sectoral insight

Petaka Baru Membuat Harga Energi Mendidih Lagi, Sampai Kapan?

Muhammad Reza Ilham Taufani, CNBC Indonesia
31 July 2023 09:30
Batu bara
Foto: Pexels/igor
  • Gelombang panas membuat harga komoditas energi kembali melonjak
  • Harga batu bara dan minyak diproyeksi masih akan kencang ke depan
  • Selain karena gelombang panas, permintaan energi naik karena pasokan terbatas

Jakarta, CNBC Indonesia - Dunia dihadapkan pada petaka baru berupa lonjakan suhu panas yang sangat ekstrem. Gelombang panas membuat harga energi yang semula sudah melandai kini melonjak kembali.

Gelombang panas menghantam banyak negara sejak Mei lalu, mulai dari Vietnam, Thailand, India, China, hingga yang terbaru Eropa.
Penggunaan listrik pun kemudian meningkat pesat sehingga harga komoditas energi kembali melonjak.
Sebagai contoh, harga batu bara sempat melambung ke level US$ 450 pada September 2022 tetapi kemudian terus melandai ke level US4 120 per ton pada Juni. Namun, harganya melonjak pada pekan lalu kembali ke posisi US$ 148 per ton.

Meningkatnya penggunaan energi fosil pada dua bulan terakhir juga menunjukkan betapa manusia masih sangat bergantung pada bahan bakar fosil.

Tak hanya harga komoditas energi yang melonjak, pemanasan global pun semakin parah. Hal ini mendorong harga komoditas energi melambung, menciptakan ironi yang pahit bagi manusia.

Paris Agreement yang disepakati pada tahun 2015 telah menjadi komitmen dunia dalam menghadapi masalah perubahan iklim. Perjanjian ini bertujuan untuk menahan peningkatan suhu global di bawah 2°C dari tingkat pra-industri dan bahkan berupaya membatasi kenaikan suhu hingga 1,5°C. Namun, upaya untuk membatasi pemanasan global ini dihadapkan pada tantangan tingginya kebutuhan energi dunia.

Kebijakan Quantitative Easing (QE) yang berhasil memacu perekonomian dunia saat pandemi justru menurunkan produksi bahan bakar fosil dan menyebabkan rendahnya persediaan, yang berujung pada lonjakan harga komoditas energi.

Konflik antara Rusia dan Ukraina menyebabkan gangguan pasokan energi, terutama karena Rusia adalah salah satu eksportir batu bara terbesar di dunia.
Perang Rusia-Ukraina yang meledak pada akhir Februari 2022 membawa harga komoditas pada level yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Harga batu bara melonjak hingga mencapai US$450 per ton, tiga kali lipat lebih tinggi dari periode komoditas booming pada tahun 2011.

Kenaikan harga komoditas energi ini telah menyebabkan inflasi global. Untuk mengatasi hal ini, bank sentral dunia menerapkan kebijakan suku bunga ketat untuk menahan laju inflasi.
Namun, masalah utama tetap berada pada rendahnya persediaan global. Hal ini membuat harga komoditas terjun bebas seperti sebelum pandemi, seperti harga batu bara yang belum bisa ke bawah level psikologis US$120 per ton.
Secara volume, permintaan global masih tinggi di tengah melandainya harga.

Bank Sentral Amerika Serikat (AS) Federal Reserve (The Fed) telah meningkatkan suku bunga acuan menjadi 5,25-5,5%, yang merupakan yang tertinggi sejak 2001. Namun, The Fed diprediksi akan segera melunak sejalan dengan melandainya inflasi AS.

Bank sentral lain seperti China bahkan sudah memilih untuk melunak dengan menahan suku bunga.
Prospek industri dan harga komoditas tetap menjanjikan dengan kemungkinan dukungan The Fed dan bank sentral lain yang dovish.

Melihat ke depan, ada tiga kunci pendukung struktural outlook komoditas untuk dekade mendatang.
Pertama, kurangnya investasi dalam pasokan komoditas. Kedua, dekarbonisasi menjadi pendorong harga komoditas yang tinggi dan membatasi pasokan lebih lanjut.
Ketiga, deglobalisasi rantai pasokan akan menyebabkan inflasi komoditas.

Batu Bara

Fase bullish komoditas mulai tampak dengan harga batu bara yang mengalami rally kenaikan harga selama sembilan hari berturut-turut atau rekor terpanjang tahun ini.
Harga batu bara ICE Newcastle kontrak Agustus telah rebound 13,7% ke US$ 144,65 per ton, dari terendahnya tahun ini di US$127,15 per ton.

Penguatan harga si pasir hitam disinyalir akibat potensi pertumbuhan ekonomi China yang telah memangkas suku bunga, meski Amerika Serikat masih hawkish.
Hal ini disebabkan China merupakan konsumen batu bara terbesar dunia, sehingga pergerakan harga akan sangat bergantung dengan konsumsi China.

Rencana stimulus ekonomi dari pemerintah China juga ikut mendongrak harga batu bara. Beijing tengah menyiapkan stimulus ekonomi untuk menggerakkan konsumsi masyarakat.
Bila ekonomi China menguat maka permintaan akan listrik dan batu bara bisa meningkat terus.

Tidak hanya itu, penggunaan pembangkit listrik China naik sebesar 5,2% pada paruh pertama tahun 2023 menurut OilPrice, seiring dengan adanya gelombang panas yang meningkatkan penggunaan pendingin ruangan.
Produksi listrik berbahan bakar batu bara menopang 71% dari output listrik Cina.

Penguatan juga diiringi oleh pasokan India, konsumen batu bara terbesar kedua, yang terkoreksi 3% secara mingguan. Stok batubara termal di 21 pelabuhan utama India turun pada 22 Juli 2023, ungkap data CoalMint.

Penurunan stok berpotensi mendorong harga batu bara akibat potensi peningkatan permintaan ke depan.

Di Uni Eropa, pertumbuhan permintaan batubara akan berkurang dibanding pada 2022. Tahun lalu impor batu bara Eropa melonjak sementara pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Hal ini dilakukan untuk menghadapi tekanan akibat penghentian pasokan gas dari Russia.

Di Amerika Serikat, perpindahan dari batu bara juga ditekankan oleh harga gas alam yang lebih rendah. Hal ini berdampak pada transisi penggunaan sumber energi ke gas yang merupakan substitusi dari batu bara yang lebih tidak ramah lingkungan dibanding gas.

Minyak dan Gas

Peningkatan dalam beberapa hari terakhir juga dialami komoditas minyak dan gas (migas). Harga minyak brent melesat tembus US$80 per barel.
Harga minyak melesat 16,5% sejak akhir Juni berada di US$84 per barel. Hal serupa juga terjadi di komoditas gas alam Eropa yang rebound dari US$25,1/MWh (17/7) naik ke US$32,6.

Kenaikan harga gas dalam jangka pendek terjadi seiring dengan panas ekstrem yangdirasakan di Belahan Bumi Utara.
Harga segalon bensin meningkat 4 sen hari Selasa lalu (25/7) atau kenaikan terbesar di AS dalam setahun. Melansir Yahoo Finance, harga segalon minyak di Florida melonjak 8 esn dalam sehari. Seminggu terakhir, harga gas melesat hingga 10 sen.
Kenaikan ini akan berdampak pada setiap negara bagian menurut American Automobile Association (AAA).

Harga bensin saat ini berada di US$3,64 per galon, menurut AAA, jauh lebih rendah dari harga puncaknya pada musim panas lalu di atas US$5. Tetapi, harga bensin telah merangkak naik ke US$3,55 per galon per 4 Juli.

Selama enam minggu terakhir harga minyak telah naik 17%.
Andy Lipow, Presiden Lipow Oil Associates dalam CNN, mengaitkannya dengan dua faktor utama yaitu pemotongan produksi dari Rusia dan OPEC, dan panas yang memecahkan rekor yang telah menghanguskan separuh dunia selama waktu itu.

Temperatur yang sangat tinggi dapat menyebabkan kilang minyak memangkas produksi sebab kilang tidak kuat suhu tinggi layaknya manusia kata Lipow.
Alhasil, kebutuhan pendingin ruangan mengalami peningkatan konsumsi listrik, padahal persediaan energi migas AS turun akibat produksi yang dipangkas.

Secara keseluruhan, krisis energi yang dipicu oleh perubahan iklim dan harga komoditas yang mencapai rekor tertinggi menjadi tantangan besar bagi dunia. Diperlukan tindakan konkret dan kolaboratif untuk menghadapi perubahan iklim dan mencari solusi alternatif energi yang berkelanjutan dan dilakukan secara bertahap.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

 

(mza/mae)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation