Monetary Insight
Ngeri Nih! BlackRock & JPMorgan Ramal Suku Bunga The Fed 6%

- Ketua The Fed menyatakan suku bunga bisa naik lebih tinggi lagi, membuat pasar finansial kembali gonjang-ganjing.
- Pelaku pasar melihat suku bunga The Fed bisa mencapai 6%, bahkan BlackRock dan JPMorgan juga melihat hal serupa.
- Kenaikan suku bunga di AS yang lebih tinggi bisa memicu capital outflow dari pasar obligasi di dalam negeri, dan berisiko membuat rupiah kembali terpuruk.
Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan Ketua The Fed Jerome Powell terkait suku bunga di Amerika Serikat (AS) membuat pasar finansial global gonjang-ganjing pada Rabu (8/3/2023). Para analis kini semakin yakin bank sentral AS ini akan kembali agresif menaikkan suku bunga.
"Data ekonomi terbaru datang lebih kuat dari yang diharapkan, ini menunjukkan bahwa tingkat suku bunga akhir kemungkinan akan lebih tinggi dari yang diantisipasi sebelumnya," kata Powell dalam sambutannya di hadapan Senat AS, Selasa waktu setempat.
Powell juga menegaskan laju kenaikan suku bunga bisa kembali ditingkatkan jika diperlukan guna bisa mengendalikan inflasi.
Pelaku pasar kini melihat puncak suku bunga The Fed akan berada di kisaran 5,5% - 5,75%. Hal tersebut tercermin dari data perangkat FedWatch milik CME Group, di mana suku bunga akan mencapai level tersebut pada Juli dengan probabilitas sebesar 44,8%.
![]() |
Bahkan, ada probabilitas sebesar 32% suku bunga mencapai 5,75% - 6%. Artinya ada peluang kenaikan 125 basis poin lagi dari level saat ini.
Tidak hanya pelaku pasar, kepala investasi fixed income BlackRock Rick Rieder, juga memprediksi suku bunga The Fed bisa mencapai 6%.
"Kami pikir ada peluang The Fed akan membawa suku bunga ke 6%, dan mempertahankannya dalam waktu yang cukup lama untuk memperlambat perekonomian dan membawa inflasi kembali mendekati 2%," kata Rieder merespon pernyataan Powell di Senat.
Perusahaan aset menajemen terbesar di dunia ini Rieder melihat perekonomian AS lebih kuat dari prediksi, melihat pasar tenaga kerja dengan inflasi di level terendah sejak 1969.
Sebelum BlackRock, CEO JPMorgan, Jamie Dimon pada Januari lalu bahkan menyatakan The Fed mungkin perlu menaikkan suku bunga (Federal Funds Rate/FFR) hingga ke level 6% untuk melawan inflasi
"Inflasi tidak akan turun seperti yang diharapkan orang," katanya. "Tapi yang pasti akan turun sedikit."
Jika kondisinya masih urung membaik, Dimon berpendapatan The Fed dapat mulai menaikkan suku bunga pada kuartal keempat dan menyebut kenaikan suku bunga acuan tersebut "mungkin saja 6%."
Suku bunga 6% akan menjadi yang tertinggi sejak 2021. Jika itu terjadi, pasar finansial global akan mengalami "Gempa".
Aliran modal bisa kembali keluar dari negara emerging market seperti Indonesia menuju Amerika Serikat, sebab selisih imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) dengan Treasury akan semakin menyempit.
Pada 21 Februari lalu bahkan menyentuh 2,77%, menjadi yang terendah setidaknya dalam lebih dari 20 tahun terakhir.
Semakin sempit selisih yield, maka risiko terjadi capital outflow dari pasar obligasi semakin besar. Terbukti, sepanjang Februari aliran modal keluar mencapai Rp 7,6 triliun.
Kemudian pada Maret hingga tanggal 6 sudah terjadi outflow sebesar Rp 5 triliun. Padahal pada Januari terjadi inflow nyaris Rp 50 triliun.
Capital outflow tersebut jika berlanjut berisiko membuat rupiah terpuruk. Hal ini bisa memaksa Bank Indonesia kembali menaikkan suku bunga, sehingga ada risiko pertumbuhan ekonomi lebih lambat lagi.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[Gambas:Video CNBC]
Cek Ombak! Ini Sektor yang BIsa Terdampak Kebijakan The Fed
(pap/pap)