Newsletter

Waspadalah! Kabar Baik Bakal Jadi Musibah Pasar Finansial

Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
10 March 2023 05:55
Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)
Foto: Jerome Powell (REUTERS/Erin Scott)

Wall Street yang berakhir melemah membawa potensi perlemahan pada perdagangan hari ini. Apalagi, indeks acuan Tanah Air sudah menguat pada perdagangan kemarin sehingga mendorong aksi profit taking.

Sentimen pasar utama masih diselimuti oleh implikasi atas pengumuman sejumlah data ekonomi yang menjadikan sinyal-sinyal bagi para investor sejauh mana The Fed akan mengambil langkah untuk mengerek suku bunga yang lebih tinggi.

Apalagi imbas pidato Powell pada Selasa dan Rabu pekan ini tak satupun membawa kabar menggembirakan bagi pasar. Powell mengisyaratkan kenaikan suku bunga lebih lanjut membuat kegalauan pasar keuangan semakin nyata.

Kali ini, investor masih memasang mode wait and see data ekonomi penting dari laporan nonfarm payrolls hari Jumat mendatang yang begitu diawasi ketat. Investor percaya ini adalah kunci untuk melihat lebih jelas seberapa besar langkah The Fed untuk kembali mengerek suku bunga ke depan.

Investor sudah menerima banyak kabar tentang kondisi pasar tenaga kerja menjelang laporan tersebut. Kemarin Departemen Tenaga Kerja AS melaporkan data klaim pengangguran untuk pekan yang berakhir 4 Maret naik lebih dari yang diharapkan.

Klaim pengangguran awal mencapai 211.000 untuk pekan yang berakhir 4 Maret, angka ini menjadi level tertinggi tahun ini dan sejak 24 Desember. Sementara, klaim lanjutan juga mencapai level tertinggi tahunan yang berada di angka 1,718 juta untuk pekan tanggal 25 Februari sekaligus mencatatkan level tertinggi sejak 17 Desember.

Data ini menandakan bahwa pasar tenaga kerja mungkin mulai melambat.

Sebelumnya kalau kita tinjau kembali, laporan penggajian ADP dan data JOLTS pada hari Rabu (8/3/2023) menunjukkan ekonomi yang tangguh, meningkatkan kekhawatiran bahwa Fed membutuhkan lebih banyak kenaikan untuk memperlambatnya.

Dua kali Powell berpidato tepatnya pada Selasa (7/3/2023) dan Rabu (8/3/2023) tak ada satupun yang membuat investor lega. Kedua pidatonya memunculkan kecemasan bahwa suku bunga akan terus naik beberapa waktu ke depan.

Ini dipicu oleh data ekonomi AS yang masih terlihat kuat, utamanya dari data tenaga kerja. Powell menilai kenaikan suku bunga saat ini belum mampu menekan inflasi ke target mereka di kisaran 2%. Data-data terbaru juga menunjukkan ekonomi AS masih berlari kencang.

Untuk diketahui, The Fed telah menaikkan suku bunga acuannya 8 kali selama setahun terakhir, yang terbaru adalah kenaikan seperempat poin persentase awal bulan lalu yang membawa suku bunga pinjaman semalam ke kisaran target 4,5%-4,75%.

Nilai tukar rupiah dikhawatirkan terus melemah jika The Fed sangat agresif ke depan. Pasalnya, kenaikan suku bunga The Fed akan membuat dolar AS semakin menarik sehingga investor lebih memilih melepas rupiah dan beralih ke dolar AS.

Seperti diketahui, BI sudah menaikkan suku bunga acuan sebesar 225 bps sejak Agustus 2022 menjadi 5,75% pada saat ini. BI memilih menahan suku bunga di level 5,75% pada Februari 2023 dan mengisyaratkan tidak akan ada kenaikan ke depan.

Suku bunga acuan BI saat ini di level 5,75% dengan menghitung The Fed hanya akan menaikkan suku bunga acuan hingga 5,25%.

Dari Negeri Tirai Bambu, inflasi China melambat pada Februari karena konsumen masih tetap berhati-hati mengeluarkan uang mereka meskipun kontrol pandemi nol-Covid yang ketat telah berakhir tahun lalu.

Berdasarkan data resmi Biro Statistik Nasional (NBS) yang dirilis Kamis (9/3/2023), menunjukkan inflasi tahunan (year-on-year/yoy) Februari 2023 tercatat 1%, sekaligus menjadi laju paling lambat sejak Februari 2022. Inflasi itu turun dari bulan sebelumnya sebesar 2,1% yoy.

Inflasi pada Februari juga berada di bawah estimasi dalam jajak pendapatReuterssebesar 1,9% yoy. Adapun, pemerintah telah menetapkan target inflasi pada 2023 sebesar 3%.

Secara bulanan (month-to-month/mtm) terjadi deflasi 0,5% pada Februari 2023, berbalik dari inflasi 0,8% mtm pada bulan sebelumnya dan di bawah ekspektasi inflasi sebesar 0,2% mtm.

Sementara itu, Parlemen China telah menetapkan target pertumbuhan ekonomi secara konservatif yakni sekitar 5%. Hal ini menjadi sebuah tanda bahwa pembuat kebijakan menyadari terdapat hambatan ekonomi yang masih sulit untuk diselesaikan.

Perekonomian terbesar kedua di dunia itu telah mengalami pemulihan tentatif dari gangguan Covid-19 sambil menghadapi permintaan yang lebih lemah di luar negeri dan penurunan properti domestik.

Ekonom mengatakan China tetap akan melihat tekanan inflasi dalam beberapa bulan mendatang, sebagian besar berkat berakhirnya upaya untuk menekan Covid-19.

Dari dalam negeri, data penjualan eceran menjelang Ramadan masih lesu. Kenaikan penjualan hanya terjadi pada kelompok makanan, minuman & tembakau, serta kelompok sandang.

Survei Bank Indonesia (BI) menunjukkan penjualan eceran pada Februari 2023 atau sebulan menjelang lebaran juga melandai.Indeks Penjualan Riil (IPR) pada Februari 2023 tercatat 205,2 atau terendah dalam tiga bulan terakhir.

Secara tahunan, indeks sudah tumbuh 2,6% tetapi secara bulanan (month to month) masih terkontraksi 1,4%.Artinya, indeks sudah terkontraksi secara dua bulan beruntun.

(aum/aum)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular