
Suku Bunga di Thailand Cuma 1,25%, Bath Kok Kalahkan Rupiah?

Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah belakangan ini mulai perkasa melawan dolar Amerika Serikat (AS). Dalam 6 hari perdagangan Mata Uang Garuda mampu menguat 5 kali dengan total 3,1%. Selasa lalu, rupiah bahkan sempat menembus ke bawah Rp 15.000/US$.
Namun, ada mata uang tetangga Indonesia yang jauh lebih kuat, yakni bath. Sepanjang tahun ini baht Thailand tercatat menguat sekitar 5% dan menjadi mata uang terbaik kedua di dunia setelah rubel Rusia. Yang lebih menarik lagi, baht mampu menguat meski suku bunga bank sentral Thailand hanya 1,25% jauh di bawah bank sentral AS (The Fed) 4,25% - 4,5%.
Lazimnya suku bunga di negara berkembang lebih tinggi ketimbang negara maju, apalagi jika dibandingkan dengan Amerika Serikat. Hal ini bertujuan untuk menarik investasi dengan memberikan imbal hasil yang lebih tinggi.
Indonesia misalnya, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) saat ini sebesar 5,5%. Pada tahun lalu, ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga, Indonesia mengalami capital outflow yang masif dari pasar obligasi, yang membuat rupiah terpuruk.
Ketika BI mulai menaikkan suku bunga dan menjaga spread sekitar 125 basis poin atau 1,25% dengan suku bunga The Fed, investor asing mulai masuk lagi ke pasar obligasi, dan pergerakan rupiah lebih stabil.
Lantas apa yang membuat baht bisa perkasa?
Jawabannya adalah devisa. Thailand merupakan rajanya industri pariwisata di kawasan ASEAN. Pada 2019, sebelum pandemi penyakit akibat virus corona (Covid-19) melanda, pendapatan dari industri pariwisata tercatat sebesar US$ 59,8 miliar, dan berkontribusi sebesar 11% terhadap produk domestik bruto (PDB).
Tercatat sebanyak hampir 40 juta wisatawan manca negara yang berkunjung ke Thailand pada 2019. Tidak hanya berkontribusi besar ke perekonomian, pasokan valuta asing Thailand pun menjadi melimpah.
Devisa hasil ekspor (DHE) jasa pariwisata tersebut ditahan lama di dalam negeri.
Bank sentral Thailand beberapa kali melakukan revisi terhadap rezim devisa mereka. Sebelumnya Negara Gajah Putih juga menerapkan rezim bebas mereka kepada ekspor barang maupun jasa
Namun pada 2006, Thailand sudah mewajibkan DHE direpatriasi ke baht, dengan batasan US$ 200.000. Pada Maret 2021, bank sentral Thailand menaikkan batas DHE yang tidak harus direpatriasi menjadi US$ 1 juta. Di atas US$ 1 juta maka DHE harus direpatriasi ke baht.
Repatriasi dilakukan paling terlambat 360 hari setelah mendapat pembayaran. DHE juga diwajibkan mengendap dan baru bisa ditransaksikan lagi setelah 360 hari.
Dengan kebijakan tersebut, pasokan valuta asing menjadi cukup besar. Hal ini tercermin dari cadangan devisa Thailand yang nilainya mencapai US$ 216,6 miliar pada Desember 2022. Kurs baht pun menjadi perkasa.
Maka, tidak salah jika Presiden Joko Widodo (Jokowi) akan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 Tahun 2019 tentang Devisa Hasil Ekspor (DHE).
Hal ini disampaikan oleh Menko Perekonomian Airlangga Hartarto sesuai arahan Presiden Jokowi dalam rapat kabinet terbatas di Istana Kepresidenan, Rabu (11/1/2023).
"Tadi juga arahan pak Presiden, ekspor yang selama ini positif itu perlu diikuti dengan peningkatan cadangan devisa, untuk itu pak Presiden meminta PP 1 Tahun 2019 DHE itu untuk diperbaiki," ungkapnya.
Dalam revisi ini, beberapa sektor baru masuk ke dalam daftar yang harus menempatkan DHE kepada regulator. DHE juga akan ditahan lebih lama di dalam negeri.
Sejak pengumuman tersebut, rupiah langsung menguat tajam. Artinya pelaku pasar merespon positif langkah Presiden Jokowi.
(pap/pap)