Tren Baru, Investor Institusi Pindah ke Instrumen Ini?

Aulia Akbar, CNBC Indonesia
25 July 2023 06:25
Ilustrasi Investasi
Foto: istimewa

Jakarta, CNBC Indonesia - Awan gelap menyelimuti industri reksa dana di sepanjang 2022, dana kelolaan industri reksa dana mengalami penurunan dalam kurang lebih sebesar 11,4% dari Januari hingga Desember, dari yang awalnya Rp 574 triliun menjadi Rp 508 triliun. Akankah minat investasi di instrumen ini meningkat di 2023 hingga dana kelolaan berhasil terkerek lagi?

Di awal 2023, Anthony Dirga, pimpinan salah satu perusahaan manajer investasi Trimegah Asset Management mengatakan bahwa penurunan dana kelolaan industri reksa dana disebabkan karena kondisi pasar yang tidak menentu, akibat perang Rusia - Ukraina, lonjakan inflasi di Amerika Serikat (AS), serta kebijakan moneter agresif bank sentral negara-negara di dunia, terutamanya adalah Negeri Paman Sam, The Federal Reserve (The Fed).

Karena tekanan-tekanan di global, pasar saham menjadi sideways di Januari dan bahkan bila ditarik secara year to date (YTD) hingga artikel ini dibuat, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) tercatat hanya tumbuh 0,44%.

Selain itu, Anthony menilai kasus Jiwasraya dan Asabri yang terjadi di beberapa tahun sebelumnya juga membuat risk appetite investor-investor institusi besar di Indonesia semakin menurun.

Jika dilihat dalam setahun ke belakang berdasarkan data Edvisor.id, Indeks Reksa Dana Pendapatan Tetap menjadi jawara dengan pertumbuhannya yang mencapai 7,68 % Year on Year (YoY), diikuti pula oleh Reksa Dana Pendapatan Tetap Berbasis Sukuk (7,4% YoY), dan Pasar Uang (3,4% YoY).

Saat seseorang berinvestasi di reksa dana, kata dana kelolaan atau nilai aktiva bersih (NAB) itu sendiri seringkali terdengar.

Sebelum membahas lebih jauh mengenai dana kelolaan, ketahuilah bahwa saat perusahaan Manajer Investasi (Asset Management) meluncurkan penawaran dana baru atau new fund offering (NFO), setelah dana dikumpulkan maka dana itu akan diinvestasikan ke berbagai instrumen seperti saham, surat utang, dan atau instrumen pasar uang sesuai tujuan.

Setelah dana itu diinvestasikan, maka skema dana kelolaan akan muncul. NAB atau dana kelolaan reksa dana itu adalah harga pasar dari aset-aset di portofolio reksa dana (saham atau obligasi atau pasar uang) setelah dikurangi biaya administrasi.

Jika dilihat dalam kurun waktu 10 tahun, dana kelolaan reksa dana memang mengalami kenaikan tertinggi di 2021 sebelum akhirnya turun di sepanjang tahun 2022. Meski terjadi kenaikan di tahun 2023, ada baiknya pula bagi kita untuk mengetahui secara detail terkait pertumbuhannya di setiap bulan di 2023.

 

Di sepanjang tahun 2023, dana kelolaan industri reksa dana juga mengalami penurunan sejak Januari hingga yang terendahnya di bulan April. Sinyal kenaikan pun terlihat pada Mei, namun hingga Juni 2023, besaran dana kelolaan ini bahkan masih di bawah Januari 2023.

Dan jika ditelaah lagi dari total dana kelolaan yang sebesar Rp 511 triliun, porsi terbesar mash ada pada reksa dana pendapatan tetap, diikuti reksa dana terproteksi dan saham.

 

Bisa dibilang sejak 2019 hingga 2021, reksa dana terproteksi selalu menjadi reksa dana dengan total dana kelolaan terbesar. Hanya saja mulai 2022, posisi itu ditempati oleh reksa dana pendapatan tetap.

 

Besar kemungkinan, hal ini terjadi karena adanya kenaikan harga SBN di pasar yang akhirnya membuat investor berbondong-bondong pindah ke reksa dana dengan aset dasar instrumen berbasis utang ini. Alhasil NAB dari reksa dana tersebut ikut naik, begitu pula dengan kinerja reksa dananya.

Perusahaan asuransi jiwa kurangi reksa dana & beralih ke SBN

Berdasarkan POJK Nomor 5 Tahun 2023 yang merupakan revisi atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 71/POJK.05/2016 Tentang Kesehatan Keuangan Perusahaan Asuransi dan Reasuransi, terdapat pembatasan atas Aset yang Diperkenankan dalam bentuk investasi seperti yang tertera di Pasal 11.

Terkait saham yang tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), untuk setiap emitennya adalah 10% dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 40%. Sementara untuk reksa dana untuk setiap Manajer Investasi paling tinggi 20% dari jumlah investasi dan seluruhnya paling tinggi 50% dari jumlah investasi.

Perusahaan penerbit asuransi tentunya bakal tidak akan sembarangan memilih reksa dana, sebagai investasinya.

Berdasarkan data dari statistik asuransi yang dipublikasikan OJK, reksa dana menjadi tempat ketiga terbesar saham dan surat berharga negara bagi perusahaan asuransi menaruh investasinya di 2023.

Padahal, di tahun 2022 reksa dana menjadi aset investasi terbesar bagi perusahaan asuransi jiwa.

Investasi reksa dana di perusahaan asuransi jiwa sendiri telah menurun 7,9% dari yang awalnya Rp 101 triliun menjadi Rp 93 triliun dari Januari hingga Mei 2023.

Adanya aturan terbaru dari OJK, serta kondisi global saat ini juga terbukti membuat banyak perusahaan asuransi mengambil langkah yang lebih konservatif dalam investasinya.

Saat ini terjadi peningkatan jumlah aset SBN yang notabene adalah instrumen bebas risiko gagal bayar di portofolio investasi perusahaan asuransi.

Ada yang lebih menarik daripada reksa dana?

Bukan saham bukan SBN, melainkan Kontrak Pengelolaan Dana (KPD) atau yang kerap disebut dengan istilah Discretionary Fund.

Sebetulnya, KPD juga merupakan produk yang ditawarkan manajer investasi yang pengawasannya ada di bawah OJK. Yang membedakan KPD dengan reksa dana salah satunya adalah kontraknya.

Reksa dana adalah Kontrak Investasi Kolektif (KIK) antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian. Ketika Anda membeli reksa dana, maka Anda harus tunduk dengan semua syarat dan ketentuan KIK yang diringkas dalam prospektus.

Sementara KPD, investor akan mengikatkan diri dengan manajer investasi dalam sebuah kontrak. Perorangan, perusahaan asuransi, dana pensiun, perusahaan atau apapun itu, bisa melakukan hal ini.

Peraturan yang ada di KPD juga jauh lebih fleksibel ketimbang reksa dana. Akan tetapi tetap aturan yang harus dipenuhi dalam KPD itu sendiri, beberapa di antaranya adalah, dana kelolaan minimum Rp 10 miliar, penyimpanan aset di Bank Kustodian, dan kontrak harus dilaporkan ke OJK.

Berdasarkan data OJK per Juni 2023, dana kelolaan dari KPD sudah mencapai Rp 274 triliun alias setara dengan 53% total dana kelolaan reksa dana.

Bagi investor-investor berdana jumbo, KPD bisa jadi sangat menjanjikan karena mekanismenya yang fleksibel terhadap pemilihan-pemilihan aset investasi. Hal ini tentu juga bisa menjadi solusi bagi perusahaan asuransi maupun institusi lain yang memang membutuhkan pengelolaan dana investasi yang optimal.

Investor ritel bisa jadi mutiara terpendam

Berdasarkan Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan Tahun 2022, indeks literasi dan inklusi meningkat jadi 49,68% dan 85,10%.

Literasi menggambarkan sebuah pemahaman, keterampilan, seseorang untuk meningkatkan kualitas pengambilan keputusan terkait keuangan, sementara inklusi adalah ketersediaan akses bagi masyarakat untuk memanfaatkan produk atau layanan jasa keuangan.

Sayangnya, literasi dan inklusi pasar modal masih cukup rendah. Literasi pasar modal bahkan mengalami penurunan dari yang sebelumnya 4,92% menjadi 4,11%. Secara tidak langsung hal ini menunjukkan pula bahwa masih rendahnya pemahaman masyarakat tentang reksa dana dan manfaatnya.

Disamping adanya tantangan berat dari minat investor institusional yang mulai beralih ke KPD, tantangan dari investor ritel juga tidak bisa disepelekan.

Literasi yang rendah tentu membuat masyarakat tidak bisa memahami manfaat serta kelebihan instrumen investasi ini, serta mudah terjerumus ke investasi bodong yang dipenuhi dengan iming-iming imbal hasil tinggi.

Meski adanya tantangan yang cukup berat dari minat investasi para investor institusi, peluang akan reksa dana sejatinya ada pada investor ritel.

Sebuah teori investasi yang menjadi bagian perencanaan keuangan pribadi menyebutkan bahwa, salah satu cara untuk bisa merealisasikan mimpi di masa depan adalah dengan rutin dan konsisten berinvestasi.

Tak dipungkiri bahwa reksa dana telah menjadi salah satu jawaban ketika investor bingung menempatkan dananya.

Sebagai wadah investasi, reksa dana sejatinya merupakan investasi yang paling cocok untuk siapapun untuk mengembangkan nilai kekayaan, baik investor pemula, investor berpengalaman, investor sibuk, investor dengan banyak waktu luang, investor dengan dana terbatas, maupun investor kaya raya sekalipun.

Bayangkan, hanya dengan modal kecil saja seseorang bisa memiliki sebuah portofolio investasi yang sudah terdiversifikasi secara otomatis. Inilah yang akhirnya membuat reksa dana menjadi instrumen investasi pasar modal yang paling praktis.

Selain praktis dalam hal pembelian, investor tidak perlu melakukan pengelolaan aktif terhadap aset-aset investasinya lantaran kegiatan yang satu ini akan menjadi tanggung jawab manajer investasi yang sudah berpengalaman.

Apalagi, tidak sedikit pula reksa dana yang memiliki kinerja fantastis di atas indeks acuan, pastinya reksa dana bisa menjadi opsi cerdas bagi mereka yang ingin mencari investasi dengan keuntungan deposito, SBN, emas maupun saham sekalipun, baik dalam jangka pendek maupun panjang. 

Data dari Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI) sendiri menyebutkan bahwa jumlah Single Investor Identification (SID) reksa dana pada Juni 2023 mencapai 10,5 juta atau kurang lebih 3,8% dari total penduduk Indonesia.

Adapun pertumbuhannya adalah 9,4% jika dihitung secara YTD. Jumlah ini dinilai lebih besar ketimbang saham dan surat berharga lain yang berjumlah 8,4% dan pasar modal 8,9%.

Berdasarkan data seputar literasi pasar modal yang masih rendah dan meningkatnya jumlah investor reksa dana, PR para pelaku pasar kedepannya adalah membuat masyarakat semakin paham dengan reksa dana, mulai dari cara kerjanya, mekanisme keuntungannya, hingga potensi risikonya.

Literasi yang baik tentu akan membuat masyarakat terhindar dari jebakan investasi bodong, dan membuat reksa dana menjadi instrumen investasi yang laris.

CNBC Indonesia Research

(aak/aak)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation