Pembahasan Plafon Utang Mandek, AS Bakal Kena Gagal Bayar?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
20 May 2023 15:15
Bendera Amerika Serikat

Jakarta, CNBC Indonesia - Kabar kurang menggembirakan datang dari Amerika Serikat (AS), di mana pertemuan kedua antara Pemerintah AS dan negosiator dari faksi Republik di DPR AS pada Jumat (19/5/2023) malam untuk membahas plafon utang AS berakhir tanpa kemajuan.

Kedua belah pihak mengatakan belum ada pertemuan lanjutan untuk membahas peningkatan plafon utang dari level saat ini yang mencapai US$ 31,4 triliun. Padahal, tenggat waktunya tinggal kurang dua pekan lagi.

Belum adanya kemajuan yang terjadi saat Washington bergegas agar mencapai kesepakatan pada tenggat 1 Juni atau menghadapi risiko gagal bayar (default) utang untuk pertama kalinya dalam sejarah.

"Kami berdiskusi dengan sangat, sangat terbuka mengenai posisi kami saat ini, tentang hal-hal yang harus dilakukan," kata Garret Graves, Perwakilan faksi Republik, menyusul pertemuan singkat di Capitol dengan para pejabat Gedung Putih.

Padahal sebelumnya, Presiden AS Joe Biden memastikan negara yang dipimpinnya tidak akan mengalami gagal bayar.

"Saya yakin kita akan mendapatkan kesepakatan tentang anggaran dan Amerika tidak akan gagal bayar," kata Biden.

Hal ini karena parlemen telah memberi lampu hijau plafon utang akan berlanjut. Kepastian mengenai kenaikan plafon utang AS disampaikan langsung oleh Ketua Parlemen AS Kevin McCarthy.

"Saya pikir, akhirnya kita tidak mengalami gagal bayar utang," ujar McCarthy seperti dikutip CNBC Internasional, Kamis (18/5/2023) lalu.

Sebelumnya Biden sempat berbicara beberapa menit sebelum dia meninggalkan Washington untuk kunjungan singkat ke Asia, di mana dia berencana menghadiri KTT G7.

Dia juga mengatakan akan mengadakan konferensi pers pada Minggu besok sekembalinya dia untuk berbagi tentang negosiasi terbaru.

Pidato Ketua DPR dan Presiden menjadi tanda terbaru bahwa negosiasi yang sempat terhenti selama berbulan-bulan kini bergerak ke fase yang lebih serius dan konkret, dan berpotensi mendekati kesepakatan.

Para pemimpin kehabisan waktu untuk menaikkan plafon utang sebelum tenggat waktu 1 Juni ketika pemerintah akan kehabisan uang.

McCarthy sebelumnya juga sempat bertemu dengan Biden di Gedung Putih pada Selasa lalu, bersama Wakil Presiden Kamala Harris dan para pemimpin kongres lainnya dalam upaya untuk menuntaskan kesepakatan sebelum presiden berangkat ke Jepang.

McCarthy menahan diri untuk tidak mengatakan pada hari Rabu bahwa dia optimis tentang keadaan pembicaraan, tetapi mengatakan dia didorong oleh kesediaan Biden untuk bernegosiasi.

"Satu-satunya hal yang saya yakini adalah sekarang kami memiliki struktur untuk menemukan cara mencapai kesimpulan. Waktunya sangat ketat. Tapi kami akan memastikan kami berada di ruangan dan menyelesaikan ini," ujarnya.

Menaikkan plafon utang diperlukan bagi pemerintah AS untuk menutupi komitmen pengeluaran yang telah disetujui oleh Kongres dan presiden, untuk mencegah terjadinya default.

Berkaca dari sebelumnya, kisruh pagu utang membuat AS mengalami kerugian miliaran dolar. Itu pun yang terjadi bukan gagal bayar, baru sebatas shutdown atau penutupan sebagian layanan pemerintahan karena tidak adanya anggaran.

Shutdown bukan hal yang baru, pernah terjadi berkali-kali di AS. Yang terakhir dan masih segar di ingatan adalah shutdown di era pemerintahan Presiden AS ke-45, Donald Trump.

Sama seperti tahun ini, saat itu pada 2018, Partai Demokrat menolak rancangan anggaran dari Partai Republik yang menguasai pemerintahan. Akhirnya anggaran sementara diloloskan, tetapi hingga akhir tahun belum ada kesepakatan untuk anggaran satu tahun fiskal 2019. Alhasil, pemerintahan AS shutdown selama hampir 35 hari, mulai 22 Desember 2018 hingga 25 Januari 2019.

Shutdown tersebut merupakan yang terpanjang dalam sejarah Amerika Serikat, dan berdampak cukup besar terhadap perekonomian.

Menurut Congressional Budget Office (CBO), shutdown tersebut berdampak ke perekonomian sebab sekitar 800.000 tenaga kerja dirumahkan, kemudian belanja pemerintah federal juga menjadi tertunda.

Berdasarkan kalkulasi CBO, kerugian yang diderita AS sebesar US$ 11 miliar atau setara Rp 161 triliun (kurs Rp 14.700/US$). Dari kerugian tersebut, sebesar US$ 3 miliar atau Rp 42 triliun hilang permanen.

Dengan kerugian tersebut, produk domestik bruto (PDB) pun terpangkas.

Menurut Wakil Presiden Kamala Harris, default akan melemparkan ekonomi Amerika ke dalam resesi.

"Kegagalan utang bisa memicu resesi," tegas Harris dalam sebuah audiensi dikutip Reuters, Jumat (19/5/2023) kemarin.

Ia mengatakan pemerintah terus berjuang membalikan keadaan. Saat ini pembahasan dengan Kongres AS, terutama DPR yang dikuasai oposisi Republik terus dilakukan walau masih mandek.

"Tim negosiasi pemerintah berjuang melawan upaya ekstrem untuk membalikkan kemajuan yang telah kita buat," tegasnya.

Mengutip CNN International, memang sejumlah dampak akan terjadi jika AS mengalami default. Mulai dari mandeknya pembayaran jaminan sosial, rata-rata US$ 1.827 (Rp 26,8 juta) hingga tunjangan 2 juta pegawai federal dan 1,4 veteran (anggota militer tidak aktif) senilai miliaran dolar.

Ini juga akan berdampak ke biaya pinjaman. Jika terjadi default, imbal hasil (yield) Treasury AS pasti akan naik untuk mengkompensasi peningkatan risiko bahwa pemegang obligasi tidak akan menerima uang yang mereka pinjam dari pemerintah.

Karena suku bunga pinjaman, kartu kredit, dan hipotek sering didasarkan pada yield Treasury, biaya pinjaman uang dan pelunasan utang akan meningkat. Jumlahnya di atas peningkatan biaya yang sudah dihadapi orang Amerika dari kenaikan suku bunga bank sentral AS (Federal Reserve/ The Fed).

Keluarga dan bisnis juga akan lebih sulit mendapatkan persetujuan untuk jalur kredit karena bank harus lebih selektif dalam meminjamkan uang. Itu karena biaya pinjaman uang mereka juga akan meningkat, yang membatasi jumlah uang yang dapat mereka pinjamkan.

Belum lagi munculnya pengangguran. Gagal bayar utang dapat memicu penurunan ekonomi, yang akan mendorong lonjakan pengangguran, terutama saat AS sudah sudah berurusan dengan kenaikan suku bunga dan inflasi yang sangat tinggi.

Menurut Moody's, tingkat pengangguran akan melonjak menjadi sekitar 5%. Sementara ekonomi akan berkontraksi hampir setengah persen.

Oleh karena itu, keputusan kenaikan pagu utang menjadi sangat penting, tidak hanya bagi Amerika Serikat, tetapi juga bagi dunia. Sebab AS merupakan perekonomian terbesar di dunia, gejolak yang terjadi tentunya akan merembet ke negara lainnya. Sektor finansial pun bisa terpukul paling awal.

CNBC INDONESIA RESEARCH

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular