
PR Besar Capres 2024: Industri Sekarat, PHK Ada Dimana-Mana!

Satu juta orang sudah kena PHK dan akan bertambah, makin banyak rakyat cari makan sendiri tanpa kehadiran negara. Dua pertiga pekerja bahkan bekerja tanpa kontrak tertulis, rentan eksploitasi dan tanpa perlindungan. |
Jakarta, CNBC Indonesia - Saat Joko Widodo (Jokowi) didaulat menjadi presiden keenam, tanggal 20 Oktober 2014 alam semesta seolah menyambutnya dengan suka cita. Bahkan, majalah Time di Amerika Serikat menaruh wajah Jokowi di sampul depan dengan judul " A New Hope." Judul itu mewakili semua perasaan kebanyakan orang Indonesia, akan adanya perubahan signifikan atas kesejahteraan dan masa depan mereka.
Dukungan untuk Jokowi untuk memimpin 278 juta tidak bertumpu pada kekuatan partai politik, ia dielu-elukan, diinginkan semua level masyarakat. Semua histeria, akan lahirnya seorang satrio piningit yang dinanti-nanti. Desakannya menjadi presiden tak terbendung lagi. Mulai dari musisi Slank, Adi MS hingga para kritikus ekonomi yang galak, macam Rizal Ramli hingga Faisal Basri pun kepincut dengan sosok Jokowi.
Jokowi adalah anomali dalam sejarah perpolitikan Indonesia. Cuma kader partai biasa, bukan pemilik partai, bukan dari keluarga konglomerat atau politisi. Cuma tukang mebel yang merintis usaha dari nol, berhasil lalu nyalon walikota dan kemudian jadi gubernur ibukota.
Sosoknya sudah seperti lakon sinetron TV; orang biasa bisa jadi presiden, orang terkuat di Indonesia. Sebagai representasi wong cilik, Jokowi juga didukung dengan paket komplit, yakni di backupPDI Perjuangan, partai pemenang pemilu legislatif yang juga di-imej kan sebagai rumah bagi orang kecil.
Awal mulanya demikian, kebijakan Jokowi yang pahit sekalipun seperti pencabutan subsidi BBM didukung orang banyak. Masyarakat percaya, itu semua demi kebaikan, meskipun menyusahkan sementara. Namun, seiring masa bulan madu berakhir kebijakan pemerintah Jokowi mulai melenceng, orang banyak seperti kena 'prank'. Ada masalah serius dalam skala prioritas pemerintahan Jokowi, khususnya soal ekonomi dan juga penegakan hukum.
Secara teoritis, langkah Jokowi yang bertaruh besar pada pembangunan masif infrastruktur tidak salah, meskipun dengan biaya utang jombo-dan terbukti berbiaya terlalu mahal dengan rasio
Incremental Capital Output Ratio (ICOR) rata-rata 7%. Hampir semua negara maju, dan negara berkembang yang dapat keluar jebakan negara berkembang atau middle income trap. Infrastruktur, seperti jalan tol adalah kunci pembangunan, tapi dampaknya baru akan terasa dalam beberapa tahun mendatang. Demikian pula deregulasi melalui omnibus law Cipta Kerja dan hilirisasi produk tambang, itu manfaatnya nanti.
Tapi, bukankah rakyat butuh makan sekarang? Dan jawaban itu yang diharapkan bisa diselesaikan segera oleh pengganti Jokowi pada Pilpres 2024 nanti.
Badai PHK Menerjang
Di atas kertas, sektor ketenagakerjaan Indonesia tampak baik-baik saja, jauh dari problematik. Jumlah angkatan kerja, atau orang yang bekerja dan tidak bekerja pada Februari lalu mencapai 146,62 juta, naik 2,61 juta dari bulan yang sama 2022. Dari jumlah itu, yang menganggur hanya 7,99 juta atau 5,45%, sementara sisanya 138,63 juta berstatus memiliki pekerjaan. Jumlah yang bekerja ini bertambah 3 juta dalam setahun terakhir.
Namun begitu, bila dilihat secara tren boleh dibilang upaya penurunan angka pengangguran era Jokowi stagnan. Perbandingannya, sejak reformasi hingga akhir era Megawati pada 2004, angka pengangguran naik 4,4%. Sementara itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berhasil menekan angka kemiskinan dari level tertingginya 11,2% sebanyak 5,3%. Adapun Jokowi, sejak 2014 hingga Februari lalu hanya bisa menekan angkanya sebesar 0,73% sehingga membuat level pengangguran stagnan di angka 5%.
Namun, secara teoritis angka pengangguran 5% cukup baik. Standar dunia menyebut negara dengan pengangguran rendah bila angkanya berada di bawah 4%, normal 4-5% dan tinggi di atas 5%. Angka tersebut merefleksikan selain kategori orang yang benar-benar menganggur padahal butuh penghasilan, dan pengangguran sukarela seperti orang kaya yang memang sudah tidak butuh kerja untuk hidup.
Namun, faktanya dari 7,99 juta angka pengangguran tahun ini jumlahnya didominasi oleh generasi Z atau yang berusia di bawah 25 tahun. Persentase anak muda usia 15-24 yang merepresentasikan lulusan SMA dan sarjana semakin tahun semakin naik, atau menunjukkan adanya kesulitan anak-anak muda sekarang mencari pekerjaan. Pada 2022 pengangguran usia 15-24 mencapai 46% sementara usia 25-59 sebesar 23%.
Menelisik lebih dalam dunia pekerja, terungkap adanya tren pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tampak dari berkurangnya pekerja formal dan sebaliknya ada pertambahan pekerja informal. Dalam arti kata lain, para pekerja formal yang di PHK ini kemudian beralih bekerja secara serabutan untuk tetap bisa makan, dan jumlahnya semakin banyak. Pekerja informal adalah penduduk yang bekerja dengan status pekerjaan berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tak dibayar, pekerja bebas, dan pekerja keluarga/tak dibayar.
Contoh pekerjaan jenis ini misalnya, pengemudi ojek online, pedagang kaki lima, buruh tani, nelayan. Intinya, hak-haknya tidak mendapatkan perlindungan hukum seperti asuransi kesehatan BPJS Kesehatan atau pensiun BPJS Ketenagakerjaan. Mereka luput dari perlindungan negara. Sebaliknya, pekerja formal adalah tenaga kerja yang bekerja pada perusahaan sebagai tenaga kerja terlatih (skilled worker).Mereka memperoleh perlindungan hukum yang lebih kuat, kontrak kerja yang resmi, dan berada di dalam organisasi yang berbadan hukum, sebagaimana diatur dalam ketentuan hukum.
Sebagai informasi tambahan, terminologi orang yang bekerja menurut BPS adalah kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh seseorang dengan maksud memperoleh atau membantu memperoleh pendapatan atau keuntungan, paling sedikit 1 jam (tidak terputus) dalam seminggu yang lalu. Dalam kata lain, orang yang hanya bekerja selama 1 jam sehari sudah disebut memiliki pekerjaan.
Tren jumlah pekerja informal meningkat dari tahun 2019, melebihi jumlah pekerja formal sejak Presiden Jokowi memerintah. Angka pekerja informal mencapai 55,3% dari total pekerja dan mengalami puncaknya pada 2020 akibat pandemi Covid-2019 sebesar 60,9%. Dari data yang ada, meskipun pertumbuhan ekonomi sudah membaik, kembali pada level sebelum pandemi, namun situasi sektor ketenagakerjaan masih terpuruk. Angka pekerja informal kini kembali ke persentase 60% pada Februari lalu.
Cukup sulit untuk menemukan data untuk menggambarkan besarnya gelombang PHK yang ada. Data Kementerian Ketenagakerjaan tentang jumlah PHK yang dibuat bulanan tidak relevan dan tidak update. Ini karena, Kemenaker tidak mau jemput bola, data tersebut hanya diperbaharui apabila ada perusahaan yang melapor, tapi masalahnya banyak yang enggan untuk melaporkannya. Data yang paling relevan adalah data dari klaim Jaminan Hari Tua (JHT) BPJS Ketenagakerjaan. Pada umumnya, pekerja yang kena PHK mencairkan dananya, meskipun data itu juga termasuk klaim karena pensiun alami. Namun, adanya lonjakan klaim JHT sebesar satu juta pada 2022 relevan dengan penurunan jumlah pekerja formal.
Selama 2022, ada 3,4 juta kasus klaim JHT di BPJS Ketenagakerjaan, naik dari kisaran 2,5 juta pada 2020 dan 2021. Kenaikan klaim JHT ini bahkan melampaui lonjakan klaim JHT pada masa Pandemi pada 2020 yang naik sekitar 337 ribu klaim dari 2019, atau sebelum pandemi. Kalau merujuk data BPS, dampak Pandemi memang masih terasa sampai dengan awal tahun ini. Ada 3,60 juta orang atau sekitar 1,7% penduduk usia kerja yang terdampak COVID-19. Rincian besarnya, 200 ribu kehilangan pekerjaan, dan 3 juta dipangkas jam kerja sehingga mengalami penurunan pendapatan.
Lebih dalam menelisik sektor dunia kerja akan ditemukan fakta yang mencengangkan. Menurut kajian Bank Dunia, Indonesia Economic Prospects: Boosting the Recovery, pada Juni 2021, dua pertiga pekerja di Indonesia tidak mendapatkan perlindungan hukum, mereka bekerja tanpa kontrak tertulis. Dari jumlah 139 juta orang yang bekerja, hanya 23,15% yang bekerja dengan kontrak tertulis, itupun 13,7% atau lebih banyak berstatus kontrak terus menerus. Ini dapat pula diartikan, negara baru hadir untuk melindungi seperempat pekerja.
Setahun setelah memimpin, euforia dampak kebijakan Jokowi terasa positif bagi pekerja. Rata-rata upah pekerja per jam naik hingga 23% pada 2026 menjadi Rp14,068/jam dari tahun sebelumnya. Namun sejak saat itu, tren kenaikan upah cukup rendah dan hanya sedikit di bawah tingkat inflasi. Pengecualian ada di tahun 2020 yang rata-rata upah naik 11,8% sementara inflasi hanya 1,7%. Namun, itu terjadi karena banyak PHK. Kondisinya makin parah pada 2022, dimana terjadi penurunan upah per jam hingga 3%, sementara inflasi naik hingga 5,5%.
Mengapa Banyak PHK dan Cari Kerja Susah?
Salah satu indikator yang bisa menjawab mengapa tren PHK semakin tinggi dan mencari kerja semakin susah adalah menelisik distribusi lapangan pekerjaan yang membentuk produk domestik bruto. Saat ini sektor pertanian merupakan lapangan usaha yang paling banyak menyerap tenaga kerja dengan porsi hingga 30%, disusul perdagangan 19% dan industri pengolahan sebesar 14%.
Hal ini terjadi karena fokus utama pemerintah yang mementingkan infrastruktur, seolah melupakan sektor utama yang mampu menyerap tenaga kerja. Hal ini tampak pada kontribusi sektor pertanian dan industri pengolahan terhadap PDB yang terus menurun sejak 2014. Padahal, dua sektor itu mampu menyerap sekitar 44% dari total tenaga kerja yang berjumlah 138,63 juta orang. Peran PDB industri pengolahan terhadap PDB nasional menyusut dari 22% pada 2010 menjadi hanya 18,6%, sementara pertanian menjadi hanya 11,8% dari 13,9% pada 2010.
Sementara itu, belakangan kontribusi sektor pertambangan semakin besar terutama akibat kenaikan harga komoditas di 2020. Porsinya tahun ini sudah mengalahkan sektor pertanian, yakni sebesar 11,9%, padahal dari sisi serapan sektor ini hanya menyumbang 1% lapangan pekerjaan. Sementara, sektor konstruksi yang berkembang cukup pesat oleh dukungan pemerintah hanya menyerap 6% tenaga kerja. Penurunan, pada sektor manufaktur juga menjelaskan mengapa rasio pajak Indonesia terus menerus menurun, karena sepertiga pemasukan pajak berasal dari sektor ini. Saat ini, rasio pajak terhadap PDB hanya 9,61% atau selevel dengan negara miskin.
Ada banyak pekerjaan rumah besar, khususnya untuk penciptaan lapangan kerja untuk para bakal calon presiden yang akan maju pada Pilpres 2024 nanti. Tantangan tidak akan mudah karena tren suku bunga tinggi diperkirakan masih akan berlangsung hingga tahun depan, sehingga membuat ekspansi usaha menjadi terkendala. Demikian pula, situasi ekonomi global yang masih akan tidak menentu, dan krisis geopolitik menjadi faktor utama yang akan dihadapi siapapun yang menang nanti.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mum/mum)