
Kantong Orang RI Makmur Era SBY atau Jokowi, Ini Datanya!

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomi dan konsumsi rumah tangga di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) lebih tinggi dibandingkan periode Joko Widodo (Jokowi). Kondisi ini menandai kemampuan daya beli masyarakat yang lebih tinggi.
Namun, laju inflasi di era SBY juga sangat tinggi dibandingkan era Jokowi. Laju inflasi juga sangat menentukan daya beli masyarakat.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era SBY mencapai 5,74% dan konsumsi rumah tangga menyentuh 4,75%.
Rata-rata ini diambil dari kuartal III-2004 hingga kuartal III-2014 di mana Presiden SBY menjabat.
Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada era Jokowi mencapai 4,09% sementara konsumsi rumah tangga tumbuh 3,75%. Rata-rata tersebut diambil dari kuartal III-2014 atau masa awal pemerintahan Jokowi hingga data terbaru pada kuartal I-2023.
Perlu dicatat jika ekonomi Indonesia mengalami resesi pada 2020 setelah Covid-19 menghantam dunia. Ekonomi Indonesia mengalami kontraksi pada kuartal II-2020 hingga kuartal I-2021.
Tingginya pertumbuhan konsumsi rumah tangga menandai membaiknya kemampuan spending atau belanja masyarakat.
Konsumsi rumah tangga Indonesia secara historis biasanya tumbuh 5%. Namun, pertumbuhan tersebut mulai jatuh ke bawah 5% pada 2017. Melandainya konsumsi rumah tangga pada 2017 bahkan menjadi perdebatan panas karena dianggap sebagai bukti nyata pelemahan daya beli.
BPS secara khusus menulis laporan tersebut dalam Analisis Isu Terkini 2017. BPS menggunakan konsumsi riil untuk membedah daya beli. Sepanjang 2014-2017 memang terlihat adanya peningkatan meskipun dengan pertumbuhan yang relatif stabil antara 3,5-4,0% pada setiap kuartal.
Perbandingan dengan tahun sebelumnya menunjukkan bahwa peningkatan konsumsi per kapita antar kuartal cenderung melemah. Pertumbuhan konsumsi riil pada kuartal I-2014 masih tercatat 5,23% tetapi angkanya terus turun hingga mencapai 4,93% pada kuartal III-2017.
Inflasi Era SBY dan Jokowi
Satu perbedaan besar dari era SBY dan Jokowi adalah inflasi. Laju inflasi terbilang sangat tinggi di era SBY yakni mencapai 7,11% pada era SBY sementara pada era Jokowi hanya 3,61%.
Inflasi bahkan sempat menembus 11,06% pada Desember 2008 setelah Presiden SBY menaikkan harga BBM subsidi.
Inflasi sepanjang tahun yang tercatat di era Jokowi adalah 8,36% pada 2014 di mana Jokowi tidak memerintah secara penuh.
Inflasi berperan penting dalam menopang daya beli. Melandainya inflasi menandai semakin murahnya harga barang sehingga makin banyak barang yang diharapkan bisa terbeli. Inflasi yang rendah akan menopang pertumbuhan konsumsi rumah tangga.
Namun, inflasi yang rendah juga bisa mencerminkan ambruknya permintaan. Kondisi ini terjadi pada 2020 di mana inflasi hanya mencapai 1,68% dan menjadi yang terendah dalam sejarah.
Inflasi anjlok karena daya beli melemah setelah ekonomi hancur lebur akibat pandemi Covid-19.
Inflasi secara umum disebabkan oleh dua hal yakni naiknya permintaan (demand pull inflation) atau naiknya harga (cost push inflation).
Demand pull inflation biasanya terjadi karena permintaan yang datang lebih tinggi dibandingkan pasokan yang tersedia. Penyebabnya beragam termasuk membaiknya pertumbuhan ekonomi.
Sebaliknya, cost push inflation lebih disebabkan oleh kenaikan produksi atau kebijakan pemerintah seperti harga BBM subsidi.
Selain inflasi, pendapatan juga akan berdampak besar terhadap daya beli. Semakin tinggi tingkat pendapatan semakin kuat juga daya beli. Bagi mereka yang pendapatan tetap maka kemampuan daya beli akan merosot jika terjadi kenaikan harga yang terus menerus atau inflasi yang terus meningkat.
Besarnya pendapatan per kapita atau rata-rata semua penduduk bisa menjadi salah satu cara mengukur kemampuan daya beli.
Data BPS menunjukkan pendapatan per kapita Indonesia melonjak 236,9% di era SBY dari Rp 9,3 juta pada 2004 menjadi Rp 31,34 juta pada 2014. Pendapatan per kapita di era Jokowi meningkat 47% menjadi Rp 46,1 juta pada 201.
Rata-rata pertumbuhan pendapatan per kapita di era SBY mencapai 13,1% sementara di era Jokowi sebesar 5,72%.
Dengan melihat perbandingan di atas, SBY masih unggul dari sisi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, konsumsi rumah tangga serta pendapatan per kapita. Namun, Jokowi menang dari sisi penanganan inflasi inflasi.
Secara data, daya beli masyarakat akan lebih baik di era SBY dibandingkan era Jokowi.
Sebagai perbandingan lain adalah kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP). Dalam catatan CNBC Indonesia, UMP tidak pernah naik double digit sejak 2017.
Padahal, pada era SBY, UMP hampir selalu naik di atas 10%.
Pada 2013, misalnya, UMP naik 19,1% sementara pada 2014 sebesar 17,44%.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
