
Krisis Pangan Ancam Dunia, Defisit Beras Terburuk 20 Tahun

Krisis pangan masih membayangi dunia pada tahun ini, terutama karena komoditas beras. Dampak perang serta dampak perubahan iklim membuat produksi dan distribusi masih bermasalah.
Analis Fitch Solutions Charles Hart memperkirakan shortfall antara produksi dan permintaan beras pada 2023 akan meningkat. Padahal ada 3,5 miliar penduduk atau 90% penduduk dunia yang mengandalkan beras sebagai makanan utama, seperti Indonesia.
"Di tataran global, dampak defisit beras masih dan akan tetap terasa," tutur Hart, kepada CNBC International.
Hart memperkirakan defisit pada pasokan beras mencapai 8,7 juta ton pada 2022/2023. Jumlah tersebut adalah yang terbesar pada 20023/2004 di mana defisit mencapai 18,6 juta ton.
Indonesia sebagai salah satu konsumen terbesar beras di dunia jelas terkena imbas. Kenaikan harga beras akan melambungkan inflasi mengingat bobot beras dalam perhitungan inflasi terbilang besar yakni 3,33%.
Harga beras sudah merangkak naik sejak September 2022 dan belum juga menurun.
Data Pusat informasi Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menunjukkan harga beras menyentuh Rp 13.400 per kg. Harga setinggi itu tidak pernah tercatat dalam sejarah PIHPSN.
FAO juga mencatat indeks harga beras masih terus merangkak. Padahal, harga komoditas lain sudah melandai sejak akhir tahun.
Hart memperkirakan harga beras masih akan tinggi di kisaran US$ 17,30 per hundredweight(cwt) dan baru akan melandai tipis menjadi US$ 14,50 per cwt tahun depan.
Selain dampak perang, kekeringan parah yang melanda China dan India pada tahun ini juga akan menyebabkan produksi berkurang.
Dua kantong produsen beras terbesar di China yakni Guangxi dan Guangdong menghadapi musim terkering sepanjang 20 tahun terakhir.
Kawasan Asia juga diterjang gelombang panas pada awal April hingga pertengahan April.
Suhu di atas 40 derajat Celcius menghantam banyak negara, termasuk kantong-kantong beras global seperti Thailand dan Vietnam.
"Defisit pada pasokan beras terutama disebabkan oleh kekeringan di China serta dan banjir di Pakistan. Kurangnya produksi beras akan membuat harga impor naik seperti di Indonesia, Malasyia, dan Filipina," imbuh Hart.
Syria, Turki, dan negara-negara Afrika juga menjadi negara yang harus menanggung beban karena berkurangnya produksi beras.
Departemen Pertanian Amerika Serikat (AS) atau USDA memperkirakan produksi beras pada tahun ini akan mencapai 509,42 juta ton pada 2023, turun 4,43 juta dibandingkan tahun lalu.
Penurunan terbesar ada di China yakni mencapai 3 juta ton diikuti Pakistan sebanyak 2,73 juta ton.
Kendati outputnya turun, China masih menjadi produsen terbesar di dunia dengan produksi mencapai 145 juta ton disusul dengan 132 juta ton.
Dalam catatan USDA, Indonesia akan memproduksi padi sekitar 34 juta ton atau turun 0,4 juta ton dibandingkan tahun lalu.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat produksi padi Indonesia cenderung menurun dalam 10 tahun terakhir. .
Pada 2012 volume produksi padi nasional mampu mencapai 69,05 juta ton gabah kering giling (GKG) tetapi turun menjadi 54,74 juta ton GKG pada 2022.
Jika dikonversikan menjadi beras, maka produksi beras pada 2022 mencapai 31,54 juta ton.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae)