
Fenomena Bank Raksasa Tumbang, Ada Peran Rusia, AS, dan Arab

- Krisis perbankan di AS yang menimpa SVB dan Signature Bank kini meluas ke Eropa dengan bermasalahnya Credit Suisse
- Krisis perbankan membuat dampak kebijakan moneter ketat The Fed jadi sorotan
- Kebijakan The Fed dinilai terlalu ketat dan diberlakukan dalam waktu yang cepat
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis perbankan yang kini mengguncang Amerika Serikat (AS) dan Eropa membuat kebijakan bank sentral AS The Federal Reserve (The Fed) dalam sorotan tajam.
Kenaikan suku bunga acuan The Fed yang sangat agresif sebesar 450 basis points (bps) hanya dalam kurun waktu setahun terakhir dinilai mulai membahayakan.
"Masalah yang dihadapi SVB menjadi peringatan bahwa ketika bank sentral menggunakan senjata suku bunga maka hal itu bisa menghancurkan ekonomi atau sistem keuangan," tutur analis Capital Economics, Paul Ashworth Ashworth, dikutip dari Market Watch.com.
Krisis perbankan setidaknya sudah memakan tiga korban yakni Silicon Valley Bank (SVB), Signature Bank, dan Silvergate Bank. Bank-bank yang selama ini menjadi andalan startup, kripto, dan venture capital tersebut tumbang dan ditutup karena kesulitan modal.
SVB kolaps pada Jumat (13/3/2023) atau hanya 48 jam setelah berencana mengumpulkan dana sebesar US$ 2,25 miliar untuk menambah modal pada Rabu (8/3/2023).
Belum selesai krisis di perbankan AS, krisis baru muncul dari bank Swiss Credit Suisse.
Saham bank yang berdiri pada 1856 tersebut jeblok 39% dalam delapan hari perdagangan, termasuk turun tajam 24% kemarin.
Persoalan Credit Suisse bermula setelah mereka mengakui ada "kelemahan material" yakni kelemahan dalam kontrol internal mereka ketika bank terlambat merilis laporan keuangan.
Persoalan makin runyam setelah investor terbesar mereka Saudi National Bank, asal Arab Saudi, menolak memberikan tambahan modal karena terbentur aturan kepemilikan saham maksimal 10%.
Meluasnya krisis perbankan semakin meningkatkan kekhawatiran pasar jika ada persoalan besar dalam sistem perbankan global.
Publik kini melihat ada dampak besar dari kenaikan suku bunga acuan global secara signifikan setelah era dana murah.
Seperti diketahui, pada saat pandemi Covid-19 melanda dunia awal Maret 2020, bank sentral di dunia menyuntik berbagai macam stimulus. Termasuk di dalamnya adalah dengan memangkas suku bunga serendah-rendahnya.
Suku bunga acuan The Fed, misalnya, memangkas suku bunga acuan hingga 150 bps ke level terendahnya di 0-,025% per Maret 2020.
Suku bunga rendah dan uang murah kemudian menjadi berkah bagi industri kripto dan perusahaan startup untuk menambah modal hingga ekspansi.
Bank-bank di Amerika juga menumpuk obligasi pemerintah sebagai aset. Nilai obligasi surat utang pemerintah AS yang dimiliki bank-bank AS menembus US$ 4,4 triliun, 19% dari aset perbankan secara keseluruhan.
Jumlah tersebut melonjak tajam dibandingkan per 2005 yang hanya US$ 1 triliun.
Namun, pemulihan ekonomi pasca pandemi dan perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari 2022 mengubah segalanya. Ambisi Rusia menaklukkan Ukraina membuat harga komoditas energi dan pangan melambung dan banyak yang mencatatkan rekor.
Inflasi dengan cepat melonjak hingga memaksa bank sentral turun tangan. Inflasi AS melonjak hingga 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2022. Level tersebut adalah yang tertinggi selama 41 tahun terakhir.
The Fed pun bertindak cepat dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada 16 Maret 2022.
Pada empat pertemuan Juni, Juli, September, dan November 2022, The Fed bahkan menaikkan suku bunga masing-masing sebesar 75 bps.
Kenaikan agresif ini membuat banyak perusahaan gagal menyeimbangkan neracanya. Suku bunga tinggi juga membuat ongkos pinjaman mahal sehingga mau tidak mau mereka menarik dana dari SVB dan bank lain.
Bank penyalur pinjaman pun kekurangan modal dan mau tidak mau berupaya mengumpulkan dana. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.
Upaya SVB untuk menambah modal malah menjadi bumerang karena investor khawatir. SVB pun terpaksa menjual kepemilikan obligasi mereka senilai US$ 21 miliar atau Rp 324,5 triliun untuk mendapatkan dana.
Namun, dengan kondisi saat ini, penjualan bond malah membuat bank tersebut rugi hingga US$ 1,8 miliar atau sekitar Rp 27,8 triliun.
SVB rugi besar karena nilai obligasi tengah jatuh. Kenaikan suku bunga agresif The Fed tersebut membuat yield atau imbal hasil surat utang melonjak tajam. Sebaliknya, harga obligasi ambruk.
Sebagai catatan, harga dan imbal hasil obligasi saling bertolak belakang. Yield yang naik menandai semakin berkurangnya atau turunnya nilai surat utang.
Merujuk pada data Refinitiv, imbal hasil surat utang pemerintah AS tenor 10 tahun pada akhir Februari 2022 atau sebelum kenaikan suku bunga The Fed ada di kisaran 1,84%. Imbal hasil sudah menembus ke kisaran 3,49% kemarin.
Kepemilikan obligasi sebenarnya tidak menjadi masalah jika bank akan menjual bond hingga jatuh tempo.
Namun, lain perkara jika harus dijual di saat kondisi seperti ini. Dengan nilai obligasi yang merosot tajam maka pemegang bond akan merugi dalam jumlah besar.
Krisis perbankan akibat lonjakan suku bunga The Fed juga pernah dialami AS pada 2008/2009.
Pada akhir 2000 hingga 2001, terjadi ledakan dot-com bubble setelah lonjakan saham berbasis teknologi. Ekonomi AS anjlok pada akhir 2000 hingga 2001.
Untuk mendorong pertumbuhan, The Fed kemudian memberlakukan kebijakan moneter yang sangat longgar. Secara keseluruhan, The Fed memangkas suku bunga sebesar 550 bps dari 6,5% pada akhir 2000 menjadi 1% pada Juni 2003.
Saat ekonomi AS mulai tumbuh kencang, The Fed kemudian mengerek suku bunga 425 bps selama tiga tahun dari 1% pada Juni 2003 menjadi 5,25% pada Juni 2006.
Kenaikan suku bunga membuat kredit perumahan (subprime mortgage) meledak. Amerika pun masuk ke jurang resesi pada 2008.
Bank-bank bertumbangan termasuk Lehman Brothers. AS pun harus membayar mahal dengan memberikan bailout hingga sebesar US$ 700 miliar kepada bank-bank yang bermasalah.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(mae/mae) Next Article Ada 12 Bank Mirip SVB di Amerika, Risiko Besar Mengancam?
