CNBC Indonesia Research

Duel Mie Gaga Vs Indomie, Siapa Jadi Jawara?

Riset, CNBC Indonesia
07 September 2023 07:10
Infografis, Kisah Perjalanan Salim Grup, Dihantam Krisis 98 dan Bangkit Lebih Tajir
Foto: Infografis/ Salim Grup/ Edward Ricardo

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar viral soal polemik antara pendiri dua produsen mi instan, Mie Gaga versus Indomie, Tanah Air sedang hangat di media sosial. Lantas, siapa sebenarnya penguasa pasar mi instan di Indonesia?

Masyarakat RI terbilang gemar mengonsumsi mi instan. Ini bisa dilihat dari data World Instant Noodles Association (WINA), Indonesia menduduki peringkat kedua konsumsi mi instan tertinggi di dunia, mencapai 14,26 miliar bungkus selama 2022.

Indonesia hanya kalah dari China/Hong Kong yang mengonsumsi 45,07 miliar bungkus pada tahun lalu.

Pasar mi di Indonesia memang didominasi oleh mi instan, yang memiliki keunggulan dalam hal penyajian yang hanya butuh waktu 3-5 menit.

Permintaan mi intan di Indonesia sendiri ditopang oleh sejumlah faktor, mulai dari sumber kalori yang terjangkau, harga yang murah hingga mudah untuk disajikan. Faktor urbanisasi juga sedikit banyak turut berpengaruh terhadap hal tersebut.

Menurut data AEGIC, sekitar 55% penggunaan tepung terigu digunakan untuk produksi mi di Indonesia.

Dari deretan nama produsen mi instan di Indonesia, Indomie besutan Grup Indofood (via Indofood CBP Sukses Makmur/ICBP) milik keluarga Salim menjadi penguasa pasar. Menurut riset Euromonitor (2017), setidaknya selama 2012-2017, Indomie memiliki pangsa pasar di kisaran 70%.

Wings Corp, dengan mie Sedaap yang muncul pertama kali sejak 2003, mempunyai pangsa pasar 18,9% per 2017.

Praktis, duo Indofood dan Wings menguasai lebih dari 80% pasar mi instan di Indonesia.

Sementara, produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama milik Djajadi Djajamemiliki pangsa pasar lebih dari 2%.

Indomie juga menjadi merek fast-moving consumer goods (FMCG) kategori makanan yang paling disukai konsumen pada 2022 dengan tingkat penetrasi mencapai 95,4%, di atas Mie Sedaap 93,3%, berdasarkan data Statista.

Berawal dari Viral

Kabar polemik yang muncul ke permukaan akhir-akhir ini berawal dari postingan yang ramai di TikTok soal komisaris produsen Mie Gaga PT Jakarana Tama Djajadi Djajayang disebut sebagai penemu Indomie, sebelum akhirnya berpolemik dengan Sudono Salim, pendiri Grup Salim sekaligus pemilik brand Indomie saat ini.

Netizen pendukung brand Mie Gaga bahkan turut menyerang akun Instagram Indomie.

Dalam postingan Instagram @indomie pada 17 Agustus 2023, seorang netizen dengan akun @dthnry, misalnya, berkomentar, "Indomie anak kandung pak djajadi djaja."

Dalam kiriman Indomie lainnya, pada 27 Agustus 2023, pengguna @adityasprtmn42 menulis, "BISNIS HASIL MALING KO BANGGA."

Beberapa netizen lainnya membeli Mie Gaga dengan menyebut, "Mie gaga kebanggaanku," seperti tulis @anisa_rahmawatiiii pada 31 Agustus 2023 dalam postingan @indomie pada 3 hari lalu.

Tidak hanya itu, netizen beramai-ramai 'menggeruduk' kolom komentar postingan Indomie lainnya, termasuk kiriman pada dua hari lalu.

Pengguna Instagram dengan username @_dionsptrr, misalnya, berkomentar, "Tombol yang suka mie gaga ==== >." Komentarnya pun disukai oleh 4.823 likes per 31 Agustus 2023, pukul 00.03 WIB.

Respons Djajadi Djaja

Menanggapi kabar yang beredar, PT Jakarana Tama buka suara soal hebohnya pemberitaan komisarisnya yang disebut sebagai penemu Indomie.

Jakarana Tama menampik bahwa komisarisnya Djajadi Djaja pernah membuat, menyuruh membuat, menyebarkan atau menjadi narasumber ataupun memberikan tanggapan apapun sehubungan dengan berita-berita yang telah dibuat. Ia pun mengaku tak pernah dimintai keterangan terkait hal tersebut.

"Djajadi Djaja dan PT Jakarana Tama tidak akan memberi tanggapan apapun sehubungan dengan berita yang telah tersebar," kata Djajadi melalui keterangan resminya, dikutip Jumat (25/8/2023).

Sebelumnya, diberitakan bahwa Djajadi merupakan pengagas produk Indomie bersama dengan pengusaha Liem Sioe Liong atau Sudono Salim. Keduanya mendirikan PT Indofood Eterna pada 1984.

Namun, pada 1993, perusahaan Djajadi mengalami masalah keuangan. Akibatnya, Grup Salim memutus hubungan dan mendepaknya dari Indofood.

Singkat cerita, Djajadi kemudian melanjutkan berjualan mi instan di bawah naungan PT Jakarana Tama. Mengutip situs resmi Gagafood.co.id, Djajadi masih tertera sebagai komisaris di perusahaan yang menjual produk Mie Gaga, Mie "100", "1000", Mie Gepeng, Mie Telor A1 tersebut.

Polemik Djajadi Versus Indofood

Pada 1999, Djajadi diketahui sempat melayangkan gugatan kepada PT Indofood Sukses Makmur dan empat mantan pejabatnya atas pembelian merek dagang yang dilakukan perusahaan tersebut pada pertengahan tahun 1980an.

Mengutip dari artikel Wall Street Journal yang terbit 2 Februari 1999, menurut dokumen pengadilan yang diperoleh Dow Jones News Wire kala itu, perusahaan Djajadi PT Wicaksana Overseas International juga pernah menjadi distributor produk Indofood.

Dalam gugatannya, yang diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Djajadi menuntut ganti rugi sebesar Rp620 miliar dari Indofood sendiri, ada pula Chief Executive Officer (CEO) Salim Group Anthony Salim dan tiga mantan pejabat Indofood, Ibrahim Risjad, Djuhar Sutanto dan Sudwikatmono.

Saifullah, pengacara firma hukum Lubis, Santosa & Maulana di Jakarta, yang mewakili Djajadi, membenarkan bahwa Indofood dan keempat eksekutifnya dituntut karena praktik bisnis tidak sehat terhadap Djajadi terkait perjanjian jual beli saham pada pertengahan tahun 1980an.

"Djajadi terpaksa menjual 11 merek makanan kepada para terdakwa hanya dengan harga 30.000 rupiah dan tiga di antaranya merupakan merek paling populer di Tanah Air pada saat itu," klaim Saifullah.

Pada saat itu, WSJ tidak dapat mendapat komentar dari eksekutif Indofood.

Lebih rinci, berdasarkan dokumen yang diajukan ke pengadilan, Djajadi mengklaim awalnya memiliki 11 merek makanan termasuk Indomie dan Chiki Snack & Lukisan yang populer. Merek-merek tersebut digunakan oleh PT Sanmaru Food Produsen Co., sebuah perusahaan milik Pak Djajadi yang bekerja sama dengan tiga mitra.

Dalam perjanjian yang ditandatangani pada 1984, empat mantan eksekutif Indofood membeli 42,5% saham Sanmaru. Mereka kemudian memperoleh saham mayoritas di Sanmaru melalui peningkatan modal disetor Sanmaru, menurut dokumen pengadilan.

"Strategi menambah jumlah saham yang diterbitkan menjadi 8.000 dari 400 dan meningkatkan modal disetor menjadi satu miliar rupiah dari 50 juta rupiah menguntungkan para terdakwa karena mereka adalah investor besar dan mampu membeli sebagian besar perusahaan tersebut. dan menjadi pemegang saham pengendali," kata dokumen itu.

Djajadi mengaku terpaksa menjual perusahaannya beserta mereknya kepada PT Indofood Interna Corp. dengan harga yang sangat murah pada tahun 1986. Kesebelas merek tersebut dijual dengan total harga 30.000 rupiah.

Djajadi menuntut agar transaksi penjualan tersebut dibatalkan karena ia menuduh perjanjian jual belinya diambil dengan paksa. Dia bersikeras bahwa merek tersebut adalah miliknya secara pribadi dan tidak seharusnya dimasukkan sebagai aset Sanmaru. Jadi, meski Sanmaru sudah dijual, dia tetap menjadi pemilik sah merek tersebut.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(trp/trp)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation