CNBC Indonesia Research

Dear Next Presiden, Ada Tugas Maha Berat nih dari Pak Jokowi!

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
15 May 2023 09:40
Saat Presiden Joko Widodo berjalan kaki bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa menuju Istana Negara untuk menghadiri pelantikan menteri dan wakil menteri. (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)
Foto: Saat Presiden Joko Widodo berjalan kaki bersama Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto, Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto, Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh, Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan, dan Ketua Umum PPP Suharso Monoarfa menuju Istana Negara untuk menghadiri pelantikan menteri dan wakil menteri. (Foto: Laily Rachev - Biro Pers Sekretariat Presiden)
  • Hilirisasi menjadi misi besar Jokowi selama pemerintahannya
  • Saking tak ingin usahanya sia-sia Jokowi berpesan kepada pemimpin selanjutnya untuk dapat meneruskan kebijakan hilirisasi di dalam negeri.
  • Namun perlu diketahui, meski hanya satu kalimat saja yakni hilirisasi namun tantangan yang dihadapi tidaklah gampang.

Jakarta, CNBC Indonesia - Hilirisasi adalah misi besar Presiden Joko Widodo (Jokowi) selama  masa pemerintahannya. Selama delapan tahun pemerintahannya, Jokowi sudah melakukan banyak upaya untuk melakukan hilirisasi.

Saking tak ingin usahanya sia-sia Jokowi berpesan kepada pemimpin selanjutnya untuk dapat meneruskan kebijakan hilirisasi di dalam negeri.

Hilirisasi merupakan strategi pemerintah guna meningkatkan nilai tambah komoditas yang dimiliki suatu negara. Sepertinya pemerintah betul-betul meyakini bahwa hilirisasi akan menjadi lompatan besar peradaban negara.

Meski digugat di Organisasi Perdagangan Dunia atau WTO, Presiden mendorong agar pemerintah Indonesia tetap berani maju dalam menghadapi gugatan tersebut.

Menurut Jokowi, Indonesia sendiri memiliki potensi sumber daya alam yang cukup menjanjikan untuk dikembangkan. Bukan hanya hasil tambang, negeri ini juga dilimpahi produksi sumber daya alam laut, pertanian hingga perkebunan.

Oleh sebab itu, Jokowi mendesak pemimpin selanjutnya untuk berani melanjutkan hilirisasi dan mengindustrialisasikan bahan bahan mentah yang dimiliki Indonesia. Sekalipun kedepannya terdapat potensi masalah yang akan dihadapi bangsa ini.

 

"Sekarang kita baru digugat oleh Uni Eropa urusan baru satu urusan saja nikel digugat. Padahal bahan mineral kita bukan hanya Nikel. Ada tembaga, timah, batu bara, ada bauksit apakah kita mau berhenti karena digugat uni eropa kalau pemimpinnya tidak berani pasti mundur minta ampun," ungkap Jokowi pada saat mengisi pidato politik Musyawarah Rakyat (Musra) Relawan Jokowi di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (14/5/2023).

Hilirisasi kerap dikaitkan degan ambisi Indonesia menjadi negara maju. Jokowi menyebut jangan bermimpi menjadi negara maju, apabila nantinya negara ini digugat langsung mundur.

Karena itu, ia berpesan kepada pemimpin selanjutnya untuk tetap teguh menjalankan komitmen larangan ekspor bahan mentah dan menjalankan hilirisasi dalam negeri.

Tantangan Berat Di Depan Mata

Untuk diketahui, pemerintah hingga kini terus menggenjot program hilirisasi tambang sebagai upaya peningkatan nilai tambah di dalam negeri. Meskipun, untuk merealisasikan proyek tersebut terdapat beberapa kendala yang harus dilalui.

Dari sisi komoditas batu bara, tantangan yang bakal dihadapi tentunya tidaklah mudah.

Dalam catatan CNBC Indonesia, Staf Khusus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Irwandy Arif mengatakan bahwa terdapat tantangan dalam implementasi hilirisasi batu bara di dalam negeri. Persoalan pertama yang dihadapi adalah terkait peran dari teknologi.

 

Selain itu, Indonesia tidak memiliki industri manufaktur untuk mengonstruksi fasilitas pengolahan dan pemurnian untuk hilirisasi batu bara.

Padahal Indonesia punya target serta harapan besar dalam hilirisasi batu bara ini.

Untuk diketahui, selama periode 2020-2023 upaya hilirisasi batu bara yang mampu dilakukan Indonesia baru sebatas pembuatan kokas, peningkatan mutu, serta pembuatan briket.

Itu pun volumenya baru berkisar antara 10 ribu ton sampai 1 juta ton per tahun, sangat kecil dibanding total produksi batu bara nasional yang bisa mencapai 600 juta ton per tahun.

Ini baru batu bara, untuk diketahui bahwa hilirisasi sebenarnya bukan cuma soal batu bara namun juga ada nikel dan 20 komoditas yang ditetapkan pemerintah Indonesia untuk dilakukan hilirisasi.

Di antaranya adalah batu bara, nikel, timah, tembaga, bauksit, besi baja, emas perak, aspal, minyak bumi, gas, sawit, kelapa, karet, buofuel, kayu log, getah pinus, udang, perikanan, kepiting, rumput laut, dan garam.

Tantangan beratnya sudah pasti bahwa konsep hilirisasi itu sebenarnya tidak berhenti ketika mineral diproses menjadi bahan setengah jadi (intermediate product). Seperti dalam gambaran saat ini: Bijih nikel menjadi NPI, FeNi atau Matte.

Tapi harus dikembangkan lebih jauh sampai produk yang menjadi bahan dasar atau pelengkap tahapan paling akhir dalam pohon industri.

Tujuan akhirnya tentu satu, Indonesia saat ini tengah berjuang keras untuk mengangkat derajatnya dari negara berkembang menjadi negara maju.

Hal ini ditegaskan oleh Presiden Jokowi berkali-kali terutama dalam merealisasikan industri hilirisasi yang 'katanya' bakal membawa negeri ini naik derajat.

Ada banyak PR besar yang mesti diselesaikan oleh pemimpin berikutnya.

Berbagai persoalan masih mendominasi hilirisasi sumber daya pertambangan. Mulai dari isu yang beredar di publik bahwa nikel Indonesia dikuasai China, isu lingkungan, bahkan konsep hilirisasi itu sendiri.

Janji pemerintah bahkan presiden Jokowi yang menyebutkan hilirisasi sebagai kunci negara maju memang luar biasa.

Tapi konsep nilai tambah nikel disini betul-betul harus menumbuhkan ekonomi nasional, harus mendukung Triple Bottom Line yakni memperhatikan profit, kepedulian sosial serta lingkungan.

Selain itu, kesempatan kerja harus terbuka lebar bagi pekerja tanah air, namun ini patut menjadi renungan bersama apakah kesempatan tersebut 'benar-benar' dibuka bagi pekerja dalam negeri? Kalau memang tidak dan bahkan masih banyak tenaga asing yang bekerja di industri nikel ini juga patut menjadi perhatian.

Soal WTO Juga Jadi PR Berat

Pemerintah kini tengah menempuh jalan panjang akibat tuntutan di Organisasi Perdagangan Dunia (Word Trade Organization/WTO) atas pelarangan ekspor bijih nikel yang dilakukan Indonesia.

Persoalan kekalahan Indonesia atas gugatan hukum perdagangan bak tiada akhirnya, Setelah resmi dinyatakan kalah pada Oktober 2022 lalu, ternyata Pemerintah memutuskan untuk terus 'fight' atas kekalahan tersebut.

Gugatan berawal dari sikap pemerintah yang menyetop ekspor bahan mentah mineral yakni bijih nikel untuk mengembangkan produk mentah tersebut di dalam negeri untuk menciptakan nilai tambah yang berkali-kali lipat.

Wajar saja, Nikel merupakan 'harta karun' ajaib di Tanah Air lantaran menjadi salah satu bahan baku penting untuk mewujudkan cita-cita Indonesia menjadi 'raja' baterai dunia. Bukan tanpa alasan,

Berdasarkan data Badan Survei Geologi Amerika Serikat (USGS) pada tahun 2022 produksi nikel di Indonesia masih menduduki peringkat pertama dengan produksi paling unggul yakni mencapai 1,6 juta metrik ton.

 

Dengan 'harta karun' yang melimpah ini pada akhirnya membuat Indonesia percaya diri berupaya memaksimalkan potensinya.

Jika menilik data dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia kini memiliki tambang nikel mencapai 520,87 ribu hektar. Harta karun seluas ini diketahui tersebar di 7 Provinsi di Indonesia.

Namun ternyata indahnya harta karun yang dimiliki Indonesia tak serta merta membuat segalanya berjalan lancar.

Uni Eropa telah menggugat RI di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) pada 2020 lalu. Hasilnya, RI pun dinyatakan kalah oleh panel Badan Penyelesaian Sengketa (Dispute Settlement Body/ DSB) WTO pada Oktober 2022 lalu.

Ternyata, kekalahan RI atas gugatan Uni Eropa ini dipicu karena industri hilir nikel di Indonesia dianggap belum matang. Pemerintah dinilai tidak bisa menjelaskan bahwa kebijakan ini diambil untuk mendukung industrialisasi di Indonesia.

Fasilitas pengolahan nikel itu dikatakan belum kuat. Jadi kalau industrinya sudah kuat itu bisa  dilakukan larangan ekspor terhadap komoditas.

Meski demikian, pemerintah telah mengajukan banding atas kekalahan gugatan pertama ini. Dia menyebut, pemerintah telah mengajukan banding pada Desember 2022 lalu.

Menurutnya, pemerintah telah mempersiapkan argumentasi dalam upaya banding di WTO melawan Uni Eropa. Salah satunya yaitu dengan memastikan bahwa industri hilir dari produk olahan nikel di dalam negeri sudah kokoh.

Sebagai informasi, adapun final report didistribusikan kepada anggota WTO lainnya pada tanggal 30 November 2022 dan akan dimasukkan ke dalam agenda DSB pada 20 Desember 2022.

 

Setidaknya, ada beberapa peraturan perundang-undangan yang dinilai melanggar ketentuan WTO. 

Pertama, UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara (UU Minerba).

 Kedua, Peraturan Menteri ESDM Nomor 11 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 25 Tahun 2018 tentang Pengusahaan Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Ketiga, Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 96 Tahun 2019 tentang Ketentuan Ekspor Produk Pertambangan Hasil Pengolahan dan Pemurnian. 

Keempat, Peraturan Menteri ESDM Nomor 7 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian Wilayah, Perizinan, dan Pelaporan Pada Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara.

Dengan perjuangan yang masih berlanjut wajar saja bahwa Jokowi ingin pemimpin selanjutnya beserta jajarannya mesti kompak layaknya pesan Jokowi terhadap menterinya saat ini tidak takut melawan di WTO ini.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(aum/aum)
Tags

Related Articles

Most Popular
Recommendation