CNBC Indonesia Research

Aneh! Asing Borong SBN Nyaris Rp 50 Triliun, Yield Kok Naik?

Chandra Dwi, CNBC Indonesia
30 January 2023 07:05
Obligasi
Foto: CNBC Indonesia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar obligasi pemerintah Indonesia atau Surat Berharga Negara (SBN) saat ini masih menjadi aset menarik bagi investor asing, meski imbal hasil (yield) terpantau mengalami kenaikan dalam sepekan terakhir.

Hal ini dapat dilihat dari masih masuknya aliran modal asing ke SBN di RI sepanjang pekan lalu hingga sepanjang Januari 2023.

Berdasarkan data dari Bank Indonesia (BI), sepanjang pekan lalu, asing mencatatkan net buy atau inflow di SBN sebesar Rp 3,63 triliun. Adapun sepanjang Januari 2023, asing juga masih mencatatkan inflow di SBN sebesar Rp 48,08 triliun.

Sementara berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, pada periode 2 Januari hingga 27 Januari, asing mencatatkan inflow sebesar Rp 47,4 triliun dan sepanjang pekan lalu, asing juga masih memburu SBN sebesar Rp 5,27 triliun.

Adapun berdasarkan data dari DJPPR Kementerian Keuangan RI, jumlah asing yang memiliki SBN hingga 26 Januari lalu sudah mencapai Rp 810,27 triliun, dengan persentasenya mencapai 15,07%.

Hal ini tentunya lebih besar dari posisi 30 Desember 2022, di mana asing memiliki SBN sebesar Rp 762,19 triliun atau sekitar 14,36% dari total kepemilikan SBN RI.

Meski masih cenderung diburu oleh investor asing, tetapi sepertinya SBN cenderung dilepas oleh investor lokal atau domestik, terlihat dari kenaikan yield dalam sepekan terakhir.

Dalam sepekan terakhir, yield SBN bertenor 10 yang merupakan SBN acuan melonjak 9,3 basis poin (bp) menjadi 6,727% per Jumat pekan lalu, dari sebelumnya pada Jumat pekan sebelumnya di level 6,634%.

Ada kecenderungan bahwa investor domestik kembali beralih ke pasar saham karena kondisi global yang cenderung sudah mulai membaik, dilihat dari mulai cerahnya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada pekan lalu.

Apalagi dengan China yang kembali membuka diri setelah melawan pandemi Covid-19 setidaknya selama tiga tahun terakhir.

Di pasar saham pada periode 24-26 Januari 2023, asing mencatatkan net buy sebesar Rp 790 miliar. Namun sepanjang Januari hingga 26 Januari 2023, asing masih mencatatkan net sell sebesar Rp 6,83 triliun.

Dengan ini, maka selama periode 2-26 Januari 2023, asing masih cenderung lebih tertarik dengan pasar SBN RI ketimbang pasar saham RI.

Namun menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko, Sumianto, sepanjang Januari 2023, yield SBN 10 tahun masih cenderung turun sebesar 22 basis poin (bp).

Selain itu, berdasarkan data perdagangan harian (PLTE) dalam dua hari terakhir hingga 26 Januari, asing tercatat melakukan net sell namun dengan jumlah yang terbatas. Hal ini sejalan dengan inflow asing dalam satu bulan ini sebesar Rp 48,08 triliun.

Sentimen pasar global masih mendominasi pergerakan yield di pasar SBN, termasuk rilis data pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang naik melebihi ekspektasi pasar.

Sebelumnya pada pekan lalu, data pertumbuhan ekonomi atau produk domestik bruto (PDB) AS pada kuartal IV-2022 dilaporkan tumbuh positif yakni 2,9% dan lebih tinggi dari ekspektasi 2,6%.

Rilis data ekonomi yang lebih baik dari perkiraan ini membuat yield obligasi AS (US Treasury) kembali meningkat. Hal ini seiring dengan meningkatnya ekspektasi bahwa bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) masih akan mempertahankan suku bunga yang tinggi lebih lama.

Melihat dari data ekonomi AS yang masih cukup baik, maka potensi The Fed tetap agresif menaikkan suku bunga 50 bp masih berpeluang cukup besar, meski pasar memprediksi The Fed hanya akan menaikkan sebesar 25 bp.

Sementara itu menurut Ekonom Bank Danamon, Irman Faiz, investor cenderung melirik SBN tenor 2 hingga 5 tahun. Hal ini menurutnya karena Bank Indonesia (BI) sebelumnya mengindikasikan bahwa mereka tak akan lagi menaikkan suku bunga acuannya di pertemuan-pertemuan berikutnya, sehingga harga SBN bertenor pendek mulai menarik.

"Untuk flows bond investor kini mulai masuk di SBN tenor 2-5 tahun, karena ekspektasi Bank Indonesia yang akan menghentikan kenaikan suku bunga acuan di pertemuan berikutnya, jadi harga SBN tenor pendek mulai menarik," ujar Irman Faiz, dikutip dari CNBC Indonesia.

Selain itu, menurut Irman, SBN tenor 10 tahun yang sudah mulai naik terjadi seiring naiknya obligasi pemerintah AS yang juga naik.

"US Treasury yang naik membuat SBN tenor 10 tahun ikut naik, tetapi jika kita lihat levelnya, masih rendah dibanding 3 bukan terakhir," ujar Irman.

Pada akhir tahun lalu, Pemerintah RI menerbitkan utang senilai Rp 854, 87 triliun per 6 Desember 2022. Penawaran yang masuk sepanjang 2022 hingga saat itu menembus Rp 1.785,02 triliun.

Jumlah utang cenderung masih akan bertambah karena pemerintah akan memenuhi sisa target Surat Keputusan Bersama (SKB) III dengan Bank Indonesia senilai Rp 128,6 triliun. Artinya, penerbitan utang tahun 2022 bisa mencapai Rp 983,47 triliun.

Jumlah tersebut lebih kecil dibandingkan pada dua tahun sebelumnya. Penerbitan utang (bruto) mencapai Rp 1.541,3 triliun pada 2020 dan Rp 1.352,8 triliun pada 2021. Namun, tetap lebih besar dibandingkan periode pra-pandemi seperti pada 2019 yang tercatat Rp 921,5 triliun.

Utang sebesar Rp 854,87 triliun diserap melalui penerbitan SBN, private placement, maupun bookbuilding pada penerbitan SBN berdenominasi valuta asing (valas).

Termasuk dalam utang tersebut adalah obligasi ritel yang dijual kepada masyarakat umum.

Utang yang ditarik melalui lelang SBN pada 2022 mencapai Rp 583,23 triliun rupiah dengan total penawaran menembus Rp 1.511,64 triliun.

Pada penerbitan Surat Utang Negara (SUN) secara regular di 2022, rata-rata penawaran yang masuk mencapai Rp 43,21 triliun. Jumlah tersebut jauh lebih kecil dibandingkan pada 2021 yakni sekitar Rp 70 triliun dan sebesar Rp 75 triliun pada 2020.

Rata-rata utang yang diserap dalam penerbitan SUN regular tahun lalu mencapai Rp 16,76 triliun. Jumlah tersebut jauh di bawah tahun 2021 yang ada di angka Rp 26 triliun dan 2020 yang tercatat Rp 22,36 triliun.

Pemerintah bahkan mengganti target indikatif beberapa kali karena penawaran yang datang semakin mengecil.

Pada awal tahun lalu, target indikatif ditetapkan sebesar Rp 25-37,5 triliun kemudian diturunkan menjadi Rp 20-30 triliun. Pada Juli 2022, target indikatif sudah diturunkan menjadi Rp 15-22 triliun tetapi kemudian juga dikurangi menjadi Rp 10-15 triliun.

Penawaran yang datang pada lelang turun drastis sejak The Fed memberlakukan kebijakan moneter yang agresif.

Penawaran tertinggi pada lelang SUN reguler 2022 tercatat Rp 84,84 triliun, yakni pada lelang kedua tanggal 18 Januari 2022. Penawaran terkecil tercatat pada lelang tanggal 11 Oktober 2022 yakni Rp 15 triliun. Jumlah tersebut adalah yang terendah sejak 8 Mei 2018 atau empat tahun lebih.

Sebagai catatan, jumlah penawaran tertinggi pada lelang SUN reguler 2021 menyentuh Rp 116,11 triliun, sementara pada 2020 tercatat Rp 127,12 triliun.

Yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan pada lelang tahun lalu juga meningkat drastis dari awal hingga akhir tahun lalu sejalan dengan ketidakpastian global.

Yield rata-rata tertimbang yang dimenangkan pada seri benchmark tenor 10 tahun hanya berada di 6,26% pada lelang Januari 2022.

Namun, yield meningkat menjadi 6,97% pada lelang terakhir 6 Desember 2022. Pada lelang 11 Oktober 2022, yield rata-rata tetrimbang yang dimenangkan pada seri benchmark bahkan menyentuh 7,37%.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular