
Jadi Mata Uang Terbaik di Asia, Rupiah Melesat Pekan Ini?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah sepanjang pekan lalu melemah 0,51% melawan dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 14.745/US$. Rupiah masih melemah meski ekspektasi kenaikan suku bunga bank sentral AS (The Fed) meredup setelah inflasi terus melandai.
Namun, melihat rupiah yang menguat cukup tajam sepanjang tahun ini, koreksi teknikal tentunya wajar terjadi. Tercatat rupiah sepanjang tahun ini rupiah menguat lebih dari 5% menjadi mata uang terbaik di Asia, dan salah satu yang mencatat penguatan cukup tajam di dunia.
Di awal pekan ini, rilis data neraca perdagangan Indonesia bisa memberikan sentimen positif ke rupiah.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 12 lembaga memperkirakan surplus neraca perdagangan pada April 2023 akan mencapai US$ 3,34 miliar. Surplus tersebut jauh lebih tinggi dibandingkan Maret 2023 yang mencapai US$ 2,91 miliar.
Surplus neraca perdagangan kini bisa memberikan dampak positif ke rupiah, sebab para eksportir sudah mulai tertarik memarkir dolar AS mereka di dalam negeri. Operasi moneter Term Deposit Valuta Asing Devisa Hasil Ekspor (TD Valas DHE) yang diterapkan BI sejak awal Maret sudah mulai sukses menarik dolar AS eksportir, bahkan ada yang menempatkan di tenor 6 bulan.
Artinya, valuta asing para eksportir lebih lama berada di dalam negeri, nilai tukar rupiah pun bisa lebih stabil.
Sementara itu serangkaian data dari Amerika Serikat pada pekan lalu sebenarnya memberikan tekanan bagi dolar AS. Inflasi terus menurun, klaim tunjangan pengangguran naik, dan data terakhir menunjukkan sentimen konsumen jeblok ke level terendah dalam enam bulan terakhir.
Universitas Michigan melaporkan indeks keyakinan konsumen pada Mei merosot ke 57,7, dari sebelumnya 63,5, juga jauh di bawah hasil survei Reuters sebesar 63.
"Meski data ekonomi belakangan menunjukkan tidak ada tanda-tanda resesi, kekhawatiran konsumen meningkat pada Mei, bersamaan dengan banyak berita negatif, termasuk dari krisis utang," kata Joanne Hsu, Direktur Survei Konsumen Universitas Michigan, sebagaimana dilansir Reuters, Jumat (12/5/2023).
Namun, meski dolar AS mengalami banyak tekanan, posisi rupiah saat ini juga masih rentan mengalami koreksi. Sehingga ada kemungkinan di pekan ini masih akan bergerak sideways.
Secara teknikal, rupiah yang disimbolkan USD/IDR saat ini berada jauh di bawah rerata pergerakan 50 hari (Moving Average 50/MA 50), MA 100 dan MA 200 yang tentunya memberikan tenaga rupiah menguat.
Penguatan Mata Uang Garuda semakin terakselerasi setelah sukses menembus Rp 15.090/US$ yang sebelumnya menjadi support kuat.
Level tersebut merupakan Fibonacci Retracement 50% yang ditarik dari titik terendah 24 Januari 2020 di Rp 13.565/US$ dan tertinggi 23 Maret 2020 di Rp 16.620/US$.
Rupiah bahkan mampu menembus ke bawah Fib. Retracement 61,8% pada pekan lalu.
Sementara itu indikator Stochastic pada grafik harian terus bergerak naik setelah menyentuh wilayah jenuh jual (oversold).
![]() Foto: Refinitiv |
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah overbought (di atas 80) atau oversold (di bawah 20), maka harga suatu instrumen berpeluang berbalik arah.
Stochastic yang mulai masuk oversold artinya ada risiko rupiah akan mengalami koreksi.
Fib. Retracement 61,8% di kisaran Rp 14.730/US$ menjadi menjadi support terdekat. Selamat tertahan di atasnya, rupiah berisiko melemah ke Rp 14.780/US$ sebelum menuju Rp 14.830/US$. Resisten selanjutnya untuk pekan ini berada di kisaran Rp 14.900/US$ - Rp 14.930/US$.
Sementara selama mampu kembali ke bawah Rp 14.730/US$, rupiah berpeluang menguat ke Rp 14.650/US$ hingga Rp 14.620/US$, sebelum menguji lagi Rp 14.560/US$ pekan ini.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)
