Sectoral Insight

Fenomena Bank Raksasa Tumbang, Ada Peran Rusia, AS, dan Arab

mae, CNBC Indonesia
16 March 2023 11:40
Silicon Valley Bank
Foto: AP/Jeff Chiu

Seperti diketahui, pada saat pandemi Covid-19 melanda dunia awal Maret 2020, bank sentral di dunia menyuntik berbagai macam stimulus. Termasuk di dalamnya adalah dengan memangkas suku bunga serendah-rendahnya.

 Suku bunga acuan The Fed, misalnya, memangkas suku bunga acuan hingga 150 bps ke level terendahnya di 0-,025% per Maret 2020.

Suku bunga rendah dan uang murah kemudian menjadi berkah bagi industri kripto dan perusahaan startup untuk menambah modal hingga ekspansi. 

Bank-bank di Amerika juga menumpuk obligasi pemerintah sebagai aset. Nilai obligasi surat utang pemerintah AS yang dimiliki bank-bank AS menembus US$ 4,4 triliun, 19% dari aset perbankan secara keseluruhan.

Jumlah tersebut melonjak tajam dibandingkan per 2005 yang hanya US$ 1 triliun.

 Namun, pemulihan ekonomi pasca pandemi dan perang Rusia-Ukraina pada akhir Februari 2022 mengubah segalanya. Ambisi Rusia menaklukkan Ukraina membuat harga komoditas energi dan pangan melambung dan banyak yang mencatatkan rekor.

Inflasi dengan cepat melonjak hingga memaksa bank sentral turun tangan. Inflasi AS melonjak hingga 9,1% (year on year/yoy) pada Juni 2022. Level tersebut adalah yang tertinggi selama 41 tahun terakhir.

The Fed pun bertindak cepat dengan menaikkan suku bunga acuan sebesar 25 bps pada 16 Maret 2022. 

Pada empat pertemuan Juni, Juli, September, dan November 2022, The Fed bahkan menaikkan suku bunga masing-masing sebesar 75 bps.

Kenaikan agresif ini membuat banyak perusahaan gagal menyeimbangkan neracanya. Suku bunga tinggi juga membuat ongkos pinjaman mahal sehingga mau tidak mau mereka menarik dana dari SVB dan bank lain.

Bank penyalur pinjaman pun kekurangan modal dan mau tidak mau berupaya mengumpulkan dana. Hingga Kamis (9/3/2023), penarikan modal dari SVB menembus US$ 42 miliar atau Rp 648,69 triliun.

(mae/mae)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular