
Huru-Hara Sektor Keuangan Global Muncul Lagi, Ini Sebabnya!
![[DALAM] The Fed [DALAM] The Fed](https://awsimages.detik.net.id/visual/2019/03/21/75fa6080-b8ec-4cd2-901c-2c27fe8c36d3_169.jpeg?w=900&q=80)
- Sektor keuangan kembali dilanda huru-hara mulai dari Moody yang downgrade kredit bank AS, perlambatan ekonomi global, resesi eropa, hingga ketegangan Rusia yang masih panas dan melonjaknya harga minyak.
- Kabar buruk sektor keuangan jadi momok menakutkan terutama bagi bank-bank kecil yang sangat rentan terhadap suku bunga.
- Era suku bunga tinggi dan sektor keuangan yang terguncang mempengaruhi pasar keuangan global.
Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor keuangan global kembali dilanda huru-hara terutama dari Amerika Serikat (AS) akibat lembaga pemeringkat Moody's secara serentak memangkas satu tingkat pada 10 bank pemberi pinjaman kecil hingga menengah.
Moody's mengingatkan bahwa kekuatan kredit perbankan sedang diuji oleh risiko pendanaan akibat suku bunga simpanan meningkat yang membuat profitabilitas tergerus. Bahkan, enam raksasa perbankan, termasuk Bank of New York Mellon, U.S Bancorp, State Street, dan Trust Financial sedang ditinjau untuk kemungkinan penurunan peringkat.
Sebagai informasi, Moody's menurunkan peringkat kredit beberapa bank pada Senin, (9/8/2023). Lembaga ini memangkas peringkat 10 bank AS satu tingkat. Bank yang diturunkan peringkatnya oleh Moody's antara lain M&T Bank, Pinnacle Financial Partners, Prosperity Bank dan BOK Financial Corp.
Padahal, kepercayaan investor akan bank AS sudah mulai pulih setelah rilis hasil kinerja keuangan bank besar yang memuaskan. Akan tetapi, beda nasib pada bank-bank kecil yang menelan pil pahit dari kinerja lama yang melempem.
Data di atas menunjukkan perbandingan kinerja bank besar dan bank kecil yang nasib-nya kontras. Amblesnya laba bank kecil jadi satu alasan kenapa Moody's menurunkan rating kredit.
Pasar juga sepertinya terlena dengan data capaian laba positif dari bank besar, padahal awal tahun lalu sektor keuangan sempat dilanda kehancuran tiga bank yang sampai harus diselamatkan FDIC melalui bailout, yakni Silicon Valley Bank, Signature Bank, dan Silvergate Bank.
Tergerus-nya laba mulanya terjadi akibat efek domino dari kebijakan ketat the Fed yang menaikkan suku bunga. Sikap bank sentral AS ini terbilang menjadi pedang bermata dua yang mana baik untuk menjinak-kan inflasi tetapi imbasnya buruk bagi sektor finansial.
Keputusan hawkish the Fed menaikkan suku bunga sudah terjadi sejak Maret 2022 hingga sebulan lalu dengan akumulasi mencapai 550 basis poin (bps). Pada Juli tahun ini suku bunga acuan berada di kisaran 5,25% - 5,50%, naik 25 basis poin dibandingkan pertemuan sebelumnya. Level ini menjadi yang tertinggi dalam 22 tahun berjalan.
Kebijakan tersebut diambil the Fed dalam rangka menjinakkan inflasi yang pada Juni tahun lalu yang sempat mencapai 9,1% secara tahunan (yoy). Ini merupakan angka tertinggi sejak 40 tahun silam.
Inflasi yang melambung terjadi akibat imbas harga minyak melonjak ke level US$ 130/barel per Maret 2022, yang merupakan dampak dari ketegangan geopolitik Rusia-Ukraina. Masalah ini nampaknya mulai diwaspadai kembali, pasalnya upaya damai kedua negara tersebut harus kembali gagal.
Melansir dari perundingan yang melibatkan setidaknya 40 negara digelar di Jeddah, Arab Saudi pada Sabtu (5/8/2023) membahas konflik Rusia-Ukraina. Dalam pertemuan tersebut ada AS, China, dan India yang diharapkan bisa menjadi kunci untuk mendorong kecepatan mengakhiri perang.
Namun, faktanya Rusia malah tak hadir akan tetapi Kremlin tetap memantau ketat pertemuan tersebut. Sekutu dekat negara beruang merah, yakni China mengirimkan utusan khusus untuk wilayah Eurasia, Li Hui.
Di sisi lain,pelaku pasar memprediksi harga minyak bakal naik kembali ke level US$ 100/barel akibat sikap salah satu negara yang masuk OPEC+ yakni Arab Saudi secara sukarela memangkas produksi hingga 1 juta barel per hari.
Hingga akhir Juli, Organisasi Pengekspor Minyak diketahui telah memompa 27,33 juta barel per hari (bpd), turun 840.000 bpd dibandingkan bulan sebelumnya. Hal ini menjadi yang terendah sejak September 2021, menurut survei Reuters.
Kenaikan harga minyak ini menjadi salah satu yang perlu diwaspadai, sebab bisa menjadi ancaman bagi inflasi. Apalagi, kondisi saat ini di era suku bunga tinggi telah menjerat bank-bank kecil di AS menjadi sangat rentan.
Dampaknya, bisa domino bagi perekonomian yang potensi masuk ke jurang resesi. Bahkan di Eropa telah secara resmi mengalami perlambatan ekonomi dengan pertumbuhan di zona negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Perlambatan ekonomi pada dasarnya sudah menjadi risiko sejak beberapa tahun ke belakang akibat pandemi Covid-19, perang Rusia - Ukraina, masalah rantai pasokan, hingga inflasi yang melambung.
Di kawasan Asia terutama di China juga menunjukkan pertumbuhan ekonomi yang masih loyo, terbaru dari negeri asal Panda ini malah mengalami deflasi dengan nilai inflasi per Juli 2023 tumbuh negatif -0,3% yoy, dibandingkan bulan sebelumnya yang tidak ada pertumbuhan atau 0%.
Kondisi China dan AS pada dasar-nya sangat kontras saat ini, dimana AS berharap inflasi bisa turun tetapi China punya ekspektasi bisa menaik-kan inflasi agar ekonomi-nya bisa terakselerasi.
Kendati demikian, risiko perlambatan ekonomi masih jadi hal sama yang perlu diantisipasi dan diupayakan solusi-nya melalui kebijakan fiskal serta moneter yang akomodatif agar setiap industri bisa mempertahankan kinerja yang tentu akan berdampak positif pada akselerasi ekonomi ke depan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.
(tsn/tsn)