CNBC Indonesia Research
Dilema China Bagi RI: Bantu Ekonomi Tapi Beri Masalah Juga

- Re-opening ekonomi China diproyeksikan bisa mengerek pertumbuhan ekonomi RI, terutama ditopang dari sisi ekspor
- Harga komoditas bisa kembali naik jika perekonomian China bangkit. Inflasi energi bisa susah turun, masalah dunia sulit teratasi, resesi pun terus membayangi.
- Indonesia bisa terkena imbasnya, jika harga minyak mentah terus naik, ada risiko harga BBM kembali naik. Pasar saham Indonesia juga sudah terkena dampak negatif dari re-opening China.
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) memberikan proyeksi yang optimistis terhadap perekonomian Indonesia tahun ini.
"Untuk tahun 2023 Bank Indonesia memproyeksikan bias ke atas 4,5-5,3%," ungkap Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (16/2/2023).
Menurut Perry, perekonomian China yang lebih baik setelah melakukan re-opening akan mengerek ekspor Indonesia.
"Hal ini didukung oleh kinerja ekspor yang berpotensi akan lebih tinggi dari perkiraan semula didorong pengaruh positif perbaikan ekonomi China," paparnya.
China memang pasar ekspor utama Indonesia.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) nilai ekspor Indonesia ke China sepanjang 2022 sebesar US$ 63,5 miliar, naik 24% dari tahun sebelumnya.
Besarnya nilai ekspor tersebut bahkan terjadi saat China mengalami masa "tergelap". Perekonomiannya tumbuh 3% saja, terendah sejak 1976 jika tidak memperhitungkan 2020 saat dihantam pandemi Covid-19.
Tingginya harga komoditas menjadi salah satu penyebab melesatnya nilai ekspor. Tahun ini ketika ekonomi China bangkit, volume ekspor seharusnya bisa lebih tinggi dari 2022, yang mampu mengimbangi harga komoditas yang lebih rendah dari tahun lalu. Bahkan tidak menutup kemungkinan akan mendongkrak harga komoditas.
Kabar baik bagi Indonesia tentunya.
Tetapi di sisi lain, jika harga komoditas kembali naik ada risiko inflasi tinggi akan sulit turun. China merupakan konsumen minyak mentah terbesar kedua di dunia, saat roda perekonomian berputar lebih kencang, pemintaan minyak mentah tentunya akan meningkat.
Kala permintaan naik dan supply tetap, harganya tentunya akan naik. Apalagi jika supply sampai turun dengan berbagai sebab, misalnya Rusia yang mengurangi produksi, harga minyak mentah tentunya bisa lebih tinggi lagi.
Harga minyak mentah tinggi maka inflasi energi akan sulit turun dan bisa menjalar ke barang-barang lainnya. Dunia yang saat ini sedang berjuang menurunkan inflasi, tentunya tantangannya akan semakin berat. Resesi dunia bisa terjadi, bahkan mungkin lebih buruk, dan Indonesia bisa kena imbasnya.
Saat China mulai melakukan re-opening, harga minyak mentah jenis Brent langsung melesat pada Januari lalu, hingga mendekati US$ 90/barel.
Jika sampai menembus kembali US$ 100/barel, maka biaya impor minyak mentah Indonesia akan kembali membengkak. Lebih tinggi lagi harga minyak mentah, tentunya harga bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi akan naik, BBM subsidi pun tidak menutup kemungkinan dinaikkan.
Selain itu, dari pasar finansial dampaknya juga sudah terasa.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang dibanjiri duit asing pada tahun lalu mendadak ditinggal. Investor asing ramai-ramai menarik dananya, dan ada indikasi memasukkannya ke China.
Data pasar menunjukkan pada investor asing melakukan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp 3,2 triliun. IHSG pun sempat jeblok ke kisaran 6.500, terendah sejak Juli tahun lalu.
Di sisi lain, pasar saham China menikmati capital inflow yang besar.Data dari Institute of International Finance menunjukkan inflow ke pasar saham China pada Januari mencapai US$ 17,6 miliar, terbesar sejak Desember 2020.
Bangkitnya ekonomi China memang memberikan dampak yang positif, efek negatifnya juga ada. Tetapi jika pemulihan tersebut tidak memicu lonjakan harga komoditas lagi, dampak positifnya akan lebih terasa ketimbang negatif.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(pap/pap)[Gambas:Video CNBC]