan menjadi pertimbangan cukup kuat bagi the Fed untuk melanjutkan kebijakan ketatnya. Kendati begitu, pemikiran pelaku pasar juga sepertinya mulai berubah lebih forward looking dari yang sebelumnya seberapa besar kenaikan suku bunga menjadi seberapa lama bank sentral AS akan memberikan jeda.
Hal tersebut juga semakin didukung dengan data yang ditunjukan CME Fedwatch Tool yang mengukur peluang suku bunga akan ditahan pada level 5,25% - 5,50% sudah semakin dominan, mencapai 97%.
Pasar keuangan mulai dari bursa saham, nilai tukar rupiah, hingga Surat Berharga Negara (SBN) hari ini tampaknya akan bergerak lebih volatil karena data inflasi AS untuk periode Agustus 2023 hasilnya lebih panas dari yang diperkirakan.
Kendati begitu, bursa Wall Street semalam yang mayoritas menguat membuktikan jika pelaku pasar AS sudah priced in dengan data inflasi yang naik tajam. Bursa AS yang tidak bergejolak diharapkan bisa menular ke pasar saham Tanah Air.
Namun, rupiah diperkirakan tetap akan mengalami tekanan karena ada risiko capital outflow. Dengan inflasi AS yang masih naik maka harapan adanya pelonggaran kebijakan suku bunga di AS semakin memudar. Kondisi ini akan membuat dolar AS semakin dicari dan menguat tajam. Sebaliknya, investor akan melepas rupiah sehingga melemah.
Kabar dari AS Bisa Goyang Pasar RI
Tanda-tanda kembali diburunya dolar AS sudah terlihat dari indeks dolar yang menguat ke 104,76 kemarin, level tertingginya dalam tiga hari.
Kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro memperkirakan tekanan kepada pasar keuangan akan berlanjut hari ini. Inflasi inti AS memang melandai dan ini menjadi kabar baik tetapi secara keseluruhan head inflation AS meningkat tajam.
"Iya (data inflasi membuat) lanjut pressurenya seperti yang lalu-lalu. Kalau market lihat corenya sebenarnya positif. Sayangnya market besok liat headlinenya jadi pressure ke rupiah dan yield berlanjut," tutur Andry, kepada CNBC Indonesia.
Seperti diketahui, inflasi AS terpantau tumbuh 3,7% (yoy) pada periode Agustus 2023, lebih panas dibandingkan ekspektasi pasar yang proyeksi tumbuh 3,6% (yoy) dan bulan sebelumnya sebesar 3,2% yoy.
Kenaikan inflasi umum tersebut menjadi yang kedua kali terjadi setelah 12 bulan melandai. Sementara itu, inflasi inti turun sesuai perkiraan ke 4,3% (yoy) dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 4,7%. Kendati begitu, nilainya masih jauh di atas target the Fed di level 2%.
Inflasi AS diperkirakan masih sulit turun ke depan karena lonjakan harga minyak. AS adalah konsumen terbesar minyak di dunia sehingga pergerakan harga minyak akan sangat berdampak kepada ekonomi AS.
Hingga akhir perdagangan kemarin (13/9/2023), harga minyak mentah Brent ditutup menguat ke US$ 92,5 per barel. Sementara harga minyak mentah WTI Crude berada di US$ 88,89 per barel, semakin mendekati level psikologis US$ 90 per barel.
Penguatan harga minyak selama sebulan terakhir ini juga cukup signifikan, brent Oil melesat 8,52%, sementara WTI Crude Oil melonjak 8,01%. Kenaikan harga minyak mentah disinyalir akibat pernyataan International Energy Agency (IEA) yang pada awal minggu ini mengumumkan kekurangan pasokan minyak global untuk semester II-2023.
IEA juga menyatakan secara rata-rata, permintaan minyak akan naik sekitar 1,2 juta barel per hari dari persediaan. Dari sisi pasokan, OPEC+ memperkirakan masih akan cukup ketat, pengurangan akan terjadi sekitar 3 juta barel per hari. Data IEA juga mengungkapkan permintaan minyak pada Agustus 2023 mencapai 101,4 juta barel per hari, sedangkan pasokannya lebih rendah, hanya 100,8 juta barel per hari.
Kendati begitu, walau pasokan ketat ada faktor yang mempengaruhi pelemahan permintaan akibat ekonomi China yang masih lesu. Andry Asmoro memperkirakan harga rata-rata minyak global pada 2023 bisa mencapai US$ 86,1 per barel kemudian menurun ke US$ 70 barel per hari pada 2024, karena peningkatan target produksi OPEC+ pada 2024 dan ekspektasi permintaan yang masih lemah.
Ekspektasi masih tingginya inflasi AS membuat pelaku pasar pesimis jika The Fed akan melonggarkan kebijakan dalam waktu dekat. Sebanyak 97% pelaku pasar yang disurvei CME FedWatch Tool memperkirakan The Fed masih mempertahankan suku bunga di level 5,25-5,5%.
Setelah data inflasi AS, pelaku pasar kini menunggu sejumlah data ekonomi dari AS lainnya. Hari ini, AS akan mengumumkan penjualan ritel untuk periode Agustus 2023 secara bulanan. Data retail sales diproyeksi akan turun ke 0,4% dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 1%.
Kemudian juga ada data klaim pengangguran AS yang berakhir pada pekan 9 September 2023. Klaim pengangguran diperkirakan naik ke 225.000 dibandingkan minggu sebelumnya sebesar 216.000.
Apabila data penjualan ritel terkontraksi disertai klaim pengangguran meningkat, hal ini akan menjadi pertimbangan the Fed untuk melunakkan kebijakan-nya dan bisa menjadi pemanis pasar di kala inflasi yang semakin memanas. Namun, hal sebaliknya juga bisa membuat pasar semakin suram.
Selain itu, hari ini juga akan diumumkan data inflasi AS dari sisi produsen untuk periode Agustus 2023 atau Producer Price Index (PPI). PPI diperkirakan akan meningkat ke 1,2% (yoy), dibandingkan bulan sebelumnya 0,8% (yoy). Sementara Core PPI diperkirakan melandai ke 2,2% (yoy) dari sebelumnya 2,4%.
Ekonom China Makin Tertekan, Industri Mobil Listrik China dalam Sorotan
Beralih ke kondisi ekonomi China yang sedang lesu memang menjadi sorotan pelaku pasar dunia. Apalagi untuk RI karena negeri asal Panda tersebut merupakan negara tujuan ekspor terbesar. Sehingga kondisi ekonominya sangat berpengaruh terhadap pasar keuangan Tanah Air.
Rajiv Biswas APAC Chief Economist S&P Global Market Intelligence mengatakan "China dinilai telah kehilangan momentum pertumbuhan ekonominya, dan hal ini akan berpengaruh ke negara Asia lainnya termasuk Indonesia"
Di lain sisi, masalah perang dagang China dengan beberapa negara masih santer terasa. Mulai dari AS-China yang berseteru masalah penjualan ponsel pintar besutan Apple akibat XI Jinping yang diketahui melarang penggunaan Iphone untuk para PNS dan BUMN China padahal saat ini sedang ramai peluncuran Iphone baru seri 15.
Namun, kabar terakhir menyebut jika pemerintah China membantah telah melarang penggunaan IPhone untuk pekerja.
Tak hanya itu, masalah terbaru muncul dari persaingan harga kendaraan listrik China di pasar Eropa. Sebagai operasi untuk meminimalisir persaingan Komisi Eropa, badan eksekutif Uni Eropa (UE), meluncurkan penyelidikan terhadap kendaraan listrik di China pada Rabu (13/9/2023). Ini terkait subsidi yang diberikan kepada pembuatnya.
Presiden Ursula von der Leyen mengkonfirmasi penyelidikan tersebut dalam pidato kenegaraan tahunannya di Parlemen Eropa di Strasbourg. "Eropa terbuka untuk persaingan tetapi tidak untuk perlombaan menuju titik terbawah," katanya, seperti dikutip CNBC International.
"Misalnya sektor kendaraan listrik, ini adalah industri penting bagi perekonomian ramah lingkungan dengan potensi besar di Eropa, namun pasar global kini dibanjiri dengan mobil listrik China yang lebih murah dan harganya dibuat tetap rendah karena subsidi negara yang sangat besar," jelasnya.
"Ini mendistorsi pasar kami dan karena kami tidak menerima distorsi ini dari dalam pasar kami, kami juga tidak menerima distorsi ini dari luar," tambahnya.
Di sisi lain, von der Leyen juga mengatakan bahwa blok tersebut harus mempertahankan diri terhadap praktik tidak adil. Namun ia menekankan pentingnya menjaga jalur komunikasi terbuka dengan Beijing.
"Mengurangi risiko, bukan memisahkan. Ini akan menjadi pendekatan saya pada KTT UE-Tiongkok akhir tahun ini," tambahnya.
Ekonomi Inggris Lesu, ECB Umumkan Suku Bunga Hari Ini
Sentimen lain juga datang dari Eropa. Ekonomi Inggris mengalami penyusutan tercepat dalam tujuh bulan terakhir. Angka Produk Domestik Bruto (PDB) turun 0,5% pada Juli, di bawah perkiraan kontraksi 0,2% dalam jajak pendapat para ekonom Reuters.
Menurut angka ONS, penurunan mengejutkan pada bulan Juli berarti perekonomian menyusut pada laju tercepat sejak Desember. Ini adalah tanda terbaru dari tekanan ekonomi akibat tingginya tingkat suku bunga. Pada Selasa, angka menunjukkan tunggakan hipotek Inggris melonjak ke level tertinggi dalam tujuh tahun dalam tiga bulan hingga Juni.
Bank-bank investasi besar memangkas ekspektasi pertumbuhan Inggris. Goldman Sachs merevisi perkiraan pertumbuhan tahunannya menjadi 0,3% dari 0,5% dan JP Morgan menurunkan peringkatnya menjadi 0,4% dari 0,6%.
Hari ini, bank sentral Eropa akan mengumumkan kebijakan suku bunga. Dengan inflasi yang masih di kisaran 5,3% (yoy) pada Agustus 2023, ECB diproyeksi masih menaikkan suku bunga ke depan. Namun, ancaman resesi yang menghadang Uni Eropa bisa membuat ECB berubah arah. Jerman sudah berada di zona resesi sementara Prancis diperkirakan akan segera menyusul.
ECB mengerak suku bunga sebesar 25 bps menjadi 3,75% pada Juli 2023. Dengan demikian, ECB sudah mengerek suku bunga deposit facility sebesar 425 basis points (bps) sejak Juli 2022. Suku bunga tersebut adalah yang tertinggi dalam 23 tahun terakhir.
Ekonomi Eropa diperkirakan hanya akan tumbuh 08% tahun ini dan 1,4% pada 2024. Perkiraan ini jauh lebih rendah dari proyeksi sebelumnya yakni 1% pada 2023 dan 1,7% pada 2024.
"Dalam kondisi seperti saat ini, kenaikan suku bunga hanya akan menciptakan persoalan ekonomi yang lebih berat dan membenani penciptaan lapangan kerja," tutur Nigel Green, CEO dan founder deVere Group, dikutip dari FX Street.
Agenda Ekonomi :
Presiden Joko Widodo akan menghadiri pembukaan IFFINA, Indonesia Mebel & Design Expo 2023 (09:00 WIB)
Komisi VI DPR menggelar rapat kerja dengan Menteri BUMN di ruang rapat Komisi VI DPR (10:00 WIB)
CNBC Indonesia akan menggelar Investment Expo
Pengumuman suku bunga Bank Sentral Eropa (ECB) (19:15 WIB)
Retail Sales AS (19:30 WIB)
PPI AS (19:30)
Klaim pengangguran AS(a9:30 WIB)
Agenda Perusahaan :
Berikut Indikator Ekonomi Terbaru
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]