
Pesta Pora di Juli, Mampukah Batu Bara Tahan Guncangan?

- Harga batu bara terbang pada Juli hingga mencetak rally panjang selama sembilan hari
- Gelombang panas membuat harga batu bara terus rally
- Harga batu bara dipekirakan akan melandai sejalan dengan melemahnya gelombang panas
Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara mengalami jatuh bangun sepanjang Juli 2023 hingga pecahkan rekor rally kenaikan dan penurunan sepanjang 2023.
Hampir separuh bulan awal harga batu bara anjlok dan sisa bulan Juli batu bara kembali rebound. Volatilitas sepanjang Juli disinyalir akibat berbagai sentimen positif maupun negatif.
Bulan Juli di awali fase downtrend beruntun selama delapan hari menjadikan rally penurunan terpanjang tahun ini dalam periode 4-13 Juli, terakhir terjadi pada Maret 2022 delapan kali.
Amblesnya batu bara hingga menyentuh harga bottom US$127,15 atau terendah sejak 2 tahun silam (30 Juni 2021).
Pasca penurunan panjang, batu bara kembali dibanjiri sentimen positif yang kembali mengangkat harga, hingga memecahkan rekor kenaikan terpanjang 2023 sebanyak sembilan kali dalam periode 14-26 Juli.
Rally kenaikan ini terakhir kali terjadi pada November 2022 sebanyak 10 kali. Sayangnya, kenaikan beruntun ini tetap tidak mampu mengembalikan harga batu pada awal Juli yang berada di atas US$150 per ton.
Dengan demikian, harga batu bara bulan Juli telah pecahkan tiga rekor sepanjang 2023. Penurunan beruntun terbanyak, kenaikan berturut-turut terpanjang, dan harga batu bara menyentuh bottom.
Merujuk pada Refinitiv, harga batu bara ICE Newcastle NCFMc2 kontrak Agustus ditutup di posisi US$ 140,90 per ton pada Senin (1/8/2023) dan kembali melemah ke US$ 138, 85 per ton pada perdagangan Selasa (2/8/2023).
Penggerak harga batu bara tentunya berasal dari produsen, konsumen, dan importir batu bara terbesar dunia yaitu China. Kemudian, faktor kedua dapat dilihat dari India sebagai negara konsumen terbesar kedua. Uni Eropa dan Amera Serikat menjadi konsumen terbesar selanjutnya.
Indonesia sebagai eksportir terbesar juga tentunya berperan besar dalam mempengaruhi tingkat pasokan. Australia dan Rusia menduduki peringkat kedua dan ketiga sebagai eksportir terbesar.
Oleh sebab itu, negara-negara tersebut perlu menjadi perhatian utama terkait pergerakan harga batu bara.
Beragam fenomena yang terjadi pada negara tersebut mampu menggerakkan harga batu bara. Berikut sentimen negatif utama penggerak penurunan harga pada awal bulan.
Sentimen Negatif: Kekhawatiran Deflasi Dua Raksasa Ekonomi
Awal Juli dimulai dengan sentimen suku bunga tinggi yang menahan laju pertumbuhan. Data dari Biro Statistik Nasional (NBS) China, melaporkan indeks harga konsumen (consumer price index/CPI) turun menjadi 0% pada Juni 2023 (year-on-year/yoy).
Inflasi China yang rendah mengindikasikan perlambatan ekonomi, sehingga harga batu bara turun seiring dengan kekhawatiran terjadinya deflasi di China. Hal ini disebabkan oleh lambatnya recovery perekonomian pasca lockdown untuk mencegah penularan covid-19.
Dari Negeri Paman Sam, Data TradingEconomics mencatat inflasinya menunjukkan terkendalinya kenaikan harga (CPI) secara tahunan (yoy) menjadi hanya 3% di bawah prediksi pasar di 3,1%. Hal ini menjadikan inflasi AS juga terendah sejak 2021.
Penurunan laju inflasi artinya harga menurun yang menandakan perekonomian akan mengalami slow down. Kendati demikian, sentimen ini juga akan berdampak positif dengan perekonomian yang di bottom artinya berpotensi terjadi pembalikan arah.
Pasar pun merespon lebih cepat dengan rebound kenaikan sembilan hari beruntun yang diiringi sentimen positif.
Sentimen Positif: Perubahan Cuaca dan Prospek Harga Batu Bara
Konsumsi energi kotor yang tinggi menyebabkan terjadinya perubahan iklim signifikan dan musim yang sulit diprediksi. China yang dilanda gelombang panas (heatwaves) menyebabkan permintaan listrik China yang memecahkan rekor.
Heatwaves yang terjadi di Negeri China menyebabkan permintaan listrik melonjak, menyebabkan konsumsi batu bara menyentuh rekor di lebih dari 1.000 pembangkit listrik tenaga batu bara di China, melansir Democracy Now.
Pertengahan Juli lalu China dihadang cuaca 'neraka', di mana suhu telah mencapai rekor 52,2 derajat Celcius (126 derajat Fahrenheit) di barat laut negara itu selama akhir pekan.
Selain itu, badai El Nino juga terjadi di Eropa yang menyebabkan suhu Spanyol mencapai 44 derajat celcius, menurut Montel.
Suhu panas ini menyebabkan penggunaan pendingin ruangan (AC) meningkat. China dengan batu bara dan Eropa yang ditopang gas alam menopang lonjakan permintaan dan harga komoditas energi turut mengalami rebound.
Tidak hanya itu, Bulan Juli ini juga dilengkapi dengan rilis data pertumbuhan ekonomi kuartal kedua dengan yang bernada positif dengan China bertumbuh 6,3% dan AS meningkat 2,6% (yoy) lebih tinggi dibanding kuartal sebelumnya.
Namun, AS yang masih dikhawatirkan dengan tingkat inflasinya membuat Bank Sentral (The Fed) kembali menaikkan suku bunga pada akhir Juli. Sontak, sentimen ini menjadi pemecah kenaikan harga batu bara beruntun.
Namun, seiring inflasi AS yang mulai terkendali berpotensi membatasi kenaikan suku bunga ke depan yang akan diikuti bank sentral global.
Dengan demikian, kegiatan industri global berpotensi kembali melaju cepat dan permintaan listrik industri meningkat, sehingga akan menjadi potensi kenaikan harga batu bara dalam jangka panjang. Hal ini sejalan dengan proyeksi IEA (International Energy Agency) yang memperkirakan rebound pada 2024.
Selain itu, beberapa perkiraan menunjukkan volume konsumsi batu bara sisa tahun 2023 dapat lebih tinggi 3-5% atau mungkin lebih, dibanding 12 bulan sebelumnya. Jika kisaran atas tercapai tahun ini, konsumsi akan mendekati level rekor sepanjang masa. Mampukah batu bara kembali mencetak rekor-rekor baru lainnya?
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mza/mza)
