CNBC Indonesia Research

Amerika Bak Musuh Bersama, Bank Sentral Ramai Jual Treasury

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
30 January 2023 07:20
US Treasury, Bond, Obligasi
Foto: US Treasury, Bond, Obligasi (Ilustrasi Obligasi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Surat utang Amerika Serikat (AS) atau yang dikenal dengan Treasury menjadi aset yang paling banyak dimiliki oleh bank sentral di berbagai negara sebagai cadangan devisa. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, banyak bank sentral yang mulai menjual Treasury mereka.

Hal ini terlihat dari data Treasury International Capital (TIC) yang dirilis Departemen Keuangan AS, di mana jumlah Treasury yang dimiliki beberapa negara mengalami penurunan. Bahkan secara total nilai Treasury yang dimiliki semua negara juga turun dalam setahun terakhir.

China Daily pada Jumat (20/1/2023) melaporkan berdasarkan data TIC, bank sentral di berbagai negara menjual Treasury miliknya dalam 49 bulan sejak Oktober 2017. Analis dari China Internasional Capital Corp (CICC) melihat aksi jual tersebut sebagai tren de-dolarisasi.

"Dolar AS merupakan aset safe haven global, tetapi dalam beberapa tahun terakhir banyak negara mengurangi kepemilikan Treasury dalam beberapa tahun terakhir untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar. Risiko ketergantungan dengan dolar AS terlihat jelas pada tahun lalu selama ketegangan geopolitik di Eropa yang diikuti sanksi negara Barat ke Rusia. Diversifikasi cadangan devisa kini semakin banyak diadopsi bank sentral di dunia," kata analis CICC sebagaimana dilansir China Daily.

China menjadi negara yang agresif menjual Treasury miliknya. Berdasarkan data TIC pada November 2022, China menjual US$ 7,8 miliar Treasury yang dimiliki sehingga kini menjadi US$ 870 miliar. Nilai kepemilikan surat utang Amerika Serikat tersebut menjadi yang terendah sejak Juni 2010.

Penjualan tersebut dilakukan nyaris sepanjang tahun lalu, sebelum sebelumnya Treasury yang dijual sebesar US$ 24 miliar. Pada Juli 2022 lalu, untuk pertama kalinya dalam 12 tahun terakhir kepemilikan Treasury China turun ke bawah US$ 1 triliun.

Jika dilihat sejak November 2021, China sudah menjual US$ 210 miliar Treasury.

Aksi jual tersebut dimulai sejak 2017, ketika adanya perang dagang melawan Amerika Serikat. Sanksi yang diberikan Amerika Serikat dan Eropa kepada Rusia yang memulai perang di Ukraina semakin menguatkan niat China untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar AS.

Sebagai bentuk diversifikasi cadangan devisa, China memborong emas. World Gold Council (WGC) pada Jumat (6/1/2023) melaporkan bank sentral China (PBoC) memborong emas sebanyak 32 ton pada November 2022.

Pembelian emas oleh PBoC adalah yang pertama kali sejak September 2019 atau lebih dari tiga tahun lalu.

Kemudian pada akhir pekan lalu, PBoC mengumumkan pembelian emas sebesar 30 ton pada Desember 2022. Dengan demikian, dalam dua bulan PBoC memborong 62 ton emas.

De-dolarisasi bukan satu-satunya alasan bank sental menjual Treasury miliknya. Jebloknya nilai tukar mata uang serta langkah bank sentral AS (The Fed) menaikkan suku bunga yang begitu agresif menjadi juga menjadi alasannya.

Kepemilikan Treasury Jepang mengalami penurunan sebesar US$ 246 miliar pada periode November 2021 - November 2022. Penjualan tersebut dilakukan guna menjaga nilai tukar yen Jepang yang pada tahun lalu sempat jeblok hingga 25% dan menyentuh level terlemah dalam 24 tahun terakhir.

Irlandia, Brasil, Hong Kong, Thailand hingga Korea Selatan menjadi beberapa negara yang kepemilikan Treasury-nya menurun.

Secara total, kepemilikan Treasury oleh negara-negara selain Amerika Serikat mengalami penurunan menjadi 7,273 triliun pada November 2022, turun US$ 458 miliar dari November 2021.

HALAMAN SELANJUTNYA >>> Aksi Rusia Jual Treasury Bikin Pasar Obligasi Bergejolak

Aksi jual Treasury yang agresif sebelumnya dilakukan Rusia hampir 5 tahun lalu. Pada periode Maret sampai Mei 2018 atau dalam tempo 3 bulan saja, Rusia melepas Treasury yang dimiliki sebesar US$ 81 miliar.

Tidak seperti China atau Jepang dengan kepemilikan yang jumbo, Rusia saat itu memiliki atau Treasury senilai USR 96,1 miliar. Artinya sekitar 84% dari total Treasury yang dimiliki dilepas dalam tempo 3 bulan saja.

Langkah yang diambil tersebut membuat yield Treasury tenor 10 tahun melesat ke atas 3% untuk pertama kalinya sejak 2014. Kenaikan yield Treasury secara tiba-tiba tentunya memicu gejolak di pasar finansial dunia. Meski tidak secara berkepanjangan.

Bank sentral Rusia kala itu menyatakan kebijakan tersebut dilakukan untuk diversifikasi dan beralih ke emas.

Tetapi banyak yang melihat kebijakan tersebut dilakukan sebagai balasan ke AS yang memberikan sanksi kepada perusahaan aluminium asal Rusia, Rusal pada April 2018.Rusal terkait dengan taipan Oleg Deripaska yang juga dekat dengan Presiden Rusia, Vladimir Putin.

Sanksi tersebut diberikan setelah Deripaska dikatakan berusaha ikut campur pada Pemilu AS 2016.

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular