
Beda Nasib! JPMorgan Disanjung, The Fed "Dirujak" Invesor

Jakarta, CNBC Indonesia - Saham JP Morgan Chase & Co melonjak 2% lebih setelah menjadi penyelamat bagi kegagalan First Republic Bank, yang merupakan terbesar sejak krisis keuangan 2008.
Mengacu data Refinitiv, harga saham Bank J.P Morgan melonjak 2,14% ke 141,20 pada perdagangan Senin (1/5/2023) waktu Amerika Serikat. Ini merupakan lonjakan terbesar sejak dua pekan lalu.
Mengutip Reuters, JPMorgan akan membayar US$10,6 miliar atau setara Rp156,88 triliun (Rp14.800/1US$) kepada US Federal Deposit Insurance Corp (FDIC) sebagai bagian dari kesepakatan untuk mengendalikan sebagian besar aset bank, termasuk mendapatkan akses ke basis klien burjois milik Bank First Republic.
"Pemerintah kami mengundang kami dan yang lainnya untuk melangkah, dan kami melakukannya," kata Jamie Dimon, Ketua dan CEO JPMorgan, yang juga menjadi pemain kunci dalam krisis keuangan 2008 dan membeli Bear Stearns dalam penyelamatan akhir pekan.
Kesepakatan itu akan membebani Dana Asuransi Simpanan FDIC sekitar US$13 miliar, menurut perkiraan awal regulator.
JPMorgan diketahui sudah memegang lebih dari 10% dari total simpanan bank nasional. Wells Fargo dalam sebuah catatan mengatakan bahwa simpanan bersih JPM akan meningkat sebesar 3% sebagai hasil dari pembelian asset First Republic Bank.
Presiden AS Joe Biden pada hari Senin memuji kesepakatan untuk melindungi deposan tanpa membuat pembayar pajak membayar tagihan. Dia mengulangi seruannya untuk pengaturan dan pengawasan bank yang lebih kuat.
"Tindakan ini akan memastikan bahwa sistem perbankan aman dan sehat," kata Biden dalam sebuah acara di Gedung Putih. "Kritis, pembayar pajak bukanlah orang-orang yang terikat."
Gedung Putih memuji tindakan "tegas" yang diambil oleh regulator untuk melindungi deposan dan menjaga kestabilan sistem perbankan. Sekretaris pers Gedung Putih Karine Jean-Pierre mengatakan tindakan itu juga akan memastikan bahwa First Republic, yang menurutnya "salah urus," akan dimintai pertanggungjawaban.
Tidak ketinggalan, CEO saingan Citigroup Jane Fraser, memuji kesepakatan itu sebagai penyelesaian sumber ketidakpastian utama terakhir untuk sektor ini setelah periode kekacauan.
"Jangan menodai semua bank regional dan kecil karena memiliki masalah besar," kata Fraser dalam sebuah konferensi.
"Ini bukan krisis keuangan dunia, ini bukan krisis simpan pinjam. Akan ada tekanan, tapi mari kita fokus di mana itu."
Saat JPMorgan mendapatkan pujian setinggi langit, sebaliknya bank sentral AS (Federal Reserves/The Fed) malah jadi bulan-bulanan.
Banyak pelaku pasar menyalahkan The Fed atas penutupan Silicon Valley Bank dan Signature Bank pada Maret lalu.
Mereka yang menyalahkan The Fed mengkritisi kebijakan moneter yang sangat longgar selama bertahun-tahun diikuti oleh pembalikan tiba-tiba dan kenaikan suku bunga yang cepat oleh Federal Reserve AS selama setahun terakhir.
Tercatat The Fed sudah menaikkan suku bunga inti untuk kesembilan kalinya pada Maret 2023 sejak kebijakan kenaikan suku bunga dimulai pada Maret 2022 ke kisaran 4,75% hingga 5%.
"Ketika itu hanya SVB, mudah untuk menyalahkan manajemen. Namun, sekarang kita melihat polanya, terbukti bahwa The Fed telah bergerak terlalu jauh, terlalu cepat dan melanggar banyak hal," kata Thomas J. Hayes, Ketua dan Ketua Anggota Pengelola, Great Hill Capital.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)