Malapetaka Baru! Krisis Ganda Hantam Uni Eropa

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
05 September 2023 07:55
uni eropa
Foto: REUTERS/Paul Hackett/File Photo
  • Invasi Rusia ke Ukraina telah memicu kekhawatiran potensi "krisis ganda" geopolitik dan ekonomi.
  • Terdapat tren penurunan pertumbuhan PDB secara kuartalan sejak awal tahun 2022, dengan PDB konsisten menurun dan inflasi masih jauh dari target.
  • Gangguan pasokan energi pada rantai pasokan mengharuskan Uni Eropa "Mandiri energi," yang telah mempengaruhi inflasi dan aktivitas bisnis.

Jakarta, CNBC Indonesia - Invasi serangan yang dilakukan Russia ke Ukraina pada Februari 2022 memicu kekhawatiran perlambatan ekonomi di Eropa. Kawasan dengan tingkat Pendapatan Domestik Bruto (PDB) terbesar ke-3 dunia terancam mengalami "krisis ganda" walau berpotensi mampu menghindari dari risiko resesi.

Perang Rusia-Ukraina membuat Uni Eropa harus mengalami dua krisis sekaligus yakni krisis geopolitik dan ekonomi.

Kawasan Euro masih mampu meningkatkan pertumbuhan ekonominya pada tahun 2022 sebesar 3,5% secara tahunan (year on year/yoy). Namun, terdapat tren penurunan pada pertumbuhan PDB secara kuartalan Uni Eropa sejak awal tahun 2022.

PDB kuartalan Uni Eropa konsisten turun dalam lima kuartal berturut-turut. Per kuartal-II 2023, PDB Uni Eropa hanya bertumbuh 0,6% (yoy).

Sejumlah negara kuat di Uni Eropa bahkan mengalami kontraksi atau malah resesi. Belanda sudah mengalami resesi sementara Italia dan Swedia sudah mencatat kontraksi ekonomi pada kuartal II-2023. Jerman sebagai motor ekonomi Eropa mencatatkan pertumbuhan stagnan dan berdiri di jurang resesi.


Kendati demikian, Paolo Gentiloni, Komisaris Eropa untuk Urusan Ekonomi, mengatakan kepada CNBC International, "Namun tolong jangan sebut ini sebagai resesi, karena menurut saya kita dapat menghindari resesi, kita sedang menghindari resesi."

Namun, pernyataan tersebut tidak mendapat dukungan kuat dari data perekonomian Uni Eropa. Gentiloni memandang risiko krisis ganda terjadi pada sisi geopolitik dan ekonomi.

Dari segi geopolitik, invasi Rusia ke Ukraina pada bulan Februari tahun lalu memicu hubungan antar negara yang kurang baik. Hal ini berdampak pada kebijakan perang pengaruh terhadap negara afiliasi yang mendukung Ukraina.

Di sisi lain, permasalahan ini juga menimbulkan kekhawatiran serius di Eropa bahwa kawasan tersebut akan mengalami perlambatan ekonomi yang signifikan. Pasalnya, serangan tersebut menyebabkan gangguan rantai pasok energi, mengingat Rusia sebagai salah satu negara pemasok energi terbesar global.

Uni Eropa yang juga turut menjaga imejnya yang menolak invasi Rusia memutuskan untuk menolak produk-produk Rusia atau biasa disebut dengan dumping. Menghadapi hal tersebut, Rusia memberikan serangan balasan dengan mematikan pasokan energi gas nya ke Eropa, salah satunya dengan menghentikan pasokan gas pipa Nord Stream.

Hal ini menyebabkan permintaan energi Eropa beralih ke sumber energi selain gas yaitu batu bara. Tingginya lonjakan permintaan mendorong harga si pasir hitam melesat sempat mencapai US$450 per ton.

Komoditas energi yang merupakan bahan dasar untuk berbagai industri tentu saja kenaikan harganya akan mempengaruhi lonjakan berbagai barang lainnya, sehingga turut menjadi faktor terjadinya inflasi.

Tantangan 'kemandirian energi' Eropa

Eropa yang terancam dari gangguan energi harus mengamankan pasokan energi alternatif, yang hingga saat ini sebagian besar juga berasal dari Rusia. Masalah ini mendorong beberapa negara Eropa memberikan keringanan kepada konsumen yang menghadapi tingginya biaya energi.

"Mengapa perekonomian kita mengalami perlambatan setelah rebound yang kuat pasca pandemi? Saya pikir ini karena tantangan untuk mencapai kemandirian energi, yang sangat merugikan keluarga kami dan memicu inflasi," kata Gentiloni.

Namun, data ekonomi terkini telah menimbulkan kekhawatiran mengenai perlambatan. Misalnya, aktivitas bisnis Eropa mengalami kontraksi selama bulan Agustus, yang bahkan lebih rendah dibanding era covid-19 pada November 2020.

Uni Eropa menggantungkan 70% pasokan batu bara thermal dan 40% pasokan gas kepada Rusia. Uni Eropa juga mengimpor gandum dalam komoditas pangan dalam jumlah besar dari Rusia dan Ukraina sehingga perang membuat harga makanan di kawasan tersebut terbang. Alhasil, inflasi pun terbang.

Inflasi telah mereda dalam beberapa bulan terakhir, namun data terbaru menunjukkan angka inflasi stabil masih tinggi di bulan Agustus dibandingkan bulan sebelumnya di 5,3% (year on year/yoy). Meskipun lebih rendah dibandingkan awal tahun ini, angka tersebut masih jauh di atas target Bank Sentral Eropa (European Central Bank/ECB) sebesar 2%.



Inflasi tinggi di Uni Eropa pun kemudian memaksa bank sentral Eropa (ECB) untuk mengerek suku bunga acuan hingga 425 bps sejak Juli tahun lalu. Dengan lonjakan suku bunga tentu saja permintaan akan terdampak sehingga konsumsi hingga investasi di Uni Eropa pun turun.

(mza/mza)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation