Sectoral Insight

Outlook Bisnis Asuransi Jiwa 2023 Cerah, Ini Alasannya

Research - Muhammad Maruf, CNBC Indonesia
02 February 2023 09:08
Asuransi Terbaik dan Terkuat Indonesia 2023 Foto: Infografis/ Asuransi Terbaik dan Terkuat Indonesia 2023 / Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Bisnis asuransi jiwa telah mengalami masa-masa buruk dalam lima tahun terakhir. Semakin membaiknya pelayanan asuransi publik, BPJS Kesehatan yang menekan akuisisi klien baru dan pasar keuangan membleyang membikin boncoshasil investasi menjadikan tantangan berat bisnis risiko ini. Bagaimana dengan tahun ini?

Dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan pendapatan asuransi jiwa tekor, minus 2,6% (CAGR 2021-2017, karena angka pendapatan 2022 belum rilis). Ini menyedihkan, sebab sebagai acuan Indeks Harga Saham Gabungan/IHSG bisa tumbuh hampir 2%. Dua duanya buruk, tapi asuransi lebih boncos. Tentu ini bukan acuan yang pas, sebab pendapatan bisnis asuransi disumbang dua hal; penjualan polis dan hasil investasi. Namun dari angka minus itu dapat disimpulkan kinerja premi dan investasi bisnis asuransi jiwa benar-benar memble.

Dengan asumsi ceteris paribusbisnis akuisisi klien baru ada alasan kuat seiring dengan pandangan bullishCNBC Indonesia Research terhadap pasar keuangan Indonesia tahun ini. Alasan pertama, pesta kenaikan suku bunga acuan sudah berakhir. Dari Fed's dot plot, yaitu petunjuk tentang pandangan anggota dewan bank sentral Amerika Serikat/Fed, menunjukkan fed fund ratemaksimal akan naik ke level 5,5% tahun ini dan kemudian akan melandai.

Ini memicu adanya keseimbangan baru arus modal asing yang mulai menyesuaikan atau rebalancing. Awalnya capital outflowdari pasar yang kaget berbondong-bondong keluar, namun kini berangsur kembali lagi. Contoh gampang saja, arus modal asing ke pasar obligasi negara sudah membaik, kepemilikan non residen bertambah sekitar Rp50 triliun pada bulan Januari ini, sekitar lima kali lipat dari arus masuk selama bulan yang sama 2022.

Sementara di pasar saham memang tercatat selisih bersih jual asing hampir Rp3,1 triliun. Tapi umumnya, investor asing memang masuk ke Indonesia melalui pasar obligasi dahulu, dan kemudian pindah ke ekuiti setelah kondisi nyaman.

Alasan kedua adalah permintaan ekspor yang kemungkinan akan tetap kuat. Meskipun harga komoditas seperti batubara dan mineral lainnya sedang menuju keseimbangan baru atau perlahan turun dari rekor tertinggi sejarah pada 2022, namun penurunannya tidak akan drastis. Permintaan tetap masih ada karena perang Rusia-Ukraina masih berlangsung.

Selanjutnya, mulai meredanya pandemi Covid 19 di banyak negara membuat permintaan membaik. Pada alasan itu, pelonggaran kebijakan nol Covid-19 di China akan memainkan peranan penting bagi permintaan ekspor Indonesia. Sejumlah lembaga top seperti Goldman Sachs bahkan memperkirakan ekonomi China akan melejit pada paruh kedua tahun ini.

Dari dalam negeri kebijakan pemerintah untuk menahan dana hasil ekspor (DHE) dapat membanjiri likuiditas pasar keuangan, dan memperkuat ketahanan rupiah terhadap tekanan strongdolar AS. Belum lagi fakta bahwa, struktur PDB Indonesia sangat aman, yakni 80% ditopang oleh permintaan domestik berupa sekitar 50% dari konsumsi rumah tangga, 10% dari belanja APBN, 20% dari investasi fisik/PMTB.

Sisanya adalah ekspor-impor yang tampaknya tak se-mengerikan yang dibayangkan pemerintah akibat potensi krisis global yang bisa menekan permintaan ekspor. Lebih baik percaya pada data. Kalaupun toh ekonomi dunia mengerikan 2023 itu benar, transmisi dampaknya kepada perekonomian domestik rendah, seperti juga pada struktur PDB, bisa dilihat pada rasio kumulatif nilai ekspor-impor terhadap PDB yang hanya 40%, rendah dibandingkan tetangga. Artinya, apapun yang terjadi di global sana tidak akan banyak berpengaruh.

Bisnis Problematik Asuransi Jiwa

Data resmi terbaru, jumlah peserta Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) atau klien BPJS Kesehatan mencapai menjadi 246 juta, atau sekitar 89% dari seluruh penduduk Indonesia. Ini adalah pukulan telak bagi bisnis asuransi swasta, karena semakin banyak masyarakat yang enggan membeli polis asuransi mereka. Kebanyakan merasa sudah cukup dengan asuransi pemerintah.

Sejak BPJS Ketenagakerjaan beroperasi pada 1 Januari 2014, berbagai cara telah dicoba diantaranya COB atau Coordination of Benefit. COB adalah pembolehan klaim dobelantara BPJS Kesehatan dengan asuransi swasta untuk menanggung biaya pertanggungan orang yang sama. Konsepnya BPJS Kesehatan hanya mengcover biaya pelayanan kesehatan dasar, sementara asuransi swasta melengkapinya.

Faktanya, hal ini tidak berjalan sebagaimana harapan karena BPJS sendiri terlanjur menggunakan strata kelas layanan bertingkat satu hingga tiga. Upaya menjadikan layanan menjadi satu kelas juga gagal karena protes publik. Padahal bila ini dilakukan, ada celah lebar bagi asuransi swasta untuk masuk mengisi kelas premium.

Usaha lain adalah inovasi atau lebih tepatnya rekayasa produk asuransi yang diboncengi produk investasi atau dikenal dengan unit-link. Istilah Indonesianya Produk Asuransi yang Dikaitkan Dengan Investasi alias PAYDI. Secara historis, produk unit link atau investment linked product pertama kali diperkenalkan di Inggris pada tahun 1960-an dan di Amerika Serikat pada 1970-an, dan mulai dikenalkan di Indonesia setelah krisis moneter 1997-an.

Produk ini mulanya adalah jawaban atas tipikal masyarakat Indonesia yang engganmembeli polis asuransi. Ini sejalan dengan level Indonesia yang masih merupakan low middle income country, sehingga asuransi bukan kebutuhan pokok. Bahkan negara saja baru mengakui eksistensi asuransi seiring berdirinya BPJS Kesehatan delapan tahun belakangan, meski amanat undang-undang dasar hasil amandemen mengamanatkan JKN pada 2002.

Namun literasi rendah masyarakat akan produk ini dimanfaatkan para agen penjual asuransi untuk 'mengelabui' calon nasabah dengan mengubah diksi investasi menjadi menabung. Yakni, memberikan ilustrasi keuntungan membeli unit-linkselain pertanggungan biaya sakit, juga cuan dana yang dibayarkan akan berlipat. Kontrak dibuat saklek, umumnya 10 tahun dan dengan ilustrasi tabel seperti cicilan rumah yang tumbuh 10-15% per tahun-biasanya unit-link saham.

Tentu ini konyol. Padahal investasi mengandung risiko, sementara menabung nyaris tidak. Skema tiga pihak asuransi, agen asuransi dan nasabah menjadi bom waktu sengketa yang siap meledak, terlebih skema perekrutan agen yang mirip multilevel marketing atau MLM. Ledakan besarnya terjadi pada saat Pandemi- Covid 19, dengan ledakan tutup polis asuransi unit-link. Data Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ada 360 pengaduan terkait unit link pada 2019, dan naik 65% menjadi 593 pada 2020.

Gara-gara polemik itu, ada 2,4 juta nasabah yang harus sampai tutup polis asuransi. Pada 17 Januari 2022, sebanyak 16 orang nasabah menggeruduk kantor PT Prudential Life Assurance, PT AIA Financial dan PT Axa Mandiri. Sekelompok orang tersebut merupakan bagian dari kelompok nasabah serta mantan nasabah ketiga perusahaan asuransi tersebut yang merasa dirugikan karena membeli produk asuransi unit link yang ditawarkan.

Ketergantungan industri asuransi kesehatan dengan asuransi bisa menjadi pedang bermata dua. Sayangnya, yang terjadi di Indonesia yang pahitnya saja. Korelasi asuransi dan investasi, diperburuk oleh literasi nasabah rendah, membuat kinerja perusahaan asuransi kini tak ubahnya perusahaan investasi. Padahal, keduanya sangat berbeda. Dunia asuransi sudah berubah karena tantangan regulasi dan tren suku bunga yang fluktuatif.

Pemain asuransi harus lebih pintar, sebab Indonesia adalah negara kesejahteraan/welfare stateyang menjadikan layanan kesehatan sebagai barang publik wajib. Berbeda dengan negara maju yang rata-rata kapitalis, dan menjadikan layanan kesehatan sebagai barang privat. Ke depan, tanpa inovasi dan semakin maju layanan BPJS Kesehatan, maka kiamat bisnis asuransi ada di depan mata.

Ceruk Bisnis Masih Lebar

BPJS Kesehatan boleh saja mengklaim pelayanan semakin baik. Hal ini ada benarnya bila membandingkan kisruh pelayanan kesehatan di awal-awal berdiri dengan perbaikan saat ini. Survei Myriad Research Committed dan PT Sucofindo pada 2015 menunjukan, tingkat kepuasan peserta BPJS Kesehatan secara nasional mencapai 81%. Pada 2021, naik ke 87,6% lebih tinggi dibanding tahun 2020 yang 81,5%.

Indek sistem kesehatan keluaran Numbeo, sebuah organisasi nirlaba internasional menunjukkan Jakarta saja, sebagai barometer Indonesia menempati posisi ke 54 dari 64 kota-kota besar yang disurvei di Asia. Index ini mencakup survei kepuasan terhadap seluruh komponen sistem kesehatan, seperti petugas medis, peralatan, biaya dan lain sebagainya. Hal-hal tersebut memang menjadi tantangan industri asuransi tapi sekaligus peluang.

Data lain menunjukkan penetrasi asuransi di Indonesia masih cetek. Pengeluaran masyarakat atas premi asuransi masih sangat rendah di Indonesia seperti tampak pada data Swiss Re yang menunjukkan, secara global ranking insurance densityIndonesia di posisi ke 72 dengan besar pengeluaran US$70,6. Ini jauh di bawah tetangga Malaysia dan Thailand berada diurutan 39 dan 47 dengan besaran belanja premi per kapita US$518 dan US$385.

Secara keseluruhan data yang kompilasi KPMG menunjukkan Indonesia menjadi negara dengan prospek pertumbuhan yang besar karena ceruk penetrasi yang masih cetek. Misalnya, dengan jumlah penduduk mencapai 270 juta, kedua setelah China penetrasi asuransi masih 1,6% terhadap PDB padahal batas kepemilikan asing yang cukup tinggi mencapai 80%.

Rekomendasi

Proyeksi dua tahun lalu oleh GlobalData, Industri asuransi jiwa di Indonesia diperkirakan akan tumbuh secara majemuk atau CAGR sebesar 8,9% menjadi $17,4 miliar pada 2025 dari $11,8 miliar pada 2020. Alasannya, bisnis di sini didukung oleh lingkungan ekonomi makro yang stabil yang dipimpin oleh kebijakan fiskal dan moneter yang akomodatif dari pemerintah.

Sebagai gambaran jumlah pemegang polis asuransi jiwa swasta di Indonesia baru 80 juta orang, sementara peserta JKN sebanyak 246 juta, atau hanya 32% saja. Artinya, prospek bisnis asuransi jiwa masih renyah. Namun dengan naturenasabah asuransi Indonesia yang bisa dibilang tak mau rugi, bukan semata ikhlas beli risiko, maka mau tak mau produk-produk endowmentmenjadi pilihan. Singkatnya, jenis produk ini adalah polis yang bila kontrak selesai uang premi kembali, sebagian atau semua.

Problemnya adalah dengan volatilitas pasar keuangan yang semakin tinggi, dan proyeksi resesi global membuat para pebisnis asuransi harus lebih cerdas dan tak malas. Dari sisi pemasaran, pada 2020, regulator telah mengizinkan banyak perusahaan asuransi untuk menjual produk unit-link secara online, sehingga dapat meningkatkan aksesibilitas dan membantu pertumbuhan.

Pandemi dan kini berlanjut krisis global membuat pelajaran penting, betapa banyak nasabah dan calon nasabah mulai mengerti dan membutuhkan asuransi. Namun di sisi lain, juga mulai berpengalaman mana itu produk asuransi unit-link yang benar-benar memberikan return yang baik.

Salah satu tren yang mulai berkembang di Eropa bisa dicontoh, bagaimana asuransi unit link selain bisa memberikan proteksi kesehatan juga proteksi investasi. Ini berarti porsi investasi berisiko perlu dikurangi. Obligasi dan deposito, walaupun memberikan return yang lebih rendah, namun mampu memberikan proteksi maksimal.

Kegagalan asuransi jiwa dalam investasi selama lima tahun terakhir juga membuka peluang, mengapa tidak perusahaan asuransi justru berinvestasi di sektor riil kesehatan, seperti jaringan apotek, rumah sakit hingga farmasi. Data Kementerian Perindustrian, saat ini ada 220 perusahaan di industri farmasi di Indonesia dan 90% di antaranya berfokus pada sektor hilir (downstream) dalam produksi obat-obatan. Pemerintah berharap upaya tersebut dapat mengatasi ketergantungan pada impor bahan baku dan akan mempercepat izin pendirian usaha sektor kesehatan.

Menurut data dari Kementerian Kesehatan, hingga tahun 2021, ada 241 industri pembuatan obat-obatan, 17 industri bahan baku obat-obatan, 132 industri obat-obatan tradisional, dan 18 industri ekstraksi produk alami. Dalam lima tahun terakhir, industri perangkat medis dalam negeri mengalami pertumbuhan sebesar 361,66% atau kira-kira sejumlah 698 perusahaan.

Indonesia mengekspor produk farmasi dan perangkat medis ke beberapa negara, yaitu Belanda, Inggris, Polandia, Nigeria, Kamboja, Vietnam, Filipina, Myanmar, Singapura, Korea Selatan, dan Amerika Serikat. Potensi ini seharusnya dibaca oleh industri asuransi sebagai potensi cuan besar untuk pengembalian investasi yang maksimal. Sebab, dari banyak faktor Indonesia masih butuh, dan tingkat kepuasan konsumen terhadap sistem kesehatan masih jauh dari kata puas.

Pada level mikro, perusahaan asuransi swasta juga harus bisa berusaha mempertahankan harga yang kompetitif untuk bersaing dengan asuransi pemerintah. Mereka juga harus adaptif terhadap kebijakan pemerintah yang kerap berubah karena tuntutan keadaan. Dari sisi produk, manajemen harus lebih kreatif mencari cara untuk membedakan produk mereka dari asuransi pemerintah dan menawarkan nilai tambah yang unik.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(mum)

[Gambas:Video CNBC]