Meski Hampir "Bangkrut", Anggaran Militer AS Tetap Naik Terus

Tasya Natalia, CNBC Indonesia
Kamis, 25/05/2023 08:45 WIB
Foto: AFP via Getty Images/SUZANNE CORDEIRO

Jakarta, CNBC Indonesia - Pelaku pasar saat ini sedang fokus memperhatikan pembicaraan "debt ceiling" atau pagu utang Amerika Serikat (AS) antara Gedung Putih dan oposisi Partai Republik karena belum menemukan solusinya.

Masalah utang yang terus menggunung mencapai US$ 31,4 triliun membuat pemerintah AS terancam kena default atau gagal bayar paling cepat pada 1 Juni 2023 mendatang, berdasarkan keterangan Menteri Keuangan AS, Janet Yellen yang terus mendesak Kongres.

Dalam kondisi utang yang terus membengkak bahkan setara dengan 130% dari total PDB membuat AS juga terancam kehabisan likuiditas, dampaknya yang menjadi korban bisa masyarakat karena pelayanan pemerintah akan terhenti, terguncangnya pasar keuangan hingga pasar saham, serta ancaman resesi yang semakin dekat.

Kekurangan likuiditas yang sedang melanda AS ini malah kontras terjadi dengan anggaran yang dikeluarkan pemerintah untuk militer yang semakin meningkat. Tercatat hingga 2022 anggaran militer yang ditetapkan mencapai US$ 778 miliar, sudah naik 157% sejak 22 tahun silam.

Partai Republik yang meminta pemerintah AS untuk melakukan penghematan di berbagai pos saat ini sebelum pagu utang dinaikkan juga tidak menyentuh anggaran militer AS. Anggaran militer yang diajukan kali ini sebesar US$ 842 miliar.

Negara Paman Sam ini juga sebenarnya terkenal adidaya, super power, dan adikuasa yang doyan perang dan ikut campur negara lain. Bila menelisik lebih jauh, AS merupakan negara eksportir senjata terbesar di dunia.

Menurut data Stockholm International Peace Research Institute (SIPRI), lembaga riset berbasis di Stockholm, Swedia yang berfokus pada data militer global. AS pada 2016 - 2020 menjadi pemasok senjata terbesar di dunia dengan kontribusi mencapai 37% terhadap pasokan global.

Selain itu, besarnya anggaran militer AS juga tidak lepas dari kepentingannya di negara lain. Pada akhir 2022 lalu Presiden Joe Biden memberikan bantuan ke IsraelĀ senilai US$ 3,3 miliar untuk keamanan plus US$ 500 juta untuk perbaikan sistem pertahanan rudal Iron Dome.

Dennis Ross, Distinguished Fellow dari Washington Institute for Near East Policy yang juga pernah menjadi asisten khusus Presiden AS ke 44 Barack Obama mengatakan hubungan hubungan strategis kedua negara menjadi sangat erat sejak era Presiden Ronald Reagan pada 1980an.

Kedua negara disebut saling membantu untuk mencapai tujuan geopolitik di Timur Tengah dan sekitarnya. Kedua negara juga saling menjaga keamanan di dalam dan luar negeri, berbagi informasi intelijen, melakukan latihan militer serta berkolaborasi meningkatkan teknologi.

"Setiap pemerintahan sejak saat itu, bahkan jika presiden tidak memiliki hubungan hangat dengan Israel, seperti George H.W Bush, begitu juga Barrack Obama, tetapi mereka tetap membangun hubungan berdasarkan fondasi tersebut," kata Ross dalam sebuah wawancara yang dikutip dalam riset yang diterbitkan The Conversation, Selasa (11/4/2023).

Salah satu kepentingan Amerika Serikat di Timur Tengah tentu saja adalah minyak mentah. Sebagai negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, Amerika Serikat juga konsumen minyak mentah nomer satu di dunia.


(tsn/tsn)
Pages