Fundamental Pundit

Lelet dan Masih Boncos, Investor Bank Aladin Bisa Tekor 80%!

Research - CNBC Indonesia Research, CNBC Indonesia
31 January 2023 10:50
Bank Aladin Syariah Foto: dok Bank Aladin Syariah

Jakarta, CNBC Indonesia - PT Bank Aladin Syariah Tbk (BANK) merupakan salah satu bank yang berangan-angan menjadi bank digital terdepan dengan prinsip syariah di Indonesia. Namun sayang, sejauh ini ambisi tersebut masih sekedar angan-angan sehingga investor yang memegang saham BANK berpotensi merugi hingga 80%!

Berbeda dengan bank-bank mini lainnya yang sudah banyak melakukan transformasi dan resmi mendapat predikat bank digital serta mencetak laba, manuver BANK yang terbilang lambat menyebabkan bank tak kunjung mencetak laba.

Sedikit flash back, cikal bakal BANK awalnya bermula dari PT Maybank Syariah Indonesia. Namun pada 2020, usaha syariah milik salah satu bank terbesar Malaysia ini telah berpindah tangan.

Adalah PT NTI Global Indonesia (NTI) yang mengakuisisi mayoritas kepemilikan saham BANK dan mengubah namanya menjadi Bank Net Syariah.

Setahun setelahnya yaitu tepatnya pada 1 Februari 2021, Bank Net Syariah melakukan aksi korporasi berupa Penawaran Umum Perdana Saham (IPO) sehingga tercatat menjadi perusahaan publik di BEI.

Setelah melepas 5 miliar saham di harga Rp 103/unit dan mendapatkan pendanaan sebesar Rp 515 miliar, nilai ekuitas perseroan berhasil mencapai Rp 1 trilun.

Dilatarbelakangi dengan hype digital banking yang terjadi kala itu, harga saham BANK melesat signifikan hingga lebih dari 20 kali dari harga saat IPO.

Pada Desember 2021, harga saham BANK ditutup di Rp 2.290/unit dengan nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp 30,1 triliun.

Untuk bank dengan modal Rp 1 triliun dan aset masih Rp 2,2 triliun, nilai kapitalisasi pasar mencapai Rp 30 triliun jelas sangatlah overvalued. Hanya saja momentum IPO BANK memang tepat ketika bank digital masih menjadi primadona saat itu.

Tidak lama setelah listing, BANK berganti nama menjadi Bank Aladin Syariah. BANK yang menyasar segmen UMKM ini juga terkenal atas kerja samanya dengan peritel Alfamart.

Hanya dalam waktu 1 tahun, BANK kembali melakukan aksi korporasi lanjutan melalui right issue. Pada Mei 2022, BANK berhasil menyerap pendanaan hingga Rp 1 triliun dan memenuhi ketentuan permodalan OJK yang menetapkan bank KBMI I dengan modal inti minimal Rp 2 triliun.

Sayangnya, setelah memiliki modal inti Rp 2 triliun, BANK tidak segera menyalurkan pendanaan tersebut menjadi pembiayaan.

Bahkan hingga akhir September 2022, kebanyakan dana dari aksi korporasi tersebut masih terparkir di Bank Indonesia (BI) dan surat berharga.

Di saat yang sama, BANK hanya mampu menghimpun dana dari masyarakat kebanyakan dalam bentuk dana mahal alias deposito. Alhasil pendapatan bagi hasil bersih atau yang pada bank konvensional disebut sebagai pendapatan bunga bersih BANK hanya Rp 33,2 miliar atau setara dengan Net Imbalan 2,25%.

Apabila dibandingkan dengan bank digital lain yang sejenis, rasio marjin BANK yang pada bank konvensional dikenal dengan NIM tergolong sangat mini.

Hingga akhir September 2022, NIM BANK jelas kalah jauh dengan peers yang masih memiliki modal inti di kisaran Rp 1,8-2,3 triliun. Dalam kategori ini, NIM PT Bank Amar Tbk (AMAR) dan PT Bank Neo Commerce Tbk (BBYB) bahkan sampai digit ganda.

Bagi perbankan, NIM merupakan tolok ukur yang penting karena merefleksikan profitabilitas. NIM menjadi cerminan seberapa mampu suatu bank mencetak pendapatan dari bunga atas penempatan aset (kredit dan surat berharga) terhadap bunga simpanan (giro, tabungan dan deposito).

Parahnya , selain NIM-nya yang paling kecil, beban operasional BANK juga merupakan yang paling besar. Rasio Cost to Income (CIR) BANK mencapai 228,14% dan menjadi yang tertinggi dibandingkan dengan kompetitornya yang hanya 64,1%.

Kondisi BANK yang besar pasak daripada tiang tersebut membuatnya harus menanggung kerugian yang besar hingga Rp 146,4 miliar per September tahun lalu. Meskipun rasio pembiayaan macet atau dalam istilah bank konvensional disebut NPL nol persen (wajar karena kredit belum tersalur optimal) sehingga pencadangan kecil tetapi kerugian BANK sangatlah jumbo untuk institusi keuangan dengan aset paling mini.

Belum lama ini BANK memang mendapatkan suntikan modal sekitar Rp 1,19 triliun yang membuatnya tidak jadi turun kasta ke Bank Perkreditan Rakyat (BPR). Asal tahu saja, suntikan modal tersebut dilakukan melalui skema private placement dan tujuannya untuk memenuhi ketentuan modal inti minimal Rp 3 triliun yang disyaratkan oleh OJK.

Aksi private placement tersebut dilakukan dengan menjual sebanyak 850.000.000 saham BANK yang dihargai Rp 1.400/unit kepada investor baru yaitu BNC Technologies Venture sehingga tercatat menguasai 5,8% saham.

Dengan ketertinggalan BANK dari kompetitornya yang sudah sangat jauh dan jika manuver tidak segera dilakukan, beban operasional yang besar terus terjadi maka modal yang baru disuntik tersebut akan terus tergerus.

Seara kasar jika kerugian BANK masih di kisaran Rp 100 miliar dengan asumsi CIR bisa diturunkan tetapi modal investor masih ditempatkan di BI dan SBN, maka modal BANK akan langsung susut menjadi Rp 2,9 triliun.

Saat ini BANK memang sedang terjebak dengan model bisnisnya sendiri. Dengan market cap BANK yang mencapai hampir Rp 19 triliun, maka valuasinya mencapai 6,3 kali Price to Book Value (PBV), hampir mirip dengan ARTO yang sudah mencetak laba dan dengan aset puluhan kali lipat. Jelas valuasi BANK sudah super mahal.

Mengingat masih tidak jelasnya kemampuan BANK untuk menyalurkan kredit sehingga terus merugi, serta manuver yang lamban dibandingkan dengan pesaing, saat ini BANK hanya layak dihargai dengan nilai bukunya.

Jika divaluasi di 1 kali PBV dan market cap di Rp 3 triliun dengan total saham mencapai 14,66 miliar maka harga wajar BANK ada di Rp 219/unit. Dari harga penutupan kemarin di Rp 1.295/unit, artinya ada potensi penurunan hingga 83%.

Mengingat masih tidak jelasnya kemampuan BANK untuk menyalurkan kredit sehingga terus merugi padahal penyaluran kredit adalah urat nadi bagi perbankan*

CNBC INDONESIA RESEARCH

Sanggahan: Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa opini/pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investasi terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.


[Gambas:Video CNBC]
Artikel Selanjutnya

Jelang Right Issue, Saham Bank Amar Dibanting Nyaris ARB


(mum/mum)
Terpopuler
    spinner loading
LAINNYA DI DETIKNETWORK
    spinner loading
Features
    spinner loading