CNBC Insight

September Jadi Bulan Menakutkan Bagi Bursa AS, di RI Gimana?

Chandra Dwi Pranata, CNBC Indonesia
06 September 2023 10:50
Ilustrasi bearish market vs bullish market
Foto: Pixabay/gerd Altmann
  • Periode perdagangan September biasanya dianggap oleh sebagian besar pelaku pasar global sebagai periode 'membosankan' bagi aset berisiko, atau dapat disebut sebagai 'September Effect'.
  • Secara historis, setelah 1945, indeks S&P 500 terus mencatatkan return negatif tetapi dalam beberapa tahun terakhir, return S&P 500 di September mulai positif.
  • Di Indonesia, secara historis IHSG memang berkinerja kurang baik di September tetapi masih lebih baik dari Agustus.

Jakarta, CNBC Indonesia - Periode perdagangan pasar saham sudah memasuki September, di mana jika dilihat secara historis, September menjadi bulan yang cenderung dihindari oleh investor untuk berinvestasi di pasar saham global.

Fenomena ini dapat disebut sebagai 'September Effect'. Sesuai namanya, Pada bulan ini, seringkali terjadi tren penurunan di hampir seluruh bursa saham global dan aset investasi berisiko lainnya. Investor pun diharapkan untuk berhati-hati.

Beberapa kali pasar saham AS juga crash pada September termasuk pada bubble com crash pada 2000 dan serangan 9/11 pada 2001.

Melansir Investopedia, September Effect mengacu pada return atau pengembalian pasar saham yang secara historis negatif di September.

Di Amerika Serikat (AS), para investor mengunci keuntungan serta kerugian pajak sebelum akhir tahun sekembalinya mereka dari musim panas. Faktor lainnya adalah para investor melikuidasi saham untuk biaya sekolah bagi anak-anak, yang selalu terjadi setiap tahun.

Oleh karena itu, efek September dianggap sebagai kekhasan historis yang selalu berulang saban tahun, bukan sebab-akibat dari fenomena yang terjadi secara tiba-tiba.

Ada teori khusus yang menunjukkan bahwa fakta bulan-bulan musim panas biasanya memiliki volume perdagangan yang lebih sedikit karena sejumlah besar investor biasanya mengambil waktu liburan dan menahan diri untuk tidak secara aktif memperdagangkan portofolio mereka selama waktu henti ini.

Begitu musim gugur dimulai dan para investor yang berlibur ini kembali bekerja, mereka keluar dari posisi yang telah mereka rencanakan untuk dijual. Ketika ini terjadi, pasar mengalami peningkatan tekanan jual, mengakibatkan penurunan secara keseluruhan. Selain itu, banyak reksa dana mengakhiri tahun fiskal mereka pada September.

Manajer reksa dana biasanya menjual posisi yang merugi sebelum akhir tahun. Tren ini merupakan penjelasan lain yang memicu buruknya kinerja pasar selama September.

Analisis data pasar oleh Dow Jones Industrial Average (DJIA) menunjukkan bahwa September adalah satu-satunya bulan dengan pengembalian negatif selama 100 tahun terakhir.

Data menunjukkan indeks S&P 500 rata-rata turun 0,54% pada Agustus sejak 1950. Nilai tersebut adalah yang terendah dalam 12 bulan. Selama 20 tahun lebih, rata-rata bursa saham AS turun 0,6%.

Namun kenaikan S&P 500 sebesar 18% sepanjang tahun ini menandakan bahwa indeks tersebut berada pada posisi yang tepat untuk melawan tren tersebut dan memperoleh kenaikan lebih lanjut bulan ini.

Hal ini pun dapat memecah pandangan dari pelaku pasar, di mana periode September menjadi masa yang membosankan bagi S&P 500, meskipun hanya ada sedikit konsensus mengenai mengapa S&P 500 cenderung memiliki kinerja yang sangat buruk.

Menurut kepala strategi teknis Bank of America mencatat bahwa ketika S&P 500 naik antara 10% dan 20% sebelum September, indeks tersebut memperoleh return selama sebulan sebesar 65% dengan pengembalian rata-rata 0,8%.

Di lain sisi, di tahun sebelum-sebelumnya, fenomena September Effect juga terjadi karena banyaknya sentimen negatif, di mana pada tahun lalu saja, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) memberikan pernyataan terkait era suku bunga tinggi. Setelah itu, pasar saham AS cenderung melandai.

Pada tahun ini, terutama di September, arah sentimen pasar global memang belum jelas, karena satu sisi sudah mulai ada tanda-tanda perbaikan, tetapi ada pula yang turut menahan pemulihan.

Kabar terbaru yakni dari kenaikan harga minyak mentah karena Arab Saudi memutuskan untuk memperpanjang pemangkasan produksi juga dapat menjadi sentimen buruk yang membuat pasar saham global merana di September.

Arab Saudi akan memangkas produksi sebesar 1 juta barel per day (bpd) secara sukarela hingga akhir tahun ini. Pemangkasan tersebut akan mengurangi produksi minyak hingga 9 juta pbd pada Oktober, November, dan Desember.

Rusia juga akan memperpanjang pemangkasan ekspor sebesar 300.000 bpd hingga Desember 2023.

Sebagai catatan, anggota OPEC+ sepakat untuk melakukan pemangkasan minyak secara sukarela sebesar 1,6 juta bpd pada April 2023. Arab Saudi sebelumnya sudah sepakat untuk memangkas produksi sebesar 1 juta bps pada Juli dan keputusan tersebut akan dievaluasi per bulan.

Lonjakan harga minyak membuat Wall Street jatuh karena kenaikan harga minyak akan berimplikasi kepada banyak hal. Lonjakan harga minyak dikhawatirkan akan melambungkan kembali inflasi sehingga harapan melihat bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) melunak semakin menjauh.

Hal tersebut bisa semakin menekan ekonomi AS yang tengah berjuang dari dampak suku bunga tinggi.

Alhasil, perkiraan pasar akan berakhirnya era suku bunga tinggi masih belum dapat diprediksi, jika sentimen yang membuat The Fed masih mempertahankan sikap hawkish-nya terus muncul dan pada akhirnya membuat 'September Effect' berpotensi kembali terjadi tahun ini.

Bagaimana IHSG di September?

Berbeda dengan bursa saham AS, secara historis, bulan September cenderung menjadi bulan baik untuk Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). Dalam 20 tahun terakhir, IHSG cenderung mencatatkan kinerja yang cemerlang.

Statistik menunjukkan bahwa IHSG menghasilkan return positif sebanyak 12 kali dan tercatat sebanyak 8 kali melemah. Umumnya IHSG cenderung melemah di bulan Agustus. Namun di tahun ini, IHSG justru mencatatkan kinerja yang positif pada Agustus 2023.

Di Agustus, dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, statistik menunjukkan bahwa IHSG menghasilkan return positif sebanyak 11 kali dan tercatat sebanyak sembilan kali melemah.

Return tertinggi IHSG di bulan Agustus terjadi pada tahun lalu yakni mencapai 3,27%. Sementara, return terendah IHSG pada bulan Agustus dalam satu dekade terakhir tercatat di tahun 2005, yang mencapai minus 11,18%.

Sedangkan di September, pada 2022 memang IHSG mencatatkan return negatif yakni mencapai 1,92%. Namun jika dihitung-hitung dalam kurun 20 tahun terakhir, return negatif IHSG hanya delapan kali saja, sedangkan sisanya mencatatkan return positif sebanyak 12 kali.

Hal ini menandakan bahwa periode September IHSG tidak terlalu buruk jika dibandingkan dengan bursa saham global lainnya.

Rata-Rata Return IHSG 20 Tahun TerakhirSumber: Stockbit
Rata-Rata Return IHSG 20 Tahun Terakhir

Di sepanjang tahun 2022, IHSG sukses memberikan imbal hasil sebesar 5,62% dan menjadi yang tertinggi di kawasan Asia Pasifik. Memang, bulan Agustus, The Fed tidak akan menggelar rapat FOMC. Keputusan kebijakan moneter terkait suku bunga acuan baru akan dibahas bulan September.

Namun melihat beberapa pernyataan sebelumnya dan adanya tanda-tanda data tenaga kerja dan ekonomi AS melandai, meski beberapa masih cukup kuat, bukan tak mungkin sentimen dari pertemuan The Fed September tahun ini tidak akan membuat IHSG makin merana.

 

Hanya saja, sentimen The Fed masih akan membuat IHSG bergerak cenderung volatil, di mana pergerakannya masih berada di kisaran 6.700-6.900 dan masih ada peluang terbuka untuk IHSG menembus 7.000.

Apalagi, sentimen dari dalam negeri yakni terkait tahun politik Pemilu 2024, meski masa kampanye baru akan dimulai pada pertengahan November tahun ini, tetapi banyaknya pemberitaan terkait bakal calon presiden (bacapres) sedikit mempengaruhi.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.

(chd/chd)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation