Banyak Bank di AS Bangkrut, Investor Mulai Was-was dengan RI

Tim Redaksi, CNBC Indonesia
16 March 2023 08:35
Komisaris Independen BCA Raden Pardede (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Komisaris Independen BCA Raden Pardede (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Senior Raden Pardede mengungkapkan, apa yang terjadi di Amerika Serikat (AS) harus selalu dicermati. Komunikasi tentang kebijakan serta situasi ekonomi dan keuangan di Indonesia menjadi kunci, untuk tidak memberikan sentimen negatif kepada masyarakat.

Raden menjelaskan, sentimen negatif yang terjadi di pasar keuangan di AS akan berpengaruh kepada seluruh dunia, termasuk ke Indonesia.

Sehingga volatilitas dalam jangka pendek akan terjadi, sampai dengan para pelaku pasar yakin, bahwa persoalan yang ada di AS, seperti bangkrutnya Silicon Valley Bank dan Signature Bank tidak akan menjalar ke negara-negara berkembang, seperti Indonesia.

"Jadi, kalau sampai-sampai ada investor dan para pemegang deposito atau DPK (Dana Pihak Ketiga) menjadi tidak percaya pada bank-banknya, terutama di AS. Mereka akan melihat apakah situasi bank di AS ini dengan Indonesia sama atau tidak," jelas Raden kepada CNBC Indonesia, Rabu (15/3/2023).

Masyarakat hampir di seluruh negara, kata Raden pasti akan selalu membanding-bandingkan hal yang terjadi saat ini. Oleh karena itu para investor dan nasabah harus diberikan informasi secara jelas, seperti apa situasi ekonomi dan pasar keuangan di negaranya.

"Komunikasi ini menjadi penting saya pikir, dan harus dilakukan oleh otoritas keuangan, KSSK (Komite Stabilitas Sistem Keuangan) dalam hal ini. OJK, BI, dan LPS tentunya," ucapnya.

Masyarakat harus dibekali dengan informasi-informasi terkini untuk bisa meyakinkan mereka, bahwa dana yang mereka tabung atau simpan di bank tanah air aman.

Pengawasan oleh KSSK terhadap sistem keuangan seperti apa, kondisi likuiditas perbankan seperti apa, bagaimana tingkat permodalannya, dan sebagainya.

"Hal-hal ini yang perlu dikomunikasikan secara terus terang, transparan kepada para pelaku pasar keuangan dan pemegang deposito. Ini menjadi penting," jelas Raden.

"Seperti diberitahukan, tingkat permodalan daripada bank-bank kita, sekarang 26% sampai 27%. Berbeda dengan bank-bank di AS, dengan tingkat permodalan yang paling basic hanya 10,8%," ujar Raden lagi.

Informasi mengenai tingkat permodalan perbankan itu, kata Raden menjadi penting. Mengingat saat ini tingkat suku bunga Bank Sentral AS atau The Federal Reserve juga masih tinggi pada level 4,63% dan pasar kini melihat puncak suku bunga di AS bisa mencapai 5,25% hingga 5,5%.

Dampak kenaikan suku bunga yang esktrem akan mengganggu negara-negara yang memiliki utang dalam bentuk dolar AS cukup besar. Negara-negara yang punya utang besar itu dapat kesulitan melunasi utangnya.

"Itu yang mengakibatkan tingkat permodalan kita yang cukup tinggi itu membuat kita relatif aman," tutur Raden.

Demikian juga posisi dengan rasio cadangan kerugian penurunan nilai (CKPN) di Indonesia yang mencapai 240%, sementara di AS hanya 148% dan Uni Eropa hanya 120%.

"Hal itu yang mungkin harus diutarakan, menggambarkan bagaimana situasi perbankan kita, juga situasi dari ekonomi kita, termasuk utang dibandingkan dengan berbagai negara. [...] Ini bisa dikomunikasikan dengan baik kepada nasabah dan investor," jelas Raden.

Oleh karena itu, menurut Raden KSSK harus selalu dalam situasi waspada. Lebih baik mencegah daripada memadamkan. Seluruh otoritas harus selalu menjaga sentimen melalui komunikasi dengan publik. "Harus selalu waspada. Kalau saya berpikiran mencegah lebih bagus daripada memadamkan. Karena kalau sudah memadamkan itu, kita tinggal mengambil puing-puing."

"Sebutkanlah data-data yang kita punya, seperti yang saya katakan tadi, permodalan dari bank kita tentunya. Juga tingkat likuiditas di bank-bank kita. Kalau sampai ada kenaikan seperti ini, kira-kira dampaknya terhadap aset itu seperti apa," ucapnya.


(cap/cap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Dampak Kolapsnya SVB AS ke RI, Begini Penjelasan 5 Ekonom!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular