
Ini Bukti Dedolarisasi dan Deglobalisasi AS Makin Nyata

Fenomena 'buang dolar' bahkan sampai membuat Dana Moneter Internasional (IMF) memberi catatan khusus. Pada Mei 2021, IMF mencatat jika permintaan atas dolar AS oleh bank sentral dunia anjlok ke level terendah dalam 25 tahun.
Komposisi dolar AS dalam cadangan devisa (cadev) global menurun dari 71% pada 1990an menjadi 59% pada Mei 2021.
Angkanya bahkan menurun drastis menjadi 58,36% per akhir 2022.
Per akhir 2022, cadangan devisa di seluruh dunia menyentuh US$ 11,09 triliun. Dari jumlah tersebut, mata uang berdemoniasi dolar AS mencapai US$ 6,47 triliun.
Di bawah dolar AS terdapat euro dengan share sebesar 20,47% kemudian menyusul yen Jepang (5,51%) dan poundsterling (4,95%).
Renminbi China yang digadang-gadang akan menggantikan 'King Dolar' hanya memiliki share 2,69%.
Cadangan devisa dalam denominasi euro setara dengan US$ 2,27 triliun sementara dalam bentuk renminbi China setara dengan US$ 298,44 miliar.
Share dolar AS terhadap cadangan devisa global diperkirakan akan terus melandai. Salah satunya adalah karena semakin banyak bank sentral yang lebih memilih menumpuk cadev dalam bentuk emas.
Survei yang dilakukan World Gold Council pada Juni 2022 menunjukkan jika 80% dari 57 bank sentral dunia akan meningkatkan cadangan emas mereka beberapa tahun ke depan.
Sebanyak 42% mengatakan mereka akan mengurangi proporsi dalam selama lima tahun ke depan.
Data World Gold Council menunjukkan pembelian emas oleh bank sentral dunia menembus 1.136 ton pada 2022. Jumlah tersebut melonjak 152% dibandingkan 2021 dan menjadi yang tertinggi sejak 1967 atau 55 tahun terakhir.
Selain dolar AS, semakin banyak pula negara yang mengurangi kepemilikan surat utang pemerintah AS mereka.
Berdasarkan data dari Treasury International Capital (TIC) Kementerian Keuangan AS, pada November 2022, China menjual US$ 7,8 miliar Treasury yang dimiliki sehingga kini menjadi US$ 870 miliar.
Nilai kepemilikan surat utang Amerika Serikat tersebut menjadi yang terendah sejak Juni 2010.
Penjualan tersebut dilakukan nyaris sepanjang tahun lalu, sebelum sebelumnya Treasury yang dijual sebesar US$ 24 miliar. Pada Juli 2022 lalu, untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir kepemilikan Treasury China turun ke bawah US$ 1 triliun.
Aksi jual tersebut dimulai sejak 2017, ketika adanya perang dagang melawan Amerika Serikat. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan Eropa kepada Rusia yang memulai perang di Ukraina semakin menguatkan niat China untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.
Semakin banyak surat utang yang dijual maka harganya akan turun sehingga yield atau imbal hasil. Pemerintah AS pun mesti membayar bunga yang lebih mahal kepada yang membeli surat utang AS.