Krisis Buat Bank-Bank AS Jadi Beda Kasta, di RI Sama Saja?

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
07 August 2023 12:20
Infografis: Simak! Usai 'Mati Suri', 10 Bank Mini Bangkit dari 'Kubur'
Foto: Infografis/Simak! Usai 'Mati Suri', 10 Bank Mini Bangkit dari 'Kubur'/Arie Pratama
  • Kebijakan the Fed yang hawkish menjadi satu kekhawatiran bisa meningkatkan gap kinerja keuangan bank besar dan bank mini di AS
  • Gap besar yang terjadi membuat nasib bank mini jadi rentan karena tidak memiliki fundamental yang cukup kuat untuk menahan tekanan kenaikan suku bunga terutama pada simpanan.
  • Beruntungnya, perbankan RI masih bernasib lebih baik dibanding bank AS karena kondisi makro yang membaik dan likuiditas bank tetap longgar.

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis perbankan di Amerika Serikat (AS) pada Mei tahun ini seperti tidak dirasakan bank-bank raksasa AS dan hanya berimbas besar ke bank kecil. 

Bank-bank besar AS justru membukukan kinerja moncer pada periode April-Juni setelah krisis perbankan menghantam AS.
Sebaliknya, krisis perbankan sangat terasa pada bank kecil sebagai imbas dari kenaikan suku bunga.
Krisis sudah membuat kinerja bank kecil jadi cukup rentan dan beberapa bank kecil runtuh.

Berdasarkan data terbaru untuk kinerja sepanjang April - Juni 2023, empat bank besar AS mencetak bottom line positif.
JPMorgan Chase dan Wells Fargo bahkan bisa tumbuh di atas 50% secara tahunan (year-on-year/yoy). Kontras dengan bank besar, kinerja dari bank-bank mini beda nasib karena masih merasakan penyusutan laba di periode yang sama.

Gap yang besar antara kinerja bank besar dan bank mini jadi satu kekhawatiran karena sikap bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) yang masih cenderung hawkish bisa menaikkan suku bunga acuan lagi.

Naiknya suku bunga the Fed cenderung memicu bank untuk menaikkan suku bunga simpanan dan kredit. Ketika suku bunga kredit naik, beban debitur meningkat sementara minat kredit baru bisa tertekan karena suku bunga tinggi tidak menarik.

Sebaliknya, bank juga harus membebankan biaya simpanan yang lebih tinggi untuk menarik minat nasabah menyimpan uang-nya. Padahal, bank dapat untung dari selisih suku bunga kredit yang disalurkan dengan suku bunga simpanan yang diberikan.

Bank besar di AS katakanlah memang masih memiliki kinerja solid, akan tetapi beda nasib dengan bank masih yang susut laba-nya. Kondisi bank mini jadi makin rentan karena suku bunga the Fed naik bisa meningkatkan beban simpanannya.

Di sisi lain, apabila penyaluran kredit belum bisa tumbuh ekspansif, margin bank juga bisa semakin tergerus. Efek domino ini membuat kesenjangan kinerja antara bank besar dan bank kecil di AS makin tinggi.

Kesenjangan ini juga semakin diperparah pada awal tahun lalu ketika sejumlah bank AS seperti Silicon Valley Bank (SVB), Silvergate Bank, dan Signature Bank harus mengalami nasib pahit kebangkrutan, bahkan untuk menyelamatkan nasabahnya mereka perlu di bailout oleh Federal Deposit Insurance Corporation (FDIC).

Hal tersebut membuat nasabah yang was-was mengalami kejadian sama menjadi lebih konservatif dengan cara memindahkan uang-nya ke bank yang lebih besar, karena dirasa lebih aman.

Lantas apakah ini akan terjadi di Indonesia?

Pada dasarnya keretakan bank mini di AS terjadi akibat lonjakan suku bunga bank sentral AS (The Federal Reserve/The Fed). Lonjakan suku bunga membuat bunga pinjaman melonjak sehingga pertumbuhan kredit turun dan likuiditas merosot.

Bank-bank kecil juga harus berjuang keras menyeimbangkan cash flow. The Fed menaikkan suku bunga secara agresif sebesar 525 basis points (bps) menjadi 5,25-5,5% sejak Maret 2022.

Menyusul kenaikan bunga yang terlalu cepat, banyak perusahaan yang kemudian berjuang akibat naiknya ongkos pinjaman.
Bank-bank kecil juga harus berjuang untuk menyeimbangkan neraca mereka setelah pembelian surat utang secara besar-besaran selama periode quantitative easing pada 2020-2021.

Sejalan dengan The Fed, Bank Indonesia (BI) juga mengerek suku bunga acuan sebesar 225 bps menjadi 5,75%. Lonjakan suku bunga ikut membuat bunga pinjaman melonjak dan sudah berdampak kepada kredit perbankan.

Pertumbuhan kredit perbankan nasional tumbuh 7,76 (yoy) pada Juni 2023, dari 9,5% (yoy) pada Mei. Padahal, tumbuh kredit tercatat 10,64% pada Januari 2023.
Namun, 
Gubernur Perry Warjiyo, pada konferensi pers Rapat Dewan Gubernur (RDG) bulan lalu memastikan likuiditas perbankan Indonesia masih sangat mencukupi. 
Likuiditas yang baik dicerminkan rasio alat likuid terhadap dana pihak ketiga (AL/DPK) masih tercatat tinggi pada Juni 2023 sebesar 26,83%, sejalan dengan stance kebijakan likuiditas longgar.

Dari sisi bank secara rata-rata, suku bunga deposito satu bulan dan suku bunga kredit pada enam bulan pertama tahun masih terjaga rendah, masing-masing 4,14% dan 9,34%.

Selisih antara suku bunga kredit dan simpanan tersebut masih menghasilkan nilai positif yang menunjukkan potensi perbankan dalam negeri kita masih bisa mencatatkan profitabilitas cukup solid.

Sejumlah bank RI juga tercatat masih menunjukkan kinerja keuangan positif hingga kuartal kedua tahun ini. Seperti Bank Central Asia (BBCA) dan Bank Mandiri (BMRI) yang keduanya berhasil mencetak pertumbuhan laba dua digit.

Begitu pula bank-bank kecil nampaknya sudah mulai ada perbaikan kinerja akibat peningkatan modal semakin kuat, terlihat dari data data rasio kecukupan modal atau capital adequacy ratio (CAR) berdasarkan data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) per Mei 2023 berada di 26,11%.

Peningkatan struktur modal juga sesuai dengan kebijakan OJK yang mewajibkan bank memiliki modal inti minimal Rp3 triliun.
Dengan begitu, banyak aksi korporasi yang dilakukan sejumlah bank demi meningkatkan modal mulai dari merger, akuisisi, right issue, hingga private placement dari berbagai angle investor.

Selain kredit perbankan, penurunan juga terjadi pada dana pihak ketiga (DPK). DPK hanya tumbuh 5,97% yoy pada Juni 2023, lebih rendah dibandingkan bulan sebelumnya yang tumbuh 6,55% yoy.

Apabila kondisi penyaluran kredit tak tumbuh ekspansif lagi ada potensi jadi hambatan bank menghasilkan laba yang lebih tinggi.
Akan tetapi, jika menilai dari margin bank yang masih tinggi risiko ini tidak akan setinggi di AS, mengingat juga bank big caps dalam negeri masih mencatatkan profitabilitas solid dan ketahanan modal kuat, serta likuiditas longgar. 

Tak heran jika valuasi terapresiasi dan seakan sudah mahal, tetapi secara keseluruhan kondisi perbankan domestik masih memiliki prospek pertumbuhan menarik yang ditopang kebijakan moneter fiskal akomodatif, serta kondisi ekonomi yang masih positif.

CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected] 

(tsn/tsn)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation