Sectoral Insight

Indonesia Darurat Dokter! Parah, Peringkat Terburuk 139 Dunia

Research - Aulia Mutiara Hatia Putri, CNBC Indonesia
03 February 2023 07:06
Sejumlah massa aksi dari  Dewan Pengurus Nasional Forum Komunikasi Nakes dan Non-Nakes Indonesia (DPN FKHN Indonesia) menggelar unjuk rasa di kawaasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (22/9/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto) Foto: Sejumlah massa aksi dari Dewan Pengurus Nasional Forum Komunikasi Nakes dan Non-Nakes Indonesia (DPN FKHN Indonesia) menggelar unjuk rasa di kawaasan Patung Kuda, Jakarta, Kamis (22/9/2022). (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)

Jakarta, CNBC Indonesia- Kalimat 'Indonesia Darurat Dokter' menjadi isu yang kerap kali sulit dipercaya jika tak melihat data dan membandingkannya dengan negara lain. Ironisnya, inilah fakta yang ada. Indonesia berada di urutan 139 dari 194 negara.

Ini memperlihatkan bahwa Indonesia jauh berada di bawah negara lain di mana masalah kurangnya jumlah dokter terutama dokter spesialis dan sub-spesialis, dan juga pemeratannya, belum bergeming untuk beranjak membaik.

Dalam rasio data yang dirangkum WHO, apabila sebuah negara berhasil memenuhi"golden line", maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.Lantas bagaimana "golden line"yang dikatakan WHO?

Ya, ini adalah garis emas rasio jumlah dokter, termasuk dokter umum dan spesialis, yang ideal, yaitu 1/1000 atau 1 dokter per 1000 penduduk. Apabila sebuah negara berhasil memenuhi"golden line", maka dapat dikategorikan berhasil dan bertanggung jawab kepada rakyatnya di bidang kesehatan.

Angka terakhir yang di dapatkan dari WHO dan juga World Bank, rasio Indonesia berada di 0,46/1000. Angka ini membawa Indonesia menempati posisi ketiga terendah di ASEAN setelah Laos 0,3/1000 dan Kamboja 0,42/1000.

Kalau kita bandingkan dengan Thailand dan Filipina kita masih di bawahnya, apalagi dengan Malaysia dan Singapura.

Ini hanya membandingkan dengan negara ASEAN, bagaimana dengan negara yang lain? Justru sulit untuk dijelaskan.

Padahal, kalau kita bicara soal perlindungan negara pada Undang-undang juga sudah tertulis di Pasar 34 ayat 3 di mana "Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak". Ya, salah satunya kunci penting dari sistem kesehatan tersebut yakni dokter.

Kesehatan menjadi salah satu indikator penting dalam menentukan kesejahteraan masyarakat di suatu negara. Semakin sehat penduduk, maka semakin sejahtera pula mereka.

Menilik data Legatum Institue, Jepang berada di posisi pertama dengan skor mencapai 86,6 poin pada 2021.

Posisinya diikuti oleh Singapura dengan skor indeks kesehatan sebesar 86,12. Kemudian, Norwegia punya skor indeks kesehatan sebesar 84,02 poin. Taiwan menyusul dengan skor indeks kesehatan sebesar 83,43 poin.

Sebagai informasi, penilaian indeks ini meliputi berapa orang sehat dan memiliki akses ke layanan yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatannya. Hal tersebut mencakup pula pengeluaran kesehatan, sistem kesehatan, faktor risiko dan penyakit, serta tingkat kematian.

Dengan ini, tak asing kita lihat banyaknya masyarakat kita malah pergi berobat ke luar negeri. Banyak faktor pemicu mulai dari mencari teknologi tertentu hingga mencari keahlian spesialis tertentu, sebab negara lain memiliki pelayanan kesehatan dengan berbagai pilihan.

Bahkan pertengahan tahun lalu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengaku Indonesia kehilangan devisa sektor kesehatan mencapai Rp 110 triliun seiring dengan banyaknya warga negara Indonesia yang memilih berobat ke luar negeri.

Hal tersebut dikemukakan Jokowi saat memberikan sambutan kala meresmikan Tower A dan B RSUD dr. Soedarso di Kota Pontianak, Provinsi Kalimantan Barat, Selasa (9/8/2022).

Dalam kesempatan tersebut, Jokowi sendiri tak dapat menyembunyikan kesedihannya setelah mengetahui masih banyak warga negara Indonesia yang lebih memilih pergi berobat ke luar negeri.

Kesedihan Jokowi sejatinya bukan tanpa alasan. Bukan karena berbagai rumah sakit dan fasilitas kesehatan yang dimiliki Indonesia yang tidak memadai, melainkan juga karena devisa yang keluar untuk membiayai pengobatan yang begitu besar.

"Berapacapital outflowkita, uang yang keluar membiayai rumah sakit? Lebih dari Rp 110 triliun tiap tahunnya," kata Jokowi

Sistem layanan kesehatan yang berkualitas dan efisien pada dasarnya begitu penting untuk memberi dampak besar bagi kualitas hidup masyarakat dan merupakan salah satu tolak ukur kesejahteraan masyarakat.

Data Yang Ada, Perlu Jadi Renungan! Apa yang Bisa Diperbaiki?

Ada beberapa hal sederhana yang bisa menjadi diskusi serta renungan bersama. Maka setidaknya ada beberapa hal yang patutnya menjadi perhatian di antaranya :

Pertama, dokter di Indonesia harus memenuhi kebutuhan penduduk Tanah Air bukan hanya di kota saja, tapi desa juga perlu di perhatikan.

Menurut Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin Indonesia saat ini hanya memiliki sekitar 14 ribu dokter aktif untuk jumlah penduduk 270 juta jiwa. Artinya, rasio dokter di Indonesia masih 1 banding 19 ribu penduduk.

Angka ini tentunya masih jauh dari standar WHO, yaitu 1 dokter umum berbanding 1.000 penduduk. Jika ingin mengikuti sandar ini Indonesia harus menambah jumlah dokter19 kali lipat dari jumlah yang aktif saat ini.

Hal ini tentunya menjadi salah satu pekerjaan rumah untuk transformasi kesehatan. Institusi lembaga pendidikan tentu berperan dalam hal ini untuk mengakselerasi munculnya dokter umum maupun spesialis di Tanah Air.

Kedua,pemerataan Kualitas Tim Non Medis, Paramedis, maupun Medis. Penting kita renungkan bersama apakah perawat di Tanah air memiliki standar yang terbaik, sehingga bisa menjadi partner dokter serta memberikan layanan terbaik di berbagai rumah sakit atau layanan sentra di Tanah Air.

Ketiga, aksesibilitas ini penting sekali. Kemudahan mendapatkan pelayanan kesehatan, sistem rujukan yang baik, serta kecepatan mendapatkan layanan sesuai dengan skala prioritas ini menjadi pekerjaan rumah bagi stakeholder.

Keempat, permasalahan harga obat-obatan dan alat kesehatan yang konon masih kurang terjangkau karena merupakan hasil impor serta mendapatkan bea masuk yang tinggi, sehingga pada akhirnya harga yang perlu di bayar pasien mau tidak mau mesti lebih tinggi.

Dari renungan ini, kita bisa benchmarking dengan pusat kesehatan yang terbaik di dunia seperti Jepang tadi. Bagaimana supaya dokter-dokter di Indonesia bisa bertambah tapi juga sesuai dengan standar terbaik, bagaimana caranya tenaga medis kita bisa mendapatkan pelatihan terbaik serta bagaimana caranya kita bisa mengadakan fasilitas kesehatan yang mumpuni.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mum/mum)

[Gambas:Video CNBC]